18 18. Baretta 92

Rumi tertawa pelan. Selepas berhasil melepaskan dirinya, ia menatap wajah pria dewasa itu dengan penuh kemarahan. "Berhentilah ikut campur. Kau selalu saja muncul tanpa perasaan dan menghancurkan perasaan orang lain. Kau benar-benar membuatku jenuh dengan pertengkaran ini, Mr. Tonny."

"Maka siapkan dirimu dan kita akan menikah."

"Omong kosong!" Rumi muak. Meluapkan emosinya pada Mr. Tonny. "Sekali lagi bilang menikah, aku akan—" Ucapan Rumi terhenti saat tiba-tiba pria yang ada di depannya menarik tubuh Rumi dengan kasar. Menjatuhkan tubuh gadis itu di atas sofa yang ada di sisi mereka. Rumi sempat meronta, khawatir kalau Mr. Tonny akan melakukan hal yang tidak senonoh padanya lebih dari tadi. Namun, gadis itu lunak tatkala Mr. Tonny meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Rumi. Memberi isyarat pada gadis itu untuk diam.

"Ada yang datang ...." Dia berbisik. Melepaskan Rumi kemudian. Mr. Tonny berdiri dan merogoh pistol yang ada di dalam saku jas, yang ia kenakan. Sontak aksi itu membuat Rumi membuka matanya lebar-lebar. Tak pernah menyangka akan melihat senjata tajam secara langsung begini. Seumur-umur baru kali ini Rumi melihat bos mafia memegang pistol dengan begitu pantas.

"Mr. Tonny ...." Rumi memangilnya. Mencoba meraih tubuh pria itu, agar menurunkan pistolnya sekarang juga. Ini bukan medan perang, kenapa harus pakai pistol segala?

"Diamlah. Berdiri di belakangku," ucapnya berbisik. Menarik tubuh Rumi agar berdiri di belakang punggungnya. Dia adalah pria yang begitu waspada dengan berbagai macam bentuk keadaan. Mr. Tonny dilatih banyak untuk hal seperti ini.

Samar-samar dari tirai jendela, dua orang yang datang terdengar berdebat di depan ambang pintu. Tawa menyelingi kemudian. Rumi mengenal suara itu. Tawa menyebalkan yang khas, itu milik Dani.

"Dani ...." Rumi memanggil dengan lirih. Nama yang dipanggil membuat Mr. Tonny menoleh. "Dia temanku. Turunkan pistolnya." Rumi melangkah, mendahului Mr. Tonny. Berjalan ke arah ambang pintu. Menarik napasnya dalam-dalam, dia kemudian melirik ke arah pria yang masih kokoh dengan pistolnya. "Turunkan benda itu atau akan melemparkan vas bunga ini ke arah wajahmu. Itu menakuti teman-temanku." Rumi berdecak lirih di akhir kalimat. Perlahan-lahan membuka pintu dan menyambut kedatangan Dani dan satu orang lagi yang menemaninya.

Genta.

"K--kenapa kalian datang?" tanya Rumi dengan gugup. Gadis itu menyembunyikan kegelisahan di balik pandangan mata. Di belakang pintu ada Mr. Tonny. Akan panjang urusannya jika mereka melihat pria dewasa dengan wajah asing ada di dalam rumah Rumi.

"Kenapa kamu lo gugup gitu? Kayak menyembunyikan sesuatu."

Rumi kembali mengulum salivanya. "Enggak ada. Hanya kaget aja melihat kalian di sini, tiba-tiba." Rumi melirih. "Jadi ... ada apa?"

"Kita boleh masuk?" Dani tiba-tiba saja nerobos. Tak memberikan jeda untuk Rumi memberi ijin padanya. Ingin menahan, tetapi gadis itu sudah terlanjur masuk ke dalam.

"Rumah lo nyaman juga." Gadis itu memutar pandangannya. Menatap sekeliling bagian ruang tamu milik Rumi. Tak seburuk yang dia kira. Ini masih nyaman dan masih bisa disebut tempat tinggal.

Rumi mengigit bibir bawahnya. Menunggu kemungkinan terburuk saat dia melihat perubahan ekspresi wajah Dani tatkala melihat Mr. Tonny yang bersembunyi di balik pintu.

"Oh! Apa ini?" --sial! Responnya berlebihan. Dani berjalan ke belakang pintu. Rumi mengikutinya. Masuk ke dalam rumah. Genta pun demikian. Rumi ikut terkejut tatkala melihat pistol milik Mr. Tonny jatuh di belakang pintu. Namun, pria itu sudah tak ada di sana. Entah kapan dan bagaimana caranya kabur tanpa terdeteksi oleh siapapun. Mungkin itulah keahliannya.

"Ini pistol sungguhan? Lo punya ini di rumah? Buat apa?"

Rumi mulai was-was. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang, tak sesuai iramanya. Kini badannya mulai panas dingin.

"Coba gue check," ujar Genta ikut andil dalam pembicaraan. Remaja itu meriah pistolnya. "Ini asli ...." Genta memastikan. Selepas dia membolak-balikkan benda itu, Genta bisa mengenalinya. "Beretta 92." Genta menatap Rumi. Sejenak gadis itu diam, menyimpan takut. "Kenapa lo bisa punya ini di rumah lo?"

"Beretta? Itu namanya?" Dani menyahut. "Dari mana lo tahu?"

"Paman gue seorang tentara, jadi dia mengenal beberapa senjata api terbaik di dunia. Gue belajar banyak saat belajar menembak satu tahun yang lalu. Beretta banyak diidamkan oleh semua orang." Genta mempersingkat. "Ini hanya diproduksi di Italia. Bagaimana lo bisa punya ini?"

"L--lo yakin itu asli?" Rumi akhirnya membuka suara. Berharap itu hanya mainan.

Genta mengangguk. Hancur sudah harapan Rumi untuk berbohong. Remaja jangkung itu sepertinya benar-benar matang kalau pasal senjata api. Dia punya teman yang salah rupanya. Genta membuka bagian penyimpanan peluru. Kosong! Tak isinya. Sedikit memberi kelegaan untuk Rumi sekarang.

"Gak ada pelurunya. Lo—" Ucapan Genta tertahan di sana kala Rumi tiba-tiba saja mengambil benda itu. Menyembunyikannya di belakang punggungnya. Senyum mengembang dengan begitu aneh. Ia bak orang kikuk sekarang. Persetanan gila Mr. Tonny. Dia pasti sengaja menjatuhkan ini dan mengambil pelurunya.

"Mungkin terjatuh saat gue bersih-bersih tadi. Kakek gue suka mendapat hadiah dari temanya dulu. Jadi ini mungkin bagian dari hadiahnya."

Dani mengerutkan keningnya. "Itu mungkin? Genta bilang ini hanya—"

"Orang jaman dulu punya banyak relasi. Kakek gue hidup sejak penjajahan Belanda. Ini pasti peninggalan darinya." Rumi terus berbohong. Teman dari Belanda? Omong kosong! Kakeknya hanya seorang petani singkong.

"Mungkin saja." Genta mengangguk. Mengakhiri kegelisahan Rumi di sini.

"Gue akan menyimpan ini dulu. Kalian duduk dan gue akan membuatkan minum."

Dani dan Genta sama-sama diam. Mengangguk, menurut. Membiarkan Rumi meninggalkan mereka.

"Rumi ...." Genta kembali memanggilnya. Membuat gadis itu terhenti dan menoleh. "Itu pistol yang asli. Buatan Italia. Jika lo menjualnya, harganya lumayan tinggi di Indonesia. Menyimpan itu hanya akan membuat lo dalam bahaya saja."

Mendengar kalimat itu, Rumi hanya bisa mengangguk. Percaya saja Mr. Tonny pasti punya ribuan yang begini. Baginya semua ini hanya sampah saja. "Baiklah. Terimakasih sarannya."

Rumi kembali berjalan. Masuk ke ruang tengah sembari menatap pistol yang ia bawa. Tak habis pikir, Mr. Tonny melakukan hal sekonyol itu. Meninggalkan pistolnya dan pulang ke rumah? Sialan betul pak tua satu ini.

"Haruskah aku membuangnya saja? Dia pasti punya banyak kan di rumah? Dia rajanya mafia," gumamnya. Rumi mendorong pintu kamarnya. Berniat masuk, tidak ingin menyimpan. Di dalam kamarnya ada tempat sampah. Dia akan membuangnya di sana.

Namun, ia terkejut selepas melihat tulisan di kaca riasnya.

"Kembalikan itu, aku menunggu. Tertanda : Mr. Tonny Ayres." --Gadis itu menghela napasnya. Menunduk, memendam amarah. "Sialan! Bajingan sialan!" Rumi seharusnya tahu, dia pasti punya maksudnya sendiri. Mr. Tonny tak akan semerta-merta meninggalkan barangnya tanpa tujuan.

... To be continued ...

avataravatar
Next chapter