webnovel

Hati Seorang perempuan

***

Aku terbangun karena nafasku terasa sesak, aku ingin menggeliat tapi tak bisa, ku buka paksa mataku, aku terperanjat mendenagr dengkuran pelan dibelakang telingaku. Nafasku bertambah sesak sesuatu membelit pinggangku dengan erat.

Kuputar wajahku, walau badanku tak bisa ikut berputar, hanya separuh yang kulihat, ya separuh wajahnya. Mimpikah, aku menutup mulutku melihatnya, matanya terpejam membentuk bukit kecil yang indah dihiasi bulu matanya yang lentik bak ilalang dipadang bukit, nafasnya teratur dan bibirnya tersenyum.

Aku terperanjat, namun kemudian aku tersadar dia adalah pria yang menikahiku malam tadi. Jantungku berdebar kencang, dia memelukku dalam tidurnya, ah sadarkah dia?

Atau dia hanya mengira aku guling yang biasa menemaninya tertidur. Aku mengusap tangan kekar itu. Menikmati rambut-rambut lebat yang tumbuh di lengannya. mengingat bagaimana tangan itu membelaiku, memanjakanku.

Dia menggeliat, merenggangkan pelukannya, hanya sesaat lalu pelukan itu bertambah erat.

"masih malam sayang, kenapa ?" suaranya parau, aku bergidik merasai nafasnya menyentuh kulit telingaku.

"em,,anu..." jujur aku malu bila ketahuan sedang menikmati dekapannya. Mataku berputar-putar mencari alasan.

"emh, jam tiga subuh sayang... Tahajud bersama yuk" aku melihat jam dinding dan menemukan alasan disana.

Fatih membalik tubuhku, mengabsen tiap senti wajahku. aku gemetara, pesonanya jauh diatas logikaku.

"satu jam lagi ya sayang" dia menggodaku, membelaiku seperti semalam. Dan aku kalah, mengakui keahliannya mempesonaku.

Aku takjub pada tiap anugrah yang tuhan berikan kepadanya, ah tidak Allah menitipkan anugrah itu padanya, untuk kudapatkan kemudian hari. Dan hari itu adalah malam ini. Dia milikku, dia anugrah terindah dalam hidupku.

***

Usai subuh aku merayap kedapur, persendianku terasa nyilu. Tapi semangatku tak pudar, ini pagi pertama kami, aku akan menyiapkan sarapan pertama untuk imamku. Tiap kali mengingat itu aku tersenyum, semangatku kembali terbakar.

Fatih sempat mengejek cara berjalanku pagi ini, tapi aku tak peduli karena dialah orang iseng yang menyebabkan semua ini. Ah aku suka digodanya, mulai sekarang aku akan mencari alasan agar terus digodanya.

Belum ada siapa-siapa didapur, aku lolos dari ejekan. Dengan sedikit memaksakan diri aku segera menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng special khusus untuk suamiku tercinta. Menyiapkan susu coklat hangat kesukaannya, ah, sebenarnya aku kurang begitu tau apa yang disukai Fatih untuk sarapan tapi aku sering melihat dia memesan nasi goreng pedas dan susu coklat dikantin kampus.

"uhuk...uhuk..."itu bukan suara batuk Fatih, dia masih mengaji dengan merdu dikamar kami.

"Bibi Atia" aku tersipu malu melihat senyuman menggoda yang disunggingkan Bibi Atia padaku.

"kenapa? Bibi hanya batuk" elaknya.

"mau Bibi bantu?" tanyanya lagi.

"jangan Bik, kalian tunggu saja dimeja makan, akan Mira siapkan semua" ujarku seraya berjalan menuju kompor.

"hahhaha..." pecahlah tawa Bibi Atia.

"sudah biar Bibi saja, kamu istirahat sana, temani suamimu, dasar pengantin baru" dia merebut spatula ditanganku. kurebut lagi dari tangannya.

"tidak bik, ini pagi pertama kami, jangan merebutnya" aku sedikit membentak.

"oh, oke, oke, ketika Bibi menikah dulu hanya ada malam pertama, jadi sekarang ada pagi pertama, siang pertama dan sore pertama juga ya?" ledeknya lagi.

"Bibi...." Kesalku digodanya terus. Bibi Atia berlari, kulihat Mama dan kak Dira berkacak pinggang dipintu dapur, sepertinya telah lama mengamati kami.

"jangan lama ya Mir... mama udah laper banget ni" seru Mama sambil berlalu menyusul Bibi Atia.

"Sip Ma" aku memberi jempolku pada mama yang selalu mensuport pekerjaanku.

"jangan norak Mir..." ejek Kak Dira seraya berlari kecil dibelakang Mama.

Aku tak peduli, bagiku tiap momen kebersamaanku dengan Fatih adalah anugrah. Adalah detik berharga yang tak boleh dilewatkan. Dia milikku, tiap waktunya, dan aku adalah istri yang dengan sabar melayaninya, apapun kondisinya.

Saat sarapan semua mata melirik kami, tersenyum-senyum menertawakan kami. Ah, apa mereka tak pernah pengantin baru. Di buat seperti itu aku bukannya malu justru bertingkah manja pada Fatih. Syukur, Fatih tidak risih karenanya.

Usai sarapan kami memutuskan untuk ke apartemen Fatih, keluarganya masih disana sampai nanti walimah yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Setelah dari sana kami rencananya akan mengurus undangan, walimah akan diadakan dirumah saja. Hanya orang terdekat dan orang kampus saja yang akan diundang.

Line....

Kubuka pesannya

"Selamat bu, atas pernikahan ibu dan Bapak Fatih, benar kalian berjodoh. Mulai sekarang saya berhenti bersikap tidak formal pada Ibu. Maafkan saya, sekali lagi selamat ya bu"

"siapa?" tanya Fatih.

"Luthfi..."

"Luthfi, mau bimbingan?"

"tidak hanya mengucapkan selamat"

"beritanya sudah menyebar, di social media saja ramai membicarakan kita" tambahku.

"biarlah, ini berita baik"

"asal mereka tidak tau saja, bagaimana jalannya kamu bisa menikahiku semalam" geramku.

"Hhahah.....hancur wibawamu sayang" ledeknya. Aku mendengus kesal.

***

Kami tiba diapartemen Fatih. Keluargan besarnya berkumpul disana aku disambut baik disana, menggodaku tentang kejadian semalam.

"malam tadi surprise banget loh kak?" Rasyid heboh sendiri.

"iya kak, umi sampe gemetaran, bingung mesti gimana?" Aisyah menimpali.

"sudah jangan godain kakaknya terus malu kan mereka." Umi menenangkan.

"Mir, Umi sabananyo lah nyiapkan iko untuk mahar, tapi kamu minta uang sepuluh ribu sajo. Ala lah. Iko ambi lah untuk Mira" Umi menyodorkan kotak merah berbentuk hati.

"apa ini Umi" aku ragu-ragu menerimanya.

"buka lah" Umi menghadiahiku senyuman yang manis.

Aku membuka kotak itu perlahan, sebuah cahaya berkilat dari dalam. Sebuah cincin bertahtakan berlian menatapku dengan tersenyum.

"Umi..." aku terharu dan menghambur kepelukan Umi.

Umi memelukku erat sekali.

"jaga Fatih ya, ingatkan kalau dia mulai berjalan kekiri" ucapnya pelan. Aku hanya mengangguk, air mataku tumpah menerima kasih sayang dari mertuaku.

"Mir..." buya mendekat, memberikan sebuah kotak berwarna kecoklatan.

"ya Buya,,," aku melepaskan diri dari pelukan Umi.

"iko Mushaf, jadikanlah pedoman hidup." Buya menyerahkan kotak kayu persegi itu padaku. Sebuang Mushaf sebagai hadiah pernikahan kami.

Aku mencium punggung tangan Buya, dan dia mengelus kepalaku.

Bahagianya aku kini berada ditengah-tengah keluarga baruku. Keluarga dengan porsi kehangatan yang berbeda dari keluargaku.

Dikeluarga ini aku memiliki dua orang adik yang menggodaku setiap saat. Kepribadian Aisyah dan Rasyid berbeda dengan Fatih. Mereka berdua sangat periang, aku menyayangi mereka.

Aku kelelahan, akhirnya semua format acara aku serahkan pada kakak kandungku dan suaminya. Rasyid dan Aisyah juga memaksa ingin membantu. Biarlah kupercayakan pada mereka. Aku tidak ingin kelelahan karena urusan Walimah, aku ingin prima untuk hal yang lebih penting. Untuk suamiku tercinta,,,,,

Tubuhku digoncang-goncang, menjemputku pada satu kesadaran. Aku membuka mataku, Fatih tersenyum disampingku.

"bangun sayang sudah sampai rumah"

Emh... aku menggeliat, aku ketiduran diperjalanan.

"ayo tuan putri...." Tangannya membelai pipiku.

Aku masih mengerdip-ngerdip mengumpulkan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya.

"gendong sayang..."rengekku menggodanya.

"kalau itu nanti saja ya sayang, malu" katanya seraya meninggalkanku. Dia keluar dari mobil dan aku menunggunya membukakan pintu. Seperti di film-film romantis dimana sang pria membukakan pintu mobil si gadis.

Aku melihatnya meliuk-liuk didepan mobil lalu berlalu kedalam rumah. Aku terperangah takjub dengan sikap tidak romantisnya. Aku merajuk, tunggu saja.

Terdengar suara rebut diruang keluarga, semakin dekat langkahku kesana semakin jelas apa yang diributkan. Perkara walimahku, resepsi pernikahan. Urusan pendaftaran pernikahan diurus Bang Ridho yang punya koneksi kesana, tapi kami tetap harus dating ke KUA. Justru yang diributkan adalah hal-hal yang menurutku tidak penting, ah...penting. Ini pernikahan pertama dan semoga yang terakhir.

Bibi Atia menyiapkan konsep dan desain seragam keluarga kami dan keluarga besan sementara Kak Nafisah, kakak kedua Fatih punya konsep dan desai sendiri. Papa ingin sesuatu yang sederhana dan kekeluargaan, tapi Mama ingin mengundang semua koleganya.

Aku yang baru datang hanya mengangguk angguk saat Bibi Atia menyampaikan konsepnya, sebaliknya aku juga tertarik dengan konsep yang ditawarkan oleh Kak Nafisah. Aku mengurut-urut batang hidungku, pening rasanya.

Sebenarnya aku juga memiliki konsep sendiri untuk pernikahanku, sebuah pernikahan seperti dalam mimpiku. Kupendam sejak lama, sejak pertama kali Mama mengajakku kepesta pernikahan teman kantornya dulu. Kusiapkan semua itu sejak lama, bahkan aku rela menghabiskan tabunganku untuk semua itu. Bisakah aku menyampaikan mimpiku itu.

"bagaimana kalau semuanya Mira yang mengurus, biar adil" semua mata itu menghujamku. Kak Nafisah menggigit telunjuknya dan menatapku penuh pertimbangan.

"tidak...tidak, kamu ratunya. Dan lihat rajamu itu, sana, urus rajamu sana" Bibi Atia menyela, menatapku kejam tanpa pertimbangan. Jarinya yang gempal menunjuk-nunjuk Fatih.

"Bibi saja sana yang istirahat, urus bayi diperut Bibi, kasian dia" aku tak kalah menyalanya.

Bibi Atia tersinggung, matanya memerah menatapku, kadang menatap Mama minta pembelaan.

"Mira, benar kata Bibimu, kamu istirahat saja." Mama memakan umpannya.

"Mama...ini pernikahan Mira ma" aku turut menghiba.

"baik, urus semuanya...anggap Bibi tidak ada" mulutku menganga mendengar ancamannya. Mama menatapku mengancam. Ah...kan aku kalah lagi. Haruskah ku ikhlaskan pesta pernikahanku pada orang lain. Bagaimana kalau tidak sesuai seleraku.

"Bi, Maafkan Mira, dia keletihan. Walimah ini kami serahkan kepada keluarga besar, silahkan rundingkan. Kami yakin semuanya akan memberikan yang terbaik. Silahkan putuskan tanpa pertimbangan persetujuan kami lagi" Fatih berdiri menengahi.

Aku mengkerut ditempatku, rahangku tertarik gravitasi hingga kedasar bumi. Apa-apaan dia kini berani berlagak jadi juru bicaraku, dia memutuskan sesuatu untukku tanpa bertanya.

"ayo kita kekamar mir, tadi kamu mengantukkan" Fatih menarik lenganku. Tak kugubris, kuhentak tangannya lalu aku berjalan sendiri kekamar mendahuluinya.

Tak ada yang berani seperti ini sebelumnya, merampas hakku untuk berpendapat. Aku wanita bebas, sekalipun aku adalah istrinya. Apakah seorang wanita bersuami tidak memiliki hak memutuskan sesuatu. Aku wanita bebas, berpendidikan, siapa yang berani-beraninya memperkosa kebijakanku.

Aku diam hingga malam, aku menjadi makmum dalam shalatnya tapi hatiku tetap mendongkol padanya.

Hujan deras mengguyur bumi, rintiknya berebutan mencapai permukaan. Suara gemericiknya terdengar seperti lagu-lagu romantis di restoran eropa klasik, kulirik jam di dinding kamar, pukul sebelas malam dan mataku tak kenal kantuk. Sesuatu bergerak dibalik pungungku, aku tau itu Fatih tapi aku memunggunginya, tangannya memeluk pinggangku, mengecupku seperti semalam. Hatiku masih dingin seperti suhu mala mini. Tak kugubris, tapi dia tak kenal lelah, kuhempaskan tangannya dari tubuhku.

"cukup, aku tak mau" tolakku.

"Mira..." dia maju lagi mencari titik lemahku.

"aku tak terima kamu perlakukan seperti siang tadi. Mempermalukanku didepan keluarga besarku dan Kak Nafisah."

"mempermalukan bagaimana?" Fatih duduk disampingku, akupun bangkit dan duduk seperti dia.

"tidak ada yang berani seperti itu sebelumnya, merampas hakku memutuskan sesuatu." Aku menatapnya dengan berani, menentang dua manik hitam yang berbinar. Fatih turun dari ranjang, berdiri dan menggeleng-geleng tak mengerti menatapku.

"apa?" sergahku lagi.

"kufikir kamu tau hak dan kewajiban seorang istri Mir" suaranya gemetar.

Aku diam tak bergeming, hatiku kini sekeras baja, aku tak salah, ya, tak salah cuma dia yang salah. Dia yang tak mengerti hati istrinya.

Aku menangis, Fatih menjambak rambutnya sendiri, kucatat semua dalam hati, malam kedua kami dan pertengkaran pertama kami. Kurebahkan tubuhku, kubungkus tubuhku dengan selimut. Malam ini hingga pagi tiba, aku tak ingin melihat wajah Muhammad Al Fatih, pria yang menjadi suamiku kemarin malam.

***

suara Adzan dari Masjid komplek yang berjarak tak jauh dari rumahku, menggema membangunkan tidurku yang lelap. aku menggeliat, mengucap Hamdalah pada nikmat pagi ini, tubuhku terasa sangat segar.

hatiku sudah sedikit lega, aku ingin minta maaf pada kekasih hatiku, membangunkannya dan mengajaknya kesurga.

hai Muhammad Al Fatih, lirik kesini, bidadari sedang mengajakmu kesurga...

Tapi tempat seharusnya Fatih tidur kosong, bahkan bantal dan gulingnyapun tak ada. Aku mencari-carinya mungkin dia sudah bangun dan sedang tahajud. Aku turun dari ranjangku, dan alangkah terkejutnya aku, Fatih merengkul diatas sajadah, tanpa selimut dan tubuhnya seperti menggigil. Kudekati dia dengan hati yang berkecamuk, merasa bersalah dan ketakutan.

Saat dekat dengan tubuhnya, benar, dia menggigil. kupegang keningnya, aih...panas sekali.

"sayang bangun sayang..." kugoncang tubuhnya.

"errrg..." erangnya tak jelas, bibirnya pucat dan kering.

kupeluk tubuhnya, air mataku tak terbendung lagi.

"sayang, maaf sayang" rengekku lagi.

"Mira,,,," suaranya pelan terdengar ditelingaku.

aku membuka kuncian tubuhku, kulihat matanya terbuka. sayu dan sedikit merah.

"kamu kenapa sayang" erangnya lagi.

aku tak dapat berkata-kata, mendekapnya lagi.

Tuhan jangan ambil dia Tuhan. dia suamiku, kutuk aku saja untuk kesalahanku semalam.

Aku menyesali keegoisanku semalam. Tapi mengapa dia begitu bodoh sampai tidak tidur diranjang.

"Jangan sakit sayang, aku mohon" rengekku didekapannya.

kudengar dia sedikit terkekeh, aku menarik diriku dari pelukannya. Tapi dia menahan pinggangku.

"mana mungkin aku sakit disaat aku meminum obatnya"

dia menelanku, menghanyutkanku dalam pesonanya yang tak pudar oleh panas tubuhnya. menghapus gundah dalam hatinya. menebus salahku yang membuatnya menggigil begini.

***

Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh." (HR. Bukhari: 11/14)

***