webnovel

BB.011 Family?

Happy Reading 💛

Di ruang makan, situasi sangat mencekam. Aura dingin dari sekitar membuat ku bergedik ngeri. Ini bukan seperti keluarga pada umumnya, yang bertemu lalu bersenda gurau bersama. Mereka seolah memiliki dunianya sendiri. Saat aku bersama dengan Dan dan ibu tiriku tidak seperti ini. Meskipun aku tau ibu tiriku hanya memasang fake smile kepadaku. Tapi aku bersyukur meskipun hanya berpura-pura.

"Ehm--" Grandpa Dominic memecah keheningan.

"Jadi kapan kalian akan melangsungkan pernikahan. " Ucapnya to the poin.

Aku terbatuk mendengar pertanyaan grandpa yang terkesan menekan.

"Secepatnya. Satu, atau dua bulan kami akan melangsungkan pernikahan. " Dominic dengan santainya berucap sepeti itu.

Aku menatap Dominic yang masih sibuk memotong beef di piringnya. 'Gampang sekali dia memainkan sandiwaranya.' aku sedikit kesal kepada Dominic. Setidaknya kalau mau bersandiwara berikan aku sedikit bocoran agar aku bisa memikirkan apa yang harus aku lakukan. Bukan hanya berdiam diri seperti ini.

"Bagaimana denganmu, nona--" Grandpa menaikan alisnya, akupun tersadar akan pertanyaannya.

"Jean Florence, tuan." Kataku dengan takut-takut.

"Baiklah, Jean. Bagaimana denganmu. Apa kamu menyetujui permintaan cucuku yang dingin ini? " Tanya nya lagi padaku.

Aku bingung ingin menjawab apa. Karena, ya.. Ini sangat terburu-buru. Akupun tidak tahu jika Dominic akan memainkan peran berbohong nya itu.

"Tentu saja, grandpa. Aku telah melamarnya dengan sangat romantis. Benarkan honey? " Dominic menatapku.

Aku bergedik geli mendengar ucapannya yang begitu memaksakan untuk agar terlihat romantis.

Aku hanya tersenyum selebar-lebarnya. Tentu saja, aku belum merangkai apapun untuk ini.

"Kau tidak meminta izin kepadaku, Dominic Archer? " Suara pria yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik ikut berbicara.

Aku menunggu jawaban dari Dominic. Aku sangat ingin melihat interaksi anak dengan ayahnya. Tapi nyatanya tidak satu katapun yang keluar dari Dominic.

'Hey.. Ada apa dengannya.'

"Hey nona, bagaimana kalau kita keluar untuk melihat-lihat rumah ini." Grandpa mengajak ku untuk keluar dan kuyakini untuk meninggalkan mereka dua.

***

"Bagaimana kabarmu?" Adam kembali mencoba memulai percakapan dengan Dominic.

"Berhenti berbasa-basi denganku." Ucapnya dingin. Terlihat jelas jika Dominic tidak menyukai ayahnya.

"Kau masih saja, ketus kepadaku." Adam menunjukan smirk nya.

"Lalu aku harus bagaimana? Meminta izin padamu?" Tanya Dominic. Tidak, tapi lebih mengintimidasi.

"Tentu saja, bagaimanapun juga kau adalah anakku, Dominic Archer. Darahmu mengalir darahku jika kau lupa itu." Tidak ada kata ramah dari kedua insan yang sama-sama keras kepala ini.

Dominic tertawa mendengar ucapan ayahnya. "Dan itu yang kusesali selama ini. Darahku mengalir darahmu. Aku rasa sudah cukup berbincang-bincangnya. Dan aku tidak membutuhkan izinmu."

Dominic hendak pergi, namun perkataan Adam membuatnya menghentikan langkahnya.

"Apa kau masih membenciku?" Katanya terlihat sedih.

Dominic membalikan badan dan bibirnya tercetak smirk smile.

"Dimana ibuku?" Mata Dominic memancarkan kemarahan begitu besar terhadap ayahnya.

"Kau masih menganggap akulah pelaku dari menghilangnya ibumu? Aku kira kau sudah tumbuh dewasa, Dominic Archer. Ternyata kau masih kekanak-kanakan. Kau masih tidak bisa membedakan mana musuh dan mana kawan untukmu."

Dominic mengepalkan tangannya menahan amarah begitu besar. Ia memilih meninggalkan Adam dan berlalu begitu saja meninggalkan kediaman Wilson tanpa membawa Jean.

**

Jean sedang menyusuri taman seorang diri. Wilson pergi entah kemana karena ada panggilan telepon untuknya. Taman dengan berbagai jenis bungan dan juga terdapat pohon jeruk yang sedang berbuah lebat.

Jean memetik buah yang sedari tadi menggiurkan dimatanya. "Manis." Ucapnya setelah memakan jeruk itu.

"Kau menyukainya?" Ucapan seseorang dari belakang punggung Jean. Dia menyemburkan jeruk dari mulutnya saking terkejutnya.

"Hai, pelan-pelan saja." Orang itu adalah ayah Dominic, Adam Archer dan menyodorkan sapu tangan untuk Jean.

Jean mengambil sapu tangan itu untuk mengelap bibirnya yang terkena semburan air jeruk saat tersedak.

"Terimakasih." Ucapan Jean gugup. Ia benar-benar takut kepada Adam.

"Santai saja. Kita bisa berbincang selayaknya teman." Katanya dengan senyum ramah.

'Aku rasa dia tidak buruk, tapi ada apa masalah apa antar ayah dan anak itu.' Jean bertanya-tanya tentang apa yang terjadi antara Adam dengan Dominic.

"Jadi? Kau bilang namamu Jean Florence? Kau pasti sudah mengenalku. Aku ayah dari pria brengsek yang akan menikahimu." Katanya dengan gurauan. Namun tidak terlihat oleh Jean. Jean melihat betapa menyedihkan nya Adam karena perselisihan yang tidak diketahui oleh Jean.

Jean mencoba untuk tersenyum.

"Ya, aku akan menikahi pria brengsek itu."

"Kau harus bersabar dengannya. Meskipun anak itu terlihat kaku dan juga kejam, aku rasa didalam hatinya begitu hangat jika kau mengenal lebih jauh." Katanya masih dengan senyum tercetak di wajahnya membicarakan anak satu-satunya yang sekarang membenci.

Ingin sekali Jean bertanya tentang perselisihan diantara mereka, namun Jean urungkan. Bagaimanapun Jean hanyalah orang luar yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka.

"Dimana Dominic? " Tanya Jean yang tidak melihat keberadaan Dominic.

"Sudah pergi." Katanya enteng.

Jean panik. Bagaimana bisa Dominic meninggalkannya seorang diri ditempat asing ini.

"Tenang saja, kau bisa di antar oleh supir pribadi Wilson. Kalau begitu aku pergi dulu. Aku akan datang ke pernikahan mu dengan si brengsek itu, meskipun anak itu tidak menginginkannya." Setelah mengucapkan itu Adam meninggalkan Jean.

****

Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Jean menunggu Dominic yang entah pergi kemana. Jean pulang di antar oleh supir pribadi Wilson, grandpa Dominic. Jean benar-benar kesal karena Dominic meninggalkannya. Tapi daripada kesal, Jean lebih merasa kasian kepada Dominic. Dia memiliki segalanya, namun di balik itu semua, dia memiliki luka yang tidak terlihat oleh siapapun.

'Apa sikap dinginnya karena perselisihan nya dengan keluarganya?'

Suara mobil memarkir terdengar di depan. Jean meyakini Dominic pulang.

Dan benar saja, Dominic datang dengan langkah lebarnya.

Jean ingin melemparkan beribu makian untuk Dominic karena telah meninggalkannya dikediaman Wilson, namun ia urungkan. Karena Jean melihat begitu banyak luka di wajah pria itu. Ia pun mendekati Dominic untuk melihat lebih jelas.

Dan benar saja terdapat darah segar dari sudut bibir dan juga pelipisnya. Tidak lupa biru di pipinya menambah jajaran lebam di wajah tampannya.

Jean pergi dari hadapan Dominic dan kembali dengan membawa p3k. Jean menarik tangan Dominic dan membawanya ke sofa terdekat. Tanpa banyak bicara Jean membersihkan darah di sudut bibir dan juga pelipisnya. Memberi salep pada luka Dominic dan memberikannya plester di pelipisnya.

Dominic hanya diam memperhatikan Jean membersihkan lukanya. Tidak tahu harus berkata apa juga.

"Dimana pria bodoh yang kemarin mengataiku jalang dengan wajah galaknya? Kemana pria menyebalkan yang selalu saja membuat darahku mendidih? sekarang babak belur. Hah!! Ucapannya saja yang galak ternyata--" Jean terdiam karena Dominic menaruh kepalanya di bahunya.

Jean membiarkan Dominic bersandar di bahunya. Ia tidak tahu harus bereaksi apa. Yang tentu saat ini hanya kasian kepada Dominic. Ternyata Dominic sama menyedihkan seperti dirinya.

***

Waktu berjalan begitu cepat, tidak sangka Jean dimension Dominic sudah hampir tiga minggu. Hubungannya dengan Dominic pun bisa di bilang tidak ada kemajuan dan tidak ada kemunduran. Tapi sikap Dominic lebih tenang tidak seperti awal-awal yang selalu mengejek dan mencap Jean sebagai jalangnya.

Saat ini Dominic sedang dikantor. Jean merasa bosan karena terus berada di dalam mansion. Jean ingin keluar meski hanya sebentar. Ia butuh udara segar.

"Keluar sebentar saja mungkin tidak apa-apa. Aku tidak akan kabur. Aku janji. " Katanya pada diri sendiri.

Jean pun melanggang keluar dengan mudahnya, ya karena hanya ada Meid dan penjaga yang berjaga di gerbang. Jean memilih pergi ke taman umum tidak jauh dari mansion Dominic.

Jean berlari kecil menikmati dunia luar meski hanya sebentar. Ia juga melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Sangat menyenangkan setelah sekian lama tidak menghirup udara luar. Namun kesenangannya hanya sesaat setelah suara yang sangat dikenalinya dah sangat ia rindukan terdengar sangat dekat dan nyata.

"Je."

*****