webnovel

3. Parasit

Pletak!

Ruby mengusap kepalanya yang baru saja terkena hantaman pulpen milik Kenan.

"Tidak ada yang instan dalam ilmu sains, Nona. Kau harus benar-benar serius kali ini," tegas Kenan. Ia mengambil salah satu larutan dalam labu menggunakan sebuah pipet tetes.

"Aku lapar." Ruby menempelkan salah satu sisi wajahnya di permukaan meja dan memandangi Kenan yang tengah serius.Gadis itu lantas tersenyum tanpas alasan. Dia menyukai wajah serius Kenan.

"Jangan menatapku begitu. Duduklah yang benar, ini bisa menetes ke permukaan wajahmu. Kau bisa gatal-gatal nanti."

Mendengar itu membuat Ruby menegakkan kembali tubuhnya.

"Aku juga lapar. Setelah ini kita langsung ke kantin. Hm? Nanti aku yang bayar." Kenan mengedipkan sebelah matanya.

"Oke!" Ruby mendadak semangat dan ia kembali meraih pipet tetes miliknya yang tadi sempat dia abaikan.

***

Suasana kantin sedang tidak begitu ramai saat Ruby dan Kenan datang ke sana. Beberapa orang menatap ke meja mereka, entah kenapa. Hal itu membuat Ruby sedikit risi karena ia menjadi pusat perhatian. Memangnya apa yang salah dengan dirinya? Pikirnya.

"Kau sudah dengar kan tentang nilai milik Kenan? Sejauh ini dia selalu mendapat nilai terbaik, dan kudengar dia berencana meneruskan ke Harvard." Seseorang yang berada di sebuah meja tidak jauh dari sana berujar hingga teman-temannya menoleh.

"Benarkah? Keren. Lalu Ruby?" Salah satu temannya lalu bertanya dengan mulut penuh.

"Aku tidak tahu. Tapi mereka kan selalu bersama, jadi kurasa dia juga akan ikut. Lagi pula nilainya juga tidak kalah bagus, 'kan? Dia selalu mendapat peringkat dua."

"Tapi bukankah menurutmu Ruby itu terlalu menempel? Jangan karena mereka tinggal di tempat yang sama, dia bisa selalu menempel seperti itu terus. Dia malah terlihat seperti pa ... rasit." Gadis berwajah oriental itu seketika memelankan bagian akhir kalimatnya saat temannya menyikut.

Ruby melirik kerumunan itu dengan kedua sudut matanya. Pandangannya lalu teralih pada Kenan yang juga entah sejak kapan menghentikan kegiatan makannya, bahkan asap yang semula masih mengepul dari mangkuk berisi soto ayam itu kini sudah tidak ada, menandakan kalau suhu makanan itu sudah menurun.

Kedua sudut bibir Ruby perlahan naik. "Orang-orang sudah tahu prestasimu. Mereka ikut bangga," ujarnya.

"Apa kau tidak dengar kalau mereka baru saja mengataimu parasit?" Kenan beralih menatap Ruby dengan matanya yang tajam."

"Ah, itu. Haha, sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Mereka kan hanya bercanda." Ruby tertawa pelan.

Kenan menatap orang-orang tadi selama beberapa saat. Ia lalu bangkit dari posisinya, namun Ruby dengan cepat menahannya. Gadis itu menggelengkan kepalanya perlahan, memberi kode agar Kenan tak berbuat apapun dan menimbulkan kekacauan di sana.

"Kenan! Jangan lakukan apa-apa, kumohon. Jika kau tidak suka dengan ucapan mereka, jangan mendengarkannya. Hm? Aku baik-baik saja, Ken." Ruby tersenyum dan berusaha membuat Kenan semakin tenang. Perlahan, Kenan membuang pandangannya dari orang-orang itu dan kembali mendudukkan tubuhnya.

***

"Ayo, pulang! Lalu kita pergi ke restoran yang kemarin!" Ruby dengan semangat melingkarkan tangannya di lengan Kenan.

"Aku tidak bisa." Kenan melepaskan tangan Ruby, membuat gadis itu menatapnya kecewa.

"Kenapa? Kau bilang akan mengajakku ke sana lagi."

"Kau lupa hari ini ada tugas kelompok? Kita beda kelompok, aku harus mengerjakannya sekarang bersama anggota kelompokku. Kau juga harus melakukannya," ujar Kenan.

Ruby menghela napas pelan. "Memang apa peduliku soal tugas itu? Masih ada dua hari untuk mengerjakannya, 'kan? Aku mau pergi makan spageti saja."

"Apa? Ruby, tapi—"

"Tidak usah mencegahku. Kalau begitu aku duluan ya." Ruby menepuk bahu Kenan dan segera memberhentikan taksi. Ia melambaikan tangannya pada Kenan begitu memasuki mobil.

"Ah, aku lelah sekali memikirkan tugas-tugas sialan itu." Ruby menyandarkan tubuhnya dan menatap pemandangan di luar. "Pak, pergi ke Restoran Toscana, ya!" ujarnya pada sang sopir.

"Baik, Nona."

Ruby tersenyum. Dia ingin mendinginkan isi kepalanya dengan sepiring spageti aragosta.

Jarak dari sekolahnya menuju Toscana cukup jauh hingga memakan waktu sekitar empat puluh menit. Namun, Ruby tetaplah Ruby. Ia akan selalu menuruti apapun yang diinginkan lidah dan perutnya.

***

"Tolong satu spageti aragosta."

Seorang pramusaji tersenyum. "Baik, Nona."

Ruby menatap sekitarnya. Orang-orang tampak begitu menikmati makanan mereka, membuat Ruby semakin tersenyum lebar. Melihat orang-orang di sekitarnya bahagia, membuat dirinya ikut bahagia. Baginya, hal sesederhana itu begitu bermakna.

Tidak jauh dari posisinya, seseorang duduk di salah satu meja kosong seraya memandanginya secara diam-diam.

"Tuan, apa Anda ingin memesan sesuatu?" Seorang pramusaji menghampiri.

"Aku hanya ingin duduk di sini," jawab Arthur tanpa mengalihkan kedua matanya sedikitpun. Sang pramusaji lalu berpamitan pergi dari sana.

Salah satu sudut bibir Arthur naik. Seperti dugaannya, gadis itu datang lagi ke sana dan memesan makanan yang sama. Ia terlihat begitu lahap tanpa mengurangi senyuman di bibirnya. Namun kali ini Arthur tak melihat sosok laki-laki yang menemani gadis itu kemarin. Ke mana dia? pikirnya.

Kegiatan makan Ruby berhenti begitu ia mendapat sebuah panggilan. Senyuman yang awalnya terukir indah di bibirnya itu mendadak hilang. Pandangan matanya mendadak menjadi tidak fokus dan tangannya bergetar. Gadis itu memanggil seorang pramusaji dan memberikan sejumlah uang.

Arthur mengerutkan dahi. Ekspresi bahagia gadis itu mendadak berganti menjadi ekspresi ketakutan. Ia lalu bangkit dari posisinya begitu melihat Ruby berlari keluar dari restoran.

"Lalu bagaimana keadaan anak-anak sekarang, Bi?" tanya Ruby khawatir.

"Ambulans belum juga datang, Ruby. Ibumu pingsan dan Yul juga terus-menerus menangis," ujar Brenda dari seberang sana. Ia terdengar begitu frustrasi.

Ruby mengusap wajahnya kasar. "Bahkan ibu dan Yul juga? Ya Tuhan. Kalau begitu aku akan langsung ke sana.

"Ada apa dengannya?" Arthur berlari keluar dan mengikuti Ruby. Gadis itu tampak menangis. Ia mencoba memberhentikan sebuah taksi namun nihil.

"Kenapa tidak ada satu pun yang berhenti?!" teriak Ruby dengan kedua mata yang berair. Kedua kakinya lantas bergerak menuju jalanan dengan tangan yang mengepal kuat.

"Apa yang dia lakukan?!" Arthur menatapnya tidak percaya. Sampai ketika ia mendengar suara nyaring dari beberapa klakson mobil. Pria itu dengan cepat berlari begitu melihat sebuah mobil yang menuju ke arah gadis yang kini tengah berdiri di tengah jalan itu.

"Awas!!"

Tubuh Ruby terdorong ke tepi jalan berikut dengan Arthur yang ikut berguling bersamanya.

"Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin mati?!" Arthur berteriak padanya dengan napas terengah. Jika saja ia terlambat sedikit, pasti sudah lain lagi ceritanya.

Ruby tak menjawab. Gadis itu menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnya menangis tersedu-sedu di sana.

"Kenapa kau menangis? Apa terjadi sesuatu?" tanya Arthur khawatir.

Perlahan Ruby mengangkat wajahnya. "To-tolong aku," lirihnya dengan air mata yang sudah berderai.

—Bersambung