webnovel

Max yang Bimbang

Mobil Max memasuki garasi rumahnya dengan santai. Setelah parkir, Max keluar dari mobil sambil membawa blush yang diambilnya dari tempat Jam. Ketika menaiki tangga untuk sampai di lantai satu rumahnya, Max teringat Draft. Adegan perkelahian, area tempat perkelahian, senjata yang dipakai oleh Draft sampai ekspresi terakhir korban terulang kembali di pikirannya. Makhluk itu tak seharusnya ada di sini. Sepertinya ada perburuan. Pikirannya jadi tegang. Langkah Max terhenti saat membuka pintu. Dia memikirkan kejadian itu lagi. Rasanya ada tak ada beres. Termasuk sikap Elia semalam.

Max lalu berkutat sendiri dengan dugaan-dugaannya sampai blush yang ada di tangannya menyadarkannya. Dia melihat matahari sudah sepanjang galah. Dia pikir Elia pasti sedang tidur atau sebaliknya menunggu dengan kemarahan yang memuncak. Max bergegas masuk, tak lupa untuk menyambar bra yang dini hari tadi dilepas oleh Elia sendiri secara sembarangan. Dia menyatukan bra itu dengan blush di tangannya dengan biasa lalu menuju lantai dua. Dia membuka pintu kamar tempat Elia berada. Dia terhenti di daun pintu sebentar untuk menikmati pemandangan yang dilihatnya.

"Max! buka!"

"Aku lebih tua darimu, bisakah lebih sopan?"

"Brengsek! aku kebelet!"

"Seharusnya kamu pakai bahasa minta tolong yang lebih manis."

Max mendekati Elia yang kelihatan menggigil. Di matanya, Elia terlihat seperti anak anjing menggonggong untuk memprotes tuannya yang telah meninggalkannya dalam keadaan diikat semalaman tanpa makanan dan minuman, sudah begitu udaranya dingin. Dia mengamati selimut yang melorot dan paha Elia yang terekspos.

"Kamu lihat apa!"

Max tertawa saat mendengar Elia menggeram. Di matanya Elia jadi terlihat lebih manis saat marah. Dia melemparkan blush dan bra di tangannya ke badan bagian atas Elia, sehingga bisa menutupi sebagian payudaranya. Setelah itu membuka tali yang mengekang Elia sambil berkata, "Aku harap kamu dapat pelajaran."

Max tahu Elia tidak mendengarkan. Elia sudah gelisah selama beberapa jam menahan kencing. Ada sedikit rasa bersalah juga pada hatinya ketika menyadari Elia tersiksa. Dia terkekeh ketika Elia berlari ke kamar kecil tanpa berpakaian lebih dulu.

Tanpa menunggu Elia, Max turun ke lantai satu. Dia mulai membuat kopi. Saat aroma kopi naik ke permukaan, Max ingat percakapannya dengan Jam dan pertemuannya dengan Draft. Dia lalu mengambil handphone dari sakunya untuk memastikan tidak ada yang menghubunginya sejak semalam. Tidak ada tanda telepon tak terjawab. Dia lalu meletakkannya ke meja. Dia menoleh saat mendengar langkah kaki Elia mendekat. Dia lega Elia memakai blush dan branya lagi. Tanpa disuruh, Elia duduk di depannya. Dapur minimalis terbukanya selalu memudahkannya menjamu tamu.

Max menyeduh kopi untuk dua orang. Dia meletakkan segelas di depan Elia yang tampak malu. Dia tersenyum. Kurasa dia sudah tahu kesalahannya, pikir Max sambil menikmati aroma kopi dan memutuskan tidak akan menyinggung kejadian beberapa jam lalu.

"Mau roti panggang?" Max menawari Elia sambil meletakkan gelas kopinya ke meja. Elia mengangguk. Melihat jawaban yang diinginkannya, dia langsung mengambil roti dari kulkas dan menyalakan pemanggang. Dia juga menyiapkan selai. Ada selai cokelat dan kacang. Dia tidak yakin kedua selai itu sesuai selera Elia tapi tetap harus disajikan untuk jaga-jaga jika Elia ingin menikmati roti panggangnya dengan selai.

Dalam satu menit kemudian mereka sudah menikmati sarapan. Pergelangan tangan Elia yang memiliki bekas ikatan tampak jelas di mata Max. Dia juga melihat ada bekas serupa di kedua pergelangan kaki Elia. Dia menyadari Elia mengambil kesempatan itu untuk mengeluhkan tindakannya beberapa jam lalu.

"Aku tidak akan melakukannya lagi tanpa seijinmu," katanya.

Elia berdecak. "Aku tidak keberatan sih awalnya, tapi pas kamu pergi begitu saja aku benar-benar kesal."

"Kenapa kamu mengikuti kata-kata Jam?"

"Aku tidak mengikuti kata-katanya, ini inisiatifku sendiri."

"Apa saja yang dia katakan padamu?"

"Tidak banyak, dia hanya menyinggung soal seleramu dan bagaimana kamu melakukan tes pada setiap perempuan yang mendaftarkan dirinya ke Bawah Tanah."

"Soal keinginanmu ke Bawah Tanah .... aku sudah memikirkannya."

Elia tampak bersemangat. "Kamu setuju?"

"Tidak."

Keduanya saling adu pandang. Max memaksa Elia untuk mengerti dengan tatapannya. Dia tidak ingin menjelaskan lebih jauh soal Bawah Tanah dan kekhawatirannya. Dia juga tidak ingin menyinggung soal janjinya pada Bibi untuk menjauhkan Elia dari Bawah Tanah.

"Jika itu soal kamu sudah janji dengan ibuku untuk tidak membawaku ke Bawah Tanah, kamu sudah menepati janji itu," kata Elia.

Max terkejut Elia mengetahui isi pikirannya.

"Ini keinginanku sendiri, kamu tidak melanggar satu pun janji pada ibuku," kata Elia dengan wajah memohon. "Aku ingin tahu kenapa dia memilih tempat itu daripada aku."

"Kalau hanya untuk menjawab rasa ingin tahumu, kamu tidak perlu masuk menjadi bagian dari Bawah Tanah," Max menegaskan. Dia menggenggam pergelangan tangan Elia. Dengan gerakan lambat dan lembut dia mengusap warna merah bekas ikatan di pergelangan tangan Elia itu. Selama itu Max bisa merasakan tatapan mata Elia menjelajahi ekspresinya. Dia memanfaatkannya untuk membuat Elia berhenti merengek. Sayangnya Elia tidak segampang itu melupakan keinginannya.

"Aku yakin kamu sudah tahu bagaimana mereka menemukan ibuku. Ini lebih dari sekedar ingin tahu, Max," kata Elia dengan suara bergetar yang membuat jantung Max berdesir. Dia melepaskan pergelangan tangan Elia. Kelima jarinya lalu mengetuk-ketuk meja secara bergelombang dan lambat.Dia tahu Elia tahu peperangan batinya. Sikap Elia membuatnya ingat pada Bibi yang juga gigih jika sudah menginginkan sesuatu. Dia jadi merindukan Bibi.

"Pihak berwenang sedang menyelidiki kasus itu, kamu akan segera tahu siapa pelakunya."

"Kamu masih percaya dengan hukum di negara ini? aku tidak percaya kamu akan mempercayainya. Orang sepertimu?!"

Elia marah dan itu membuat Max tak nyaman.

"Max, dengan tato saja kamu tidak akan bisa hidup! kenyataannya sekarang kamu punya banyak properti, rumah mewah, aset saham, dan banyak lagi kekayaan yang kamu simpan. Dari mana semua itu? bisnis utamamu bukan tato! kamu melakukan pekerjaan ilegal dan mereka diam saja! mereka sudah dibeli!"

Max mengeraskan rahangnya. Dia menahan diri untuk tidak menjawab Elia secara emosional. Semua yang dikatakan Elia adalah kebenaran. Elia hanya belum tahu di balik kebenaran itu ada sistem yang tak bisa diruntuhkannya.

"Dan ibuku! dia juga sama sepertimu! dia punya properti di luar negeri dan mengaku hanya berbisnis pakaian, desainer!? kamu pikir tidak akan ada yang memberitahuku? saat aku masih kecil ibuku bisa berbohong tapi setelah aku bisa berpikir, aku bisa mencari tahu sendiri!"

Max memutuskan untuk membiarkan Elia meluapkan semua emosinya. Elia butuh itu. Kesadarannya pada poin itu membuatnya menjadi lebih tenang dan bisa menerima semua kemarahan Elia. Dia membentuk dirinya sendiri seperti alat penyaring sampah alam bawah sadar orang lain.

"Sepanjang hidupku, yang kuingat dia menemuiku hanya lima kali. Lima kali Max! sementara dia bepergian melakukan pekerjaan itu! lalu pulang dengan membawa harta, emas, berlian, dan menyimpannya di Bank. Semuanya atas namaku, seharusnya aku bahagia, tapi...." Elia menahan nafas dan air mata. "Dia membawaku ke luar negeri dan ku kira kami akan mulai hidup baru. Saat aku bangun tidur. Dia pergi tanpa kata. Buat apa dia membawaku ke sana kalau akhirnya dia kembali lagi ke Bawah Tanah!"

Max melihat Elia tercekat dan mencoba mengatur nafasnya yang dipenuhi kemarahan. Dengan lebih lambat tapi jelas masih dipenuhi amarah, Elia lanjut berkata, "Telepon bunyi pagi-pagi, seseorang memberitahuku untuk pergi ke departemen autopsi!"

Max menyadari sesuatu. Itulah yang mengganggu pikirannya sejak Elia bertingkah berlebihan semalam.

"Seseorang menelponmu?"

Max berpikir, "Bukankah hanya aku yang tahu alamat dan nomor telepon mereka di luar negeri?"

"Kenapa?" Elia tidak jadi menangis.

Max memperbaiki sikapnya. Terlambat, Elia sudah menyadari dia mencurigai sesuatu. Elia menutup mulutnya dengan ngeri. "Oh my God! aku baru ingat, hanya kamu yang diberitahu ibuku soal alamat kami."

"Kenapa kamu datang ke sana sendirian?"

"A...aku... aku tidak sempat memikirkan hal lain," Elia panik.

Max bisa memahami situasinya. Meskipun Elia tidak sering bertemu atau menghabiskan waktu bersama ibunya, tapi mereka saling mencintai. Kehilangan ibunya secara mendadak pasti membuat Elia kehilangan kendali atas kewarasannya dan dia menduga pagi ini kewarasan Elia baru mau pulih. Dia bersyukur tidak terjadi apapun pada Elia hingga sampai di rumahnya dengan aman. Akan tetapi, benarkah begitu? Dia ingat Draft membantai seseorang di area netral di jalur menuju ke rumahnya. "Mungkinkah Elia sedang diawasi?" tanyanya dalam hati. "Untuk apa?"

Next chapter