webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

3 Tahun Yang Lalu ...

3 TAHUN BERLALU...

"Setiap cerita selalu punya celah untuk cahaya memberikan sinarnya, dan dia adalah sinar yang menerangi gelapku."

Lagi, setetes air mata keluar dari sudut mata wanita berusia 25 tahun itu. Untuk kesekian kalinya, air mata itu tak sengaja mengalir setiap kali ia menuliskan serpihan memori yang terus berputar dipikirannya.

Dia, wanita yang bersusah payah menyusun kembali kehidupan dengan memasang begitu banyak labirin rumit di hidupnya hanya supaya tidak ada laki-laki yang berhasil menembusnya. Bukan tanpa alasan, wanita yang sering dipanggil Jessi atau Jess itu melakukan karena tidak ingin menghianati cintanya untuk Justin.

'Selama aku belum melihat jasad Justin! Pusaranya pun tidak akan bisa membuatku percaya kalau dia telah tiada! Aku yakin, dia bukan orang yang bodoh untuk tetap tinggal di kapal itu dan membiarkan dirinya leyap begitu saja. Dia tidak akan mungkin membiarkan aku sendiri tanpa kehadirannya.'

Kata-kata itu sudah mendoktrin Jessica sejak beberapa tahun yang lalu. Ia begitu percaya kalau kekasihnya itu masih hidup tapi kenyataan selalu menamparnya dan membuatnya semakin rapuh jika tersadar kalau kekasih hatinya itu telah tiada.

FLASHBACK...

Hari itu, seorang gadis terjebak dalam gelap yang menakutkan. Di sebuah kapal pesiar, ia hampir kehilangan kesadarannya. Cahaya yang menyilaukan dari api yang tak kunjung padam, ia bahkan bisa merasakan panasnya sentuhan kulitnya sendiri.

"Jessica, bertahanlah!"

Gadis itu adalah Jessica Stefany Auryn. Saat ia sudah hampir pasrah dengan keadaan, suara itu membuat matanya yang hampir tertutup kembali terbuka perlahan.

"Justin... panas, nafasku sesak."

"Bertahanlah."

Jessica bisa merasakan lelaki yang ia sebut Justin itu menggendong dirinya menuju jendela.

"Apa yang ingin kau lakukan, Ju!" Jessica bertanya dengan suara yang sangat lemah bahkan kesadarannya hampir hilang.

"Jangan takut! Aku akan menyelamatkanmu, di sana sudah ada kapal kanopi yang akan menyelamatkanmu."

Jessica menggeleng cepat. Jessica cukup cerdas untuk segera mengetahui apa maksud kekasihnya itu. Tapi, Jessica tidak ingin selamat sendirian.

Tangis Jessica semakin kencang, air matanya mengalir tak berkesudahan, gelengan kepalanya pun semakin tegas menolak.

"Enggak, Ju! Aku nggak mau selamat tanpa kamu!"

"Tenanglah, Jess ... kamu hanya akan keluar terlebih dahulu dan aku akan menyusul! Ingat saja, aku selalu mencintaimu!" kata Justin sambil memakainya pelampung pada tubuh Jessica.

Bersamaan dengan itu, Jessica merasakan tubuhnya melayang di udara. Justin melemparnya! Sesaat setelah ia menyentuh air dan sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Jessica melihat kapal pesiarnya tempatnya berasal meledek.

***

"Jessica ...,"

Seruan yang berkali-kali itu berhasil menyadarkan Jessica setelah pingsan berjam-jam lamanya. Butuh waktu cukup lama untuk Jessica bisa menyesuaikan matanya dengan cahaya yang ada.

"Di mana Justin?" tanya Jessica terdengar lemas dengan mata yang berkeliling mencari keberadaan Justin namun tak menemukannya.

Kata-kata pertama yang keluar dari bibir mulut Jessica saat ia sadar itu membuktikan bagaimana besarnya rasa cinta Jessica untuk Justin.

Air mata Jessica menetes, keningnya berkerut heran melihat orang-orang di depannya saling bertukar pandang seakan sukar menjawab pertanyaan Jessica, dan ya! Saat itu perasaan Jessica menjadi kalut dan takut, ia takut apa yang ia pikirkan benar adanya.

Semua orang kompak menggelengkan kepalanya sambil menunduk. Saat itu, tanpa Jessica sadari air matanya mengalir semakin deras, gelengan kepala itu secara tak sengaja membenarkan isi kepala Jessica.

FLASHBACK END.

"Saat itu, aku masih berusia 20 tahun! Saat debaran dihatiku tak lagi bisa berdetak untuk yang lain! Saat itu bersamaan dengan dia menghilang, rasanya akupun menghilang."

Jessica tak lagi bisa menahan air matanya untuk tak mengalir. Karena, semua tentang Justin tergambar jelas di ingatan Jessica.

Sejak saat itu, ia terpaksa mengubur semua kenangan dalam ingatannya yang terdalam, dan sejak saat itu hatinya kehilangan arah.

"Atmosfer hatiku terasa jelas saat bersamamu, sorot matamu bahkan posisi kita yang selalu membuat hatiku berdegup kencang, semua memori itu terasa sangat berarti saat aku kehilanganmu, Ju."

Jessica, wanita yang kini berprofesi sebagai seorang penulis itu telah berjam-jam berada dalam ruang kerjanya yang dipenuhi dengan semua tentangnya dan Justin.

Sesekali Jessica menghela nafasnya berat. Saat ia menulis tentang kisahnya dan Justin, ia sudah tahu resikonya seberat ini. Air matanya pasti tak akan berhenti mengalir, tapi ini keputusannya.

"Jess, mending kita lanjutkan besok aja deh nulisnya! Kamu tenangin diri dulu aja."

Jessica menoleh pada satu-satunya teman yang masih setia menemaninya melewati masa sulit dalam hidupnya.

Jessica mengangguk. "Maaf ya," lirih Jessica menghapus air mata di pipinya.

"It's okay, aku tahu nggak mudah buat kamu mengingat semua kenangan itu apalagi untuk menuliskannya."

"Kamu benar, Chel. Tapi, aku harus menuliskannya! Aku tidak ingin benar-benar melupakan semua itu, aku ingin menyimpannya dalam naskahku," papar Jessica mencoba tersenyum pada sahabatnya itu. "Chel, apa Justin benar-benar sudah tidak ada?"

Michele, perempuan yang sudah menjadi sahabat Jessica sejak kecil itu tersentak kaget. Ia terlihat panik mendengar pertanyaan Jessica.

"Ah, itu ...," -Michele menatap Jessica sesaat- "Entahlah, aku juga nggak tahu pasti, Jess... Tapi yang pasti, kalau Justin masih ada dia nggak akan mungkin lama-lama menghilang dari kamu! Dan kalau dia memang sudah tiada, dia juga pasti tidak ingin melihat kamu lama-lama bersedih."

Michele terlihat tidak yakin saat menjawab pertanyaan Jessica, ia berusaha keras agar tidak terlihat gugup saat untuk kesekian kalinya Jessica mempertanyakan tentang Justin.

"Tapi, apa aku salah Chel, kalau aku mengharapkan dia masih hidup?" Jessica menoleh pada Michele dan menatapnya dalam.

Michele berdehem. "Em, ini kesekian kalinya dan aku masih menjawab dengan jawaban yang sama. aku rasa nggak. Lagipula memang tidak ada bukti kalau yang dimakamkan hari itu adalah Justin. Aku yakin dia belum meninggal bahkan meskipun makamnya ada," ujar Michele tanpa berpikir bahwa jawabannya itu memupuk harapan di hati Jessica.

Jessica tersenyum miris, ia sadar betul! Api yang terjadi hari itu bukanlah api kecil. Bahkan tubuh manusia pun bisa habis olehnya. Meskipun begitu ucapan Bella membuatnya sedikit tenang, Bella benar. Tidak ada yang bisa membuktikan jika yang terkubur adalah Justin.

"Makasih ya, Chel. Kamu tetap berusaha membuatku tenang walaupun kamu tahu kemungkinan itu sangatlah kecil."

Michele bangkit dari duduknya lalu berjalan ke samping Jessica, ia mengusap lembut pundak sahabatnya itu.

"Kamu tahu kan, Jess. Aku ngelakuin ini semua hanya karena aku nggak mau liat kamu seperti beberapa tahun yang lalu."

Jessica mengangguk paham, ia menghela nafas berat. Sejak saat itu, hidupnya berubah drastis. Semua hal mulai terasa hambar dan tak berwarna seperti saat masih bersama Justin.

"Maafkan aku, Jess. Aku belum bisa bilang yang sebenarnya sama kamu, kalau Justin belum meninggal, dia hanya harus memutuskan untuk pergi menjauh dari kamu," batin Michele merasa tak enak hati melihat keadaan Jessica yang selalu begitu merindukan Justin.

Drttt Drttt Drttt ...

Jessica menoleh pada ponsel di genggamannya. Ia membuka ponselnya itu, melihat nama Miss Kim yang tertera di layar notifikasi.

Miss Kim.

'Jess, Nanti ada yang ingin saya kenalkan dengan kamu. Mungkin sekarang sudah waktunya kamu tahu.'

"Nanti?" Jessica menoleh pada Michele. "Memangnya nanti ada apa?"

****

CONTINUE....

THANK YOU !!