1 Paithfull

'Lima tahun pun berlalu begitu cepat, semenjak kepegian Joshua yang meninggalkan berbagai kenangan manis sekaligus pahit bagi segenggam kehidupanku.

Pria itu memberikan sebuah luka yang cukup sulit bagiku untuk menyembuhkannya. Tidak ada lagi yang menarik dalam hidup ini, hanya ada warna hitam dan kelabu saja yang menghiasi hari-hariku.

Aku membencinya karena dia telah mengikari janjinya. Janji untuk selalu menemuiku. Kemanakah harus kubuang cinta yang kau berikan?'

'Selama lima tahun ini juga, banyak hal yang sudah telah terjadi di sekitarku. Semua orang selalu berjalan, bergerak maju memutari roda kehidupan dan hanya aku saja yang masih diam di tempat yang sama.

Aku enggan pergi, serta diam di tempat untuk menikmati arus kehidupan. Kemudian tetap merasakan pahit yang Joshua tinggalkan.

Orang-orang disekitarku telah berhasil mewujutkan cita-cita yang dulunya hanya angan-angan belaka.'

'Bimo kini sudah memiliki Istri sekaligus anak laki-laki. Maria kini telah menjadi penata rias artis, sesuai dengan impiannya. Dan Agus, pria yang mudah marah itu kini telah memiliki sebuah cafe yang sedang trend saat ini.

Lalu bagaimana denganku, Zefa? Setelah lulus dari study aku memilih pekerjaan yang tidak menyulitkan ku namun, di kantor yang aku naungi sekarang, hanya bagian seketaris saja yang kosong dan dengan terpaksa aku menerima posisi itu.'

'Lalu apa yang terjadi dengan Nathan? Pria itu menghilang sebelum hari kelulusan, sejak saat itu juga aku tidak pernah bisa menghubunginya. Itu bukan masalah besar buatku sebab, di kehidupan ini yang kupikirkan hanya fokus pada bagaimana caraku melupakan Joshua dan melanjutkan hidup. Namun, sepertinya sia-sia.

Bayangan wajahnya telah tersimpan rapat di ingatanku. Dan setiap hari setelah aku mengingat Joshua, semuanya tetap sama. Aku merindukan dia'

***

1 Januari

Dering dari alarm Dekker yang berbunyi kencang ini memaksa Zefa untuk membuka matanya meskipun hal itu sangat sulit dilakukannya.

Pagi ini, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi, waktu yang sama dimana Joshua selalu menghubungi Zefa hanya untuk membangunkannya.

Sinar dari lampu kamar yang menusuk serta menerobos masuk melewati kelopak mata cantiknya ini pun telah berhasil membuat Zefa mengerjap perlahan.

Kehidupan di dunia kerja, lebih kejam di banding masa sekolah. Zefa lantas beranjak bangkit untuk mengumpulkan nyawanya. Manik Zefa menilik pada arah jam yang berada di atas nakas samping tempat tidur, senyum tipis menghiasi wajah gadis itu.

Meski, di detik berikutnya tangan yang meraih jam alarm tersebut melempar benda itu kuat pada tembok kamar dan membuatnya hancur berkeping-keping.

"Apa kau masih tidur? Bangun gih, pacarnya Joshua harus bangun pagi." Senyuman yang tadinya melengkung naik di bibir Zefa kini perlahan memudar beriringan dengan matanya yang mulai mengenang.

Hampir gila rasanya bila terus mengingat Joshua dan luka yang ia derita tidak kunjung jua sembuh.

"Bagimana mungkin kau membiarkanku hidup dalam perasaan rasa bersalah?" gerutunya pada dirinya sendiri sambil menggenggam erat cincin logam yang berada di jari manisnya.

Zefa mengusap air matanya lalu bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh rampingnya.

Dari pantulan kaca penghalang yang ada di kamar mamdi, Zefa bisa melihat sebuah bekas luka sayatan yang ada di dada kirinya, sayatan yang terlihat dalam dan juga panjang.

Dibawah shower yang masih memancurkan air dingin, Zefa perlahan mengusap bekas luka tersebut sambil kembali tersenyum simpul.

"Kau kejam sekali. Lebih baik kau hancurkan, kau robek saja tubuhku dari pada kau harus meninggalkankanku." Perlahan tatapan Zefa menajam beriringan dengan air yang membasahi tubuhnya mulai terasa hangat.

Zefa mematikan air shower lalu membungkus tubuhnya dengan handuk dan keluar dari kamar mandi.

Kali ini Zefa berpikir untuk memilih setelan baju kemeja berwarna cream serta bawahan Cardinal Femme Rok.

Tak lama, Zefa mengikat rambut dengan gaya kuncir kuda serta mengenakan heels yang telah terpasang dengan cantik dan pas di kakinya.

Zefa tak memikirkan pandangan orang lain mengenai make upnya yang sangat sederhana sebab yang ia butuhkan hanyalah sebuah sebuah kenyamanan saja.

Zefa hanya cukup membubuhkan bedak setipis mungkin serta polesan Lipcream berwarna nude membuatnya terlihat sangat natural dan cantik.

Zefa kemudian menilik jam arloji motif bunga lavender yang terpasang di pergelangan tangannya ini pun selalu menjadi pengingat waktu bagi Zefa.

Ia kemudian menghela napasnya berat ketika ia sudah siap menata dokumen-dokumen yang harus dibawanya hari ini.

"Masih pukul setengah tujuh pagi, sebaiknya aku pergi ke cafe milik Agus." Zefa mengambil kunci mobil, tas kerja serta dokumen yang ada di atas nakas lalu dengan sigap keluar dan mengunci apartemen yang di sewanya.

Sengaja Zefa memilih tinggal di tempat yang terpisah dengan kedua orang tuanya, ia ingin belajar mandiri walaupun kedua tangan Zefa jarang membersihkan apartemen tersebut.

Namun, setiap dua hari sekali ia selalu menyempatkan diri untuk membersihkan bagian yang teringan saja. Apartemen yang cukup besar dengan harga yang lumayan mahal membuat Zefa cukup nyaman dan terlebih lagi, apartemen yang digunakannya ini cukup dekat dengan kantor.

Akan tetapi, jika ia ingin pulang ke rumah orang tuanya. Membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan. Dan meskipun Zefa jauh dengan orangtuanya, ia selalu berpikir tenang sebab Bimo dan keluarga kecilnya sudah menemani mereka dari dekat.

Kini saatnya, bagi Zefa untuk melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan Ayah dan Ibunya. Selain jauh dari rumah, Zefa juuga memiliki alasan lain tetang mengapa dirinya tinggal jauh dari orangtuanya?

Itu karena rumah tua tersebut terlalu banyak menyimpan kenangan dari mendiang kekasihnya, Joshua. Dan Zefa tidak ingin terpuruk dalam masa lalu walaupun pria itu sulit dilupakannya.

Zefa memasukkan kedua kaki jenjangnya ke dalam mobil, menutup pintu, serta memutar kunci dan memarik tuas dengan lincah. Ia menekan gas mobil yang akan mengantarnya pada rutinitas harian yang mulai terasa membosankan.

Musik berjudul 'Whisper' dari penyanyi bernama park-Ji-Woo pun telah menemani perjalanan Zefa kali ini, kedua maniknya menatap lurus jalan di depannya dan tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali ke arah mana pun di mana seorang pria mengikuti dirinya.

Ia masih memiliki waktu yang cukup banyak sebelum masuk ke kantor yang akan membuatnya bekerja bagaikan kuda. Oleh karena itu Zefa memutuskan untuk mampir ke cafe milik Agus hanya untuk sekedar memesam kopi dan roti panggang disana serta berbincang-bincang dengan pria itu sebentar.

Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke ke cafe Agus hanya lima belas menit perjalanan dari rumahnya dan saat iasampai ditempat tersebut.

Zefa dengan segera memarkirkan mobilnya di tempat parkiran lalu turun dan masuk ke tempat Agus berbinis. Suara lonceng yang berada di dekat pintu terdengar nyaring hingga membuat seorang pria yang sedang menata meja depan menoleh ke arahnya, tak lupa pria itu menyunggingkan senyumnya lalu menghampiri Zefa.

"Baru buka, pelanggan pertama ku orang cantik," sambut Agus.

"Kopi Americano panas dengan roti bakar selai coklat satu. Aku akan menunggumu di meja luar, Gus." Setelah mengucapkan pesanannya, Zefa kembali keluar dan duduk di kursi yang berada di depan cafe.

Agus menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengarkan ucapan Zefa yang to the point. "Pasti karena kepergian Joshua yang merubah sikap pemalasnya menjadi dingin, sedingin es batu. Tidak terasa lima tahun berlalu," gumam Agus.

Ia lantas dengan segera menyiapkan pesanan milik Zefa. Di luar cafe, Zefa sibuk memainkan ponselnya karena banyaknya pertanyaan yang diajukan para karyawan dan harus ia jawab dengan cepat dan cekatan.

'Menyebalkan sekali,' gerutunya dalam hati. Selang beberapa menit, tak lama ia menunggu pesanan yang diberikannya pada sang pemilik cafe sudah datang.

Zefa mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas meja saat Agus mulai menata pesanannya.

"Kopi Americano panas dan roti panggang selai coklat telah siap," ucap Agus seraya menegakkan lagi badannya. Sekilas, Zefa menatap ke arah pesanannya lalu mendongak ke arah Agus.

"Duduklah, aku tidak yakin kalau kau tadi memang bersih-bersih cafe." Agus mengeluarkan tawa bohongnya ketika mendengar kritik pedas dari sahabatnya itu, ia menuruti permintaan sederhana dari Zefa untuk duduk di kursi dan menikmati suasana pagi hari di kota Jakarta.

"Tidak biasanya kau mampir ke sini dulu sebelum berangkat bekerja." Zefa yang tengah menyeruput kopi panas langsung menatap dingin ke arah Agus lalu menurunkan cangkir yang dipegangnya di atas piring kecil.

"Apa kau tidak suka kalau aku kesini?"

'Sepertinya aku salah mengucapkan pertanyaan,' batin Agus. Ia menilik raut wajah datar dari temannya itu, ia melambaikan kedua tangannya sambil berkata, "Bukan seperti itu tapi maksudku. Jarang sekali kau mampir kesini saat pagi hari." Lalu menurunkan tangannya kembali.

"Aku akan sering ke sini mulai besok."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan memberikan kopi yang istime–"

"Jangan menggunakanku sebagai kelinci percobaan untuk merasakan kopi yang kau ciptakan sendiri," tegur Zefa sambil memotong roti panggang di hadapannya.

"TUAN MUDA, AWAS!!"

To Be Continued...

avataravatar
Next chapter