1 Berandalan dan Jendela (1)

Jovan berlari secepat yang ia bisa. Angin malam tak membekas padanya, butiran peluh tetap mengucur deras dari tubuh. Sesekali ia menoleh ke belakang, mencari tahu apakah jarak yang ia buat sudah cukup jauh dari polisi-polisi yang mengejarnya.

Jovan masuk ke sebuah pemukiman. Suasananya lebih tenang, lebih tepatnya senyap. Wajar karena memang sudah larut, bahkan hampir pagi. Ia tak tahu jam berapa, mungkin sekitar pukul 2 atau 3. Dia berhenti berlari, membungkuk memegangi lutut coba mengatur nafas. Menengok ke belakang lagi masih khawatir. Samar-samar masih bisa mendengar suara.

"Kamu cari kesana! Kamu kesana!" suara komando itu.

Jovan kesal mereka belum tertinggal jauh. Ia sudah lelah berkelahi semalaman. Sekarang masih harus lari dari kejaran.

Dengan nafas masih tersengal ia masuk ke pekarangan seorang warga. Duduk di balik semak. Bersembunyi. Barulah ia sadar ada sayatan di lengan jaketnya sebelah kiri. Membuat lubang cukup besar hingga ia bisa melihat tangannya mengucurkan darah ikut tersayat di sana.

"Sialan, gue nggak sadar. Siapa yang bikin kayak gini?" batinnya kesal. Dan kini setelah sadar barulah rasa perih itu menyerang.

Jovan mulai mengingat kembali apa yang baru terjadi. Tawuran antar geng seperti biasanya. Rutinitas normal yang biasa mereka lakukan tiap ada kesempatan. Baru saja dia mau menebas leher seseorang di sana saat polisi-polisi itu muncul. Benar-benar perusak pesta.

Jovan menarik katana¹ dari sarung yang dia ikat di pinggangnya. Tersenyum puas menatap beberapa noda darah di sana. Lalu menelusupkannya lagi ke tempat semula.

*¹Katana adalah pedang panjang yang secara tradisi digunakan oleh Samurai Jepang.

Kembali ia lihat situasi sekelilingnya, tetap waspada. Tidak ingin polisi-polisi itu menemukannya. Sudah cukup sering ia berurusan dengan mereka. Lebih baik kali ini jangan lagi. Atau ayahnya sendiri yang akan menebas lehernya.

Polisi-polisi itu belum terlihat. Sekarang sebaiknya bagaimana? Menurutnya bersembunyi terus di sini cukup beresiko. Belum lagi kalau mereka meminta bantuan warga sekitar yang sedang jaga malam atau meronda. Sudah pasti akan tertangkap seperti terakhir kali.

Jovan mulai mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Ia tanpa sengaja melihat jendela di depannya bergerak pelan diterpa angin.

"Nggak dikunci tuh?" batin Jovan bertanya-tanya.

Dengan merangkak, Jovan mendekatinya perlahan. Menarik kayu yang membingkai kaca itu dengan hati-hati.

J A C K P O T . Memang tidak terkunci.

Jovan sekali lagi melihat ke sekeliling untuk memastikan situasi aman untuk bergerak lebih jauh. Masih sepi. Dia mulai memanjat masuk dengan hati-hati. Tidak ingin ketahuan. Kalau sampai si pemilik rumah mendengar kedatangannya, habis sudah riwayatnya.

Dia berhasil masuk dengan mulus. Menutup kembali jendela itu dan bergerak ke balik gorden. Sesaat kemudian, samar-samar terdengar suara langkah kaki di luar. Jovan mengintip keadaan di luar. Benar dugaannya, polisi-polisi itu dibantu beberapa pemuda, dan warga sekitar. Mereka bahkan menyibak semak-semak yang tadi dipakainya untuk sembunyi. Beruntung baginya memutuskan untuk pergi dari sana dan masuk ke sini.

Meskipun tahu ini belum berakhir, Jovan bernafas cukup lega saat melihat mereka pergi melanjutkan pencarian ke tempat lain. Ia tahu tidak bisa keluar sekarang, harus menunggu polisi-polisi itu sudah benar-benar pergi. Paling cepat dua jam lagi. Tapi setidaknya, ia akan aman di sini. Selama ia tetap bersembunyi.

Dia menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan yang bercahaya remang. Sepertinya yang ia masuki ini adalah sebuah kamar tidur. Dari seorang gadis. Gadis itu tengah duduk di ranjangnya menatap Jovan dengan mata membesar, terkejut juga ketakutan.

Jovan melompat ke arah gadis itu, membungkam mulutnya sebelum ia sempat berteriak. Gadis itu meronta berusaha melepaskan diri. Dan tentu Jovan tak sedikit pun berniat untuk melepaskannya.

Mata gadis itu semakin membesar saat melihat katana di pinggang Jovan, yang punya beberapa bercak darah di pegangannya. Jovan menyadari arah pandangan mata itu.

"Itu yang bakal nebas leher lo kalo berani teriak," ancam Jovan mendelik padanya.

Gadis itu seketika berhenti berontak. Dan hampir menangis ketika balas menatap mata dengan manik hitam pekat yang amat tajam itu.

"Gue bakal lepasin. Tapi gue serius, lo bakalan nyesel kalo berani teriak," ancam Jovan lagi.

Gadis itu menelan ludah dengan alot, laki-laki di hadapannya ini terlihat tak main-main. Dengan mata berkaca dan tubuh sedikit gemetar ia mengangguk tanda mengerti.

Jovan menatapnya beberapa saat. Memastikan gadis itu benar-benar serius dengan persetujuannya. Setelah Jovan yakin, pelan-pelan ia lepaskan. Namun kemudian dengan cepat menarik katana dari tempatnya, mengayunkan dan melekatkan itu di leher gadis di depannya.

Gadis itu sudah menahan nafas dan menutup matanya rapat-rapat. Ia kira berakhir sudah hidupnya. Namun setelah merasa apa yang ia khawatirkan tidak terjadi, pelan-pelan ia membuka mata. Mendapati Jovan yang tengah menatapnya dengan tatapan tenang. Nampak tidak ada sedikitpun keraguan di sana. Laki-laki itu sungguh tega melakukannya tanpa rasa berdosa. Manusia macam apa laki-laki ini sebenarnya?

Gadis itu perlahan melirik besi tipis yang kini menggantung di lehernya. Hanya ada sedikit bercak darah, tapi bau anyir menyeruak ke dalam penciumannya. Itu aroma darah yang pekat. Bertanya-tanya berapa banyak korban yang telah tersayat hingga aromanya sepekat ini? Ia menelan ludah semakin ketakutan. Nafasnya memburu mengimbangi cepatnya debaran dalam dadanya.

"A-aku gak akan teriak," ujar gadis itu lirih dengan suara bergetar, dan sebulir air mata lolos membasahi pipinya.

Jovan cukup puas mendengar ucapan bergetar penuh ketakutan itu. Ia menarik katana dan menelusupkan kembali ke tempatnya.

"Gue di sini cuma bentar. Gue nggak bakal nyakitin kalo lo bisa kerja sama," jelas Jovan berjalan menjauh, kembali ke dekat jendela.

Gadis itu mengangguk mengerti.

Jovan terduduk lemas di lantai dengan kedua tangan menapak ke belakang. Melihat ke jendela, masih penasaran kapan ia bisa pergi. Hanya tak sabar untuk bisa cepat-cepat mengakhiri pelarian menyebalkan ini.

Ruangan itu hening walaupun ada dua manusia yang masih terjaga di dalamnya. Gadis itu masih ketakutan, menatapi Jovan yang nampak melamun menatap ke arah jendela entah memikirkan apa. Yang tak lama kemudian sibuk melepaskan jaketnya, menyisakan sebuah singlet hitam di tubuhnya.

Jantung gadis itu terhenyak mendapati ada luka menganga dari lengan kiri Jovan. Mengerikan baginya, karena seumur hidup baru kali ini ia lihat luka sebesar itu secara langsung. Luka itu bahkan masih bersimbah darah.

"K-kamu gak pa-pa?" tanya gadis itu menatap luka menganga di tangan Jovan dengan ngeri. Sebenarnya sedikit menyesal sudah bertanya. Harusnya ia tak perlu membuka percakapan dengan laki-laki mengerikan itu.

avataravatar
Next chapter