webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Justin Masih Hidup.

Pukul 07.30 Pagi ...

At Rumah Sakit

Suasana sejuk dan dingin udara pagi tak mampu membuat ketenangan untuk tiga orang yang berjaga di depan sebuah ruang inap pasien.

"Apa benar, Chel? Jess melihat seseorang yang sangat mirip dengan Justin sampai dia pingsan seperti ini?"

Michele menoleh sambil mengangguk. "Iya, Tan... Tadi malam kami ada acara dan di sana Jessica bertemu dengan laki-laki yang sangat mirip dengan Justin."

Pernyataan Michele membuat laki-laki dan perempuan paruh baya di depannya saling bertukar tatap, seperti ada sesuatu yang mengganggu mereka.

"Ada apa, Tan?"

"Kamu yakin itu Justin?" jawab seorang ibu paruh baya itu sambil menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Michele.

Sementara mereka berbincang-bincang di luar ruangan, di dalam ruangan itu Jessica tersadar dari tidur panjangnya! Tidak lama, hanya semalam. Jika ia tidak sadar juga, mungkin ia tidak akan tahu dirinya berada di rumah sakit sejak semalam.

Saat matanya mulai perlahan terbuka, netra Jessica merasa asing dengan suasana ruangan yang serba putih itu tapi Jessica juga mengenal bau khas obat-obatan di sana. Pandangan Jessica berkeliling mencari dengan siapa dia di sana tapi ia tidak menemukan siapapun di ruangan itu, hanya ia sendiri. Namun, samar-samar ia mendengar suara orang sedang bercengkrama di luar ruangannya.

"Suara om dan tante, apa mereka ke sini?"

Jessica terdiam saat mendengar samar-samar percakapan mereka di luar.

"Mungkin sudah saatnya, dia melindunginya sendiri! Jujur saja, om dan tante tidak mampu kalau harus terus-menerus menghadapi sikapnya yang memikirkanmu! Belum lagi mereka yang berusaha mencelakai dirinya."

"Maksud om dan tante?"

"Iya, itu adalah dia."

Kening Michele berkerut sempurna, sesuai dugaannya, laki-laki itu adalah Justin.

"Tapi, kenapa, Tan?"

"Panjang ceritanya, tapi yang pasti itu bukan kemauannya...," papar Om Jessica membuat Michele mengangguk ragu.

Sementara itu, di dalam ruangan Jessica mengerutkan keningnya. "Siapa yang mereka maksud?" tanya Jessica entah pada siapa.

Mendengar sepenggal percakapan itu, membuat Jessica semakin tidak paham. Apa mungkin yang sedang mereka maksud adalah dirinya? Tapi, sepertinya bukan tapi kenapa mereka berbincang di depan kamar Jessica?

Tak lama setelah perbincangan yang didengar Jessica, ia mendengar suara pintu terbuka. Jessica berpura-pura kembali tidur dan bangun saat mereka sudah berada disekitar ranjangnya.

"Jessica," seru Michele melihat Jessica mulai mengerjapkan matanya.

"Michele, Om... Tante," seru Jessica kaget melihat keberadaan om dan tantenya.

"Iya, sayang ... gimana keadaan kamu? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Tantenya khawatir.

Jessica tersenyum tulus, ia berusaha menutupi rasa pusing yang masih menjalar di kepalanya.

"Jess, maafin Om dan Tante ya ... nggak bisa jagain kamu terus," ujar Omnya terdengar menyesal.

Jessica menggeleng. "Enggak, Om... Tan ... kalian nggak salah apa-apa kok."

Jessica yang sebenarnya masih memikirkan kejadian kemarin berusaha sekuat tenaga menutupi semua perasaannya. Ia tidak ingin membuat kedua orang yang sangat berjasa di dalam hidupnya lebih khawatir padanya.

"Lagi-lagi karena terlalu berharap Justin masih hidup, aku membuat semua orang khawatir."

Saat sedang asik mengobrol, pintu rawat inap Jessica terbuka, seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih masuk dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

"Selamat pagi, Mbak Jessi... Bagaimana keadaannya?" tanya wanita yang bisa dipastikan adalah dokter itu.

Jessica tersenyum. "Sudah lebih baik, Dok. Apakah saya boleh pulang?" tanya Jessi tak ingin berlama-lama dirawat di rumah sakit.

"Saya cek dulu ya, kalau sudah stabil semuanya ... boleh langsung pulang setelah infusnya habis."

Jessica mengangguk, ia membiarkan dirinya di periksa oleh sang dokter ditemani dengan om dan tante serta sahabatnya itu.

***

Siang itu, pukul satu siang. Jessica sudah kembali ke rumahnya di temani oleh Michelle karena setelah ia dinyatakan boleh pulang, om dan tantenya langsung kembali ke Jerman.

Kini Jessica dan Michele sedang berada di sebuah taman tak jauh dari kawasan rumahnya. Sedangkan kedua om dan tante Jessica sudah kembali ke Jerman beberapa jam yang lalu.

"Jess, kita duduk di situ dulu, Yuk! Aku mau cerita sesuatu," ujar Michele lalu mendahului Jessica duduk di bangku taman.

"Aku juga mau cerita, tapi kamu duluan deh, emang ada apa?" tanya Jessica menoleh sambil mengangkat kedua alisnya. Ia sedikit heran karena tak biasanya Bella akan bercerita tentang masalahnya jika itu tidak sangat berat.

"Kamu aja duluan deh!" ujar Michele.

Jessica mengangguk lalu menghela nafas berat. Ia menatap Michele lama sebelum akhirnya menatap lurus pada jalan tak berujung.

"Saat kejadian itu, aku jelas-jelas melihat ledakan terjadi sesaat setelah Justin melemparku. Bukankah harusnya dia tiada? Lalu kenapa kemarin aku melihatnya, dia muncul begitu saja dan tidak mengenaliku."

"Apa kamu yakin yang kemarin adalah Justin? Setelah ku cari tahu, namanya adalah Juan dan dia adalah eksekutif produser yang selama ini tidak pernah kita temui," papar Michele menatap Jessica.

"Menurutmu apakah dua orang yang berbeda bisa semirip itu satu sama lain?"

'Feelingmu sangat kuat, Jess... Apa yang harus ku katakan, aku tidak mungkin memberitahu dirimu yang sebenarnya sekarang karena jika itu ku lakukan aku takut kamu tak akan bisa menahan diri dan itu malah membahayakanmu.'

Batin Michele bergejolak setelah mendengar penuturan om dan tante dari Jessica tadi malam.

"Jika itu dia, apa mungkin dia sedang Amnesia?"

Jessica menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Entahlah, amnesia sampai tiga tahun? Rasanya sulit dipercaya dan jika dia benar-benar Justin, melihat perlakuannya padaku kemarin membuat aku sakit, Chel. Apa mungkin ini saatnya aku memang harus tidak perduli lagi dengannya!"

"Sudah bertahun-tahun, bukankah kamu tidak pernah bisa melepaskan dan melupakannya?"

Ucapan Michele membuat Jessica menghentikan aktivitasnya, sorot matanya mendadak kosong untuk sepersekian detik.

"Mungkin tidak lagi, sepertinya aku harus berhenti memikirkan dia yang sudah tidak ada, lalu aku akan benar-benar memulai hidup yang baru tanpa mengingat-ingat lagi sosoknya!" tekat Jessica.

"Tidak, aku tidak mungkin menjadi orang jahat dengan membiarkan sahabatku sendiri menjadi seperti ini," batin Michele.

Michele tak lagi bisa menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Ia tidak bisa lebih lama lagi melihat penderitaan yang menyiksa sahabatnya itu, terlebih kini lelaki itu sudah kembali.

"Oh, iya ... kamu mau ngomong, mau ngomong apa?" tanya Jessica mengalihkan pembicaraan.

Michele menoleh pada Jessica sambil tersenyum ragu. "Em, sebelumnya aku minta maaf banget dan aku harap kamu dengerin aku sampai selesai, ya Jess."

Jessica mengangguk tanpa pikir panjang. "Kenapa?"

"Sumpah demi apapun, aku berani berjanji bahwa apapun yang aku katakan ini adalah benar, tidak dibuat-buat. Jess ...," ucap Michele lembut.

"Iya, ada apa sebenarnya?" tanya Jessica terlanjur penasaran dengan yang dimaksud oleh sahabatnya itu.

"Jadi, beberapa waktu yang lalu ...,"

***

CONTINUE ...