webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Diam Seribu Bahasa

Jessica langsung berpaling, menoleh pada ponselnya yang berdering dengan suaranya sendiri itu. Jessica meraih ponselnya lalu melihat nama yang menghubunginya.

"Mis Kim," gumam Jessica melihat nama produser Kim tertera di layar ponselnya.

Jessica langsung mengusap air matanya kasar, ia berdehem sebelum akhirnya menggulir tombol hijau untuk menerima panggilan dari Mis Kim.

"Halo, Mis. Ada yang bisa Jess bantu?" kata Jessica membuka percakapan melalui telepon itu.

"Halo Jess, ini ... Jess bisa datang ke kantor nggak, naskah Jess yang judulnya 'Jess&Juss' dilirik sama eksekutif produser yang kemarin."

Ekspresi di wajah Jessica berubah, ada senyum yang akhirnya terlihat mengukir di sudut bibir Jessica meskipun tipis.

"Sekarang, Mis?" tanya Jessica berusaha menutupi suaranya yang masih serak-serak basah.

"Iya, sekarang ya. Saya tunggu," ujar Mis Kim terdengar dari seberang telepon.

"Baik, Mis."

Jessica menutup teleponnya, sepersekian detik ia masih terdiam di tempatnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sebelum akhirnya ia beranjak dari sana dan masuk ke dalam kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian ...

Jessica keluar dengan kimono mandinya, berjalan ke walk in clothes. Mengambil pakaian formal yang akan ia pakai ke kantor mis Kim. Tak butuh waktu lama untuk Jessica bersiap-siap, kini gadis itu sudah berjalan menuju lobby apartmentnya, ia memutuskan untuk menggunakan taksi online.

"Sesuai pesanan ya, Pak," kata Jessica setelah masuk ke dalam taksi online pesanannya.

Sepanjang perjalanan, mata Jessica memandang jalanan yang cukup ramai. Tapi, tatapannya dibalik kacamata hitam itu kosong.

"Aku terus berusaha keras untuk membuat kehidupanku lebih baik dan menunggu jawaban atas penantianku selama ini."

***

"Seharusnya kau tidak membiarkannya terjun ke kolam hanya untuk mengambil kalung pemberianmu itu, Juan! Kau benar-benar tega dengannya, kau tahu kan dia punya trauma tentang air?"

Terdengar helaan nafas dari laki-laki bernama Juan itu. "Aku tidak punya pilihan lain."

"Dasar anak bodoh! Lihat seberapa kecewanya dia denganmu nanti setelah semua ini terbongkar. Aku tidak yakin perasaan masih akan sama," ceramah Kim pada laki-laki di depannya itu. "Setelah semua yang terjadi lalu kamu baru ingin bertemu langsung dengan dia sebagai eksekutif produsernya, untung saja dia mau datang ke sini!" oceh Kim setelah ia menghubungi Jessica.

***

Helaan nafas terdengar dari Juan yang hanya menyandarkan tubuhnya pada sofa ruangan Kim. "Aku hanya menunggu waktu yang pas!"

"Waktu yang pas apanya! Sudah tiga tahun Juan... Kamu menghilang, mengganti identitas... semua berpikir kamu meninggal."

"Tapi nyatanya dia tidak!"

"Iya, Jessica memang bodoh! Harusnya dia percaya saja kalau kamu sudah meninggal dan harusnya dia bisa move on bukannya malah terus menunggu dan berharap kalau kamu masih hidup!"

***

"Rasanya terlalu abu-abu, mereka terlalu mirip jika mereka orang yang berbeda. Dan kalau memang dia Juan dan bukan Justin, kenapa perasaanku merasa yakin kalau dia adalah Justin?"

Lamunan Jessica tak kunjung usai, pikirannya benar-benar tertuju pada Justin lagi dan lagi. Sampai ia pun tidak sadar jika mereka sudah tiba di kantor yang Jessica tuju.

"Mbak, kita sudah sampai."

Jessica masih melamun, ia tidak sadar kalau ada yang mengajaknya berbicara.

"Hello, Mbak?"

Jessica mengerjap, ia lalu menyerahkannya uang seratus ribu pada pengemudi taksi yang digunakan. "Terima kasih, Pak."

"Eh, Mbak ... Ini uangnya lebih," kata pengemudi itu menahan kepergian Jessica dengan membuka kaca jendelanya.

Jessica yang sudah turun dan bersiap pergi pun menoleh sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak. Buat bapak saja," kata Jessica ramah.

"Makasih ya, Mbak."

Raut wajah bapak itu terlihat senang sekali menerima uang seratus ribu dari Jessica, sehingga Jessica pun ikut tersenyum melihatnya. Setelah itu, Jessica beranjak, ia masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi itu untuk pergi bertemu mis Kim dan direktur eksekutif film baru dari ceritanya.

"Silahkan sebelah sini, Mis Jes," kata seorang wanita yang sepertinya sudah menunggu ia keluar dari lift.

Jessica melemparkan senyum manis sambil mengangguk. Ia berjalan mengikuti langkah wanita itu.

"Kay, apa kamu tahu siapa direktur eksekutif yang baru muncul ini?" tanya Jessica.

Kay mengangguk. "Tentu saja! Dia baru kembali dari luar negeri dan kau tahu Mis? Dia sangat tampan, berwibawa, berkarisma...," puji Kay. "... Tapi sayang dingin dan cuek seperti kulkas dua pintu!" gerundel Kay mengingat betapa cueknya direktur eksekutif itu ketika ia menyapa.

"Menarik," gumam Jessica lalu mengikuti langkah Kay menuju ruangan meeting.

"Kay, apa Mis Kim sudah ada di dalam?" tanya Jessica ketika mereka tiba di depan ruangan yang bertuliskan 'Ruangan Meeting'.

"Belum, Mis. Ibu Kim sedang menerima telfon di ruangannya," kata wanita yang dipanggil Kay oleh Jessica dengan ramah dan sopan.

Jessica menganggukkan kepalanya, pertanda ia paham.

"Kalau begitu, saya akan ke ruangan Ibu Kim dulu untuk memberitahu beliau kalau Mis sudah datang."

Jessica menganggukkan kepalanya, setelah Kay pergi. Agnes menatap pintu yang masih tertutup itu. Ia menghembuskan nafas pendek lalu membuka pintu ruangan itu.

Jessica melihat seorang laki-laki berdiri menatap ke arah dinding ruangan yang terbuat dari kaca itu sehingga membuat orang yang berada di depannya bisa melihat pemandangan kota Jakarta yang padat dan penuh dengan gedung-gedung tinggi.

"Selamat malam," sapa Jessica sambil tersenyum manis. Sejujurnya ia sedang tidak ingin tersenyum setelah moodnya dibuat berantakan sejak kejadian yang terjadi padanya kemarin. Tapi, ia dipaksa keadaan untuk profesional.

Mendengar suara Jessica yang lembut, laki-laki itu menoleh pada Jessica secara perlahan. Tapi tepat setelah laki-laki itu membalik badannya sempurna raut wajah Jessica berubah, kerutan di sekitar bibir Jessica saat ia tersenyum seketika menghilang.

Senyuman dan tatapan yang ditunjukkan oleh Juan padanya itu membuat Jessica terpaku. "Kenapa bisa kamu?" tanya Jessica dengan tatapan tidak percaya. "Maaf, sepertinya aku salah ruangan."

Jessica langsung berbalik, ia bermaksud untuk pergi dari sana. Ia tidak ingin satu ruangan dengan laki-laki yang sangat mirip dengan kekasihnya itu. Tapi suara bariton milik Juan menghentikan langkahnya.

"Kamu tidak salah ruangan, aku memang direktur yang akan bertemu denganmu."

Jessica kembali berbalik, menoleh sekaligus menatap laki-laki bernama Juan itu dengan seksama.

Sementara itu, Entah harus bagaimana dideskripsikan ekspresi wajah Juan saat ini, datar tapi ada jejak dan gurat senyum di sana. Juan kemudian menarik kursi di depannya lalu berkata, "Duduk."

Jessica menghembuskan nafasnya, entah harus bagaimana ia menghadapi kenyataan di depan matanya ini. Mungkin jika bisa, sudah terpikir di benak Jessica untuk menghilang saja dari sana. Namun, hati dan pikiran gadis itu benar-benar tidak sinkron. Kaki Jessica melangkah lalu duduk di tempat yang disediakan oleh Juan.

Diam seribu bahasa...

***

Continue ...