webnovel

Berandal SMA inlove

Blurb : Di kehidupan nyata, Brenda dan Gina memiliki nasib kontras. Brenda Barbara terkenal dengan sikap angkuh dan sombong sebagai Ratu sadis sesekolah, sedangkan Gina Stefani hanya siswi berkacamata yang kumuh, jerawatan, penyuka novel romantis. Karena sebuah tabrakan maut, mereka terpaksa merenggang nyawa bersama. Membuat Brenda dan Gina mendadak bertransmigrasi ke dunia novel. Dengan memerankan dua tokoh berbeda. "Selama ini aku gak pernah bahagia, Ka. Prestasiku gak pernah diapresiasi, aku juga gak ada temen. Menurut kamu apa yang bisa aku banggain dari hidup aku yang kayak gini?" Reynand Dirgantara, laki-laki yang menyimpan banyak luka di dalam dirinya. Selalu mendapat peringkat 1 besar, ternyata tidak membuat orang tua Reynand puas. Serta tidak ada satupun siswa-siswi SMA Tunas Bangsa yang mau berteman dengannya. Alasannya, karena Ayah Reynand merupakan seorang koruptor. Gina Stefani Alexander, gadis cantik yang berpenampilan kumuh dan berkacamata yang mau berteman dengan Reynand. Tanpa sengaja, keduanya saling jatuh cinta. Dengan semua masalah yang ada, apakah semesta merestui mereka untuk bersatu? Dan Alter orang yang sangat ingin balas dendam pada Brenda or Choco itu, mempunyai kesempatan dan membuat Choco jadi Babunya Brenda yang dikenal sebagai Ratu sadis, menjadi Choco Valentine. Si tokoh figuran yang lemah dan miskin. Sedangkan Gina dengan bantuan Reynand yang semasa hidupnya sering di-bully, menjadi Cherry Camellia. Si tokoh utama yang sombong dan membully siswa lain dalam novel favoritnya

RinaMardiana_22 · Teen
Not enough ratings
56 Chs

Perlindungan Reynand

Selamat Membaca

Seorang laki-laki sedang mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Reynand menyisir rambutnya, membetulkan posisi dasi, memakai jam tangan, dan memakai parfum sebagai pelengkap penampilannya pagi ini. Walaupun tidak ada yang berubah. Ia tetap kesepian di sekolah itu.

Reynand menuruni tangga lalu memandang sekilas Nagita Dan Rendi yang sedang duduk di meja makan. Perdebatan kecil di antara mereka dapat Reynand dengar. Jengah. Reynand jengah terus-terusan melihat dan mendengar perdebatan kedua orang tuanya. Mereka tidak pernah melalui hari-hari tanpa pertengkaran. 

"Bi Sarti udah buatin nasi goreng buat kamu, Nand. Makan dulu, nih," titah Nagita yang sadar akan kehadiran anak semata wayangnya itu.

"Gak perlu."

"Jangan gitu dong, Nand. Bibi udah capek-capek buatin kamu sarapan. Kita itu harus menghargai kerja keras seseorang," sahut Rendi.

Reynand tertawa terbahak-bahak. Setelah itu ia membanting tas ranselnya ke lantai. 

"Bullshit! Jangan pandai ngomong doang, dong, Pa! Papa ngaca dulu harusnya, Papa udah menghargai kerja keras Rey belum? Belum, 'kan?"

Reynand berlalu pergi dari rumah itu dengan perasaan kesal. Lagi dan lagi, pagi harinya harus rusak karena kedua orang tua itu.

Di depan pintu rumah, Reynand disodorkan sekotak bekal oleh Bi Sarti. 

"Bibi ngerti, kok, kalau Den  Rey malas makan semeja sama Tuan dan Nyonya. Makanya bibi udah siapin sarapan lain untuk dibawa ke sekolah. Atau makan di taman sama Non Gina juga boleh, kayak biasanya."

Reynand tersenyum simpul. Selain Gina Stefani, manusia yang peduli padanya hanya Bi Sarti. Bahkan wanita berusia lima puluh dua tahun tersebut tahu seperti apa kehidupan Reynand di luar, siapa saja yang mau berteman dengan Reynand. Hanya Bi Sarti yang mau ambil tahu semua itu.

"Makasih banyak, ya, Bi. Rey minta maaf karena gak makan makanan yang ada di meja. Bibi tahu sendiri, lah, ya."

Bi Sarti mengangguk paham. "Bibi paham, kok, Den. Sudah, berangkat sana. Nanti Den telat. Hati-hati di jalan, ya, Nak."

"Iya. Assalamualaikum, Bi."

"Wa'alaikumussalam, Kasep." 

Reynand mulai mengendarai motornya menuju rumah si cantik Gina Stefani. Terkadang, Reynand akan menjemput gadis itu untuk pergi ke sekolah bersamanya.

Sesampainya di sana, Reynand langsung disambut dengan pemandangan seorang gadis cantik dengan senyum indahnya itu. Rambutnya tergerai, menambah pesona seorang Gina Stefani 

Jika orang luar tidak mengetahui tentang kekurangan Gina, mereka akan menganggap gadis itu seorang bidadari yang turun dari langit. Alaska memang secantik itu. Kekurangannya hanya satu, yaitu terlahir sebagai tunawicara.

"Kamu udah nunggu lama, ya, Gin?"

Gina menjawab. 

"Enggak, kok, aku baru saja keluar."

"Ya, udah, yuk kita berangkat sekarang."

Gina mengangguk dan menaiki motor sport Reynand lalu menerima helm yang diberikan oleh laki-laki itu. Gina menepuk bahu Reynand pertanda sudah siap.

"Pegangan yang kuat, Cantik!"

Gina tersenyum malu. Tidak jarang Reynand menyebutnya cantik. Padahal Gina selalu merasa dirinya biasa-biasa saja.

Sesampainya di sekolah, mereka langsung masuk ke kelas. Seperti biasa, tidak ada yang menghiraukan kedatangan mereka. Reynand dan Alaska selalu ke mana-mana berdua.

"Kita emang cuma temenan berdua, ya, di sekolah ini? Kenapa, sih, gak ada yang mau temenan sama kita? Apa salah kalau aku terlahir sebagai gadis kumuh. Apa pantas kamu dikucilkan karena Papa kamu seorang koruptor? Itu, kan, bukan kesalahan kamu, Nand," keluh Gina dengan pandangan tertunduk.

Reynand tersenyum kecut. Ia tahu, bahwa berada di posisi ini memang tidak enak. 

"Hukum alam emang kayak gini, Ka. Semua perbuatan jahat orang tua kita akan berimbas ke kita. True?"

Gina mengangguk setuju.

 "Dunia memang gak adil, Nand. Boleh gak, sih, aku protes sama Tuhan? Kenapa dia gak kasih kita kesempatan untuk bahagia?"

Reynand mengusap bahu Alaska lembut. Gadis ini benar-benar rapuh.

Se-sabar-sabarnya manusia, pasti akan ada titik jenuhnya, bukan?

"Aku tahu kamu cewek yang kuat, Gina. Akan selalu ada pelangi setelah hujan, 'kan? Aku yakin, ini semua cuma tentang waktu. Akan ada saatnya dimana kita bisa bahagia."

"Makasih, Reynand. Kamu baik."

Reynand terkekeh pelan. Terkadang dia merasa terhibur dengan sikap polos Gina. 

"Kamu juga baik, Ka. Oh, ya, pulang sekolah ini kita ke mall mau gak?" tawar Reynand.

"Aku mau, tapi aku takut Tante Paula marah karena gak langsung pulang."

"Tenang aja, aku bakal minta izin sama Tante kamu itu."

"Oke kalau gitu."

Reynand tersenyum simpul. Energi dalam dirinya seperti terisi penuh setelah melihat senyum manis Gina. Mengapa? Mengapa dirinya merasakan hal yang berbeda saat bersama Gina akhir-akhir ini? Reynand merasa sangat bahagia, dan yang pasti, ia menjadi kecanduan akan senyuman Gina. 

Reynand tidak bohong, Gina memang secantik itu. Mata bulat yang sangat lucu, bibir kecil, serta hidungnya yang mancung itu selalu membuat Reynand terpesona.

Apakah ini yang dinamakan cinta? Ah tidak, Reynand yakin dia hanya kagum dengan kecantikan Gina. Memangnya Alaska mau dengan laki-laki yang hidupnya bermasalah seperti Reynand?

***

Gina duduk seorang diri di kelas. Setelah makan di kantin tadi, Reynand pergi ke majelis guru untuk membantu membereskan buku. Gadis itu menelungkupkan kepalanya di meja. Tidak tahu hendak berbuat apa. 

BRAK!

Gina terlonjak kaget saat seseorang menggebrak mejanya.

"Lo lagi gak ada kerjaan, 'kan? Bolehkah bantuin gue," ujar Brenda sembari menyeringai.

"Bantuin apa?"

"Lo ngomong apaan, sih? Gue gak ngerti bahasa si*l*n lo itu!"

Gina menghela nafas panjang. Ia mengambil secarik kertas lalu menuliskan apa yang ia katakan lewat bahasa isyarat tadi.

"Oh, gue mau lo bantuin gue mengangkat ember pel di gudang. Hari ini gue piket, jadi daripada piket pas pulang nanti mendingan piket sekarang. Miss Wina juga gak masuk."

Gina mengangguk-angguk. Dia kembali menuliskan balasan untuk Brenda. 

'Ya, udah, aku ambilin embernya di gudang. Kamu tunggu di sini.'

"Gue temenin," balas Brenda. Gina hanya mengangguk pasrah. Sesampainya di gudang, Gina segera mengambil ember yang kosong. 

BYUR!

Gina  terkejut setengah mati. Tubuhnya mematung. Dia jelas syok.

"Ha-ha-ha, rasain, tuh, air pel! Seger banget, kan, Ka? Lumayan, mandi di sekolah," ucap Brenda tanpa rasa berdosa. Ia baru saja menyirami Gina dari belakang, dengan ember pel lain yang berisi air pel bekas.

Gina menangis tersedu-sedu. Bajunya sudah basah kuyup. Dia kedinginan. Tubuhnya juga sangat bau karena siraman air pel tersebut. Bisa dipastikan siapa saja akan muntah bila berdekatan dengan Alaska.

"Gue tinggal dulu, ya. Muntah juga gue lama-lama kalo deket-deket sama lo." Brenda berlalu pergi tanpa memperdulikan kondisi Gina yang sangat mengenaskan.

"Tuhan … Gina capek."

"Kenapa, Tuhan? Kenapa mereka jahat sama aku? Aku gak pernah gangguin mereka, aku gak pernah buat salah sama mereka, tapi kenapa mereka bully aku terus? Gina capek, Tuhan," lirih Gina dalam hati.

"Gina!" seru Reynand yang mengetahui bahwa sahabatnya itu berada di gudang sekolah. Gina mendongak dengan kondisinya yang masih menggigil hebat. 

"Siapa yang lakuin ini sama kamu, Gina?" 

"Brenda"

Reynand mengepalkan tangannya kuat. Brenda itu, tidak ada habisnya untuk membuli Gina.

"Sekarang kamu ganti baju dulu, ya, Ka. Kita pulang aja, kamu, kan, gak punya baju cadangan di loker."

"Dingin, Nand."

Reynand lantas membuka kemeja putihnya, menyisakan kaos hitam yang ia pakai sebagai dalaman.

 "Kamu pakai ini dulu, ya."

Reynand memakaikan bajunya di tubuh Gina. Ia menuntun gadis itu untuk keluar dari gudang. Semua pasang mata tertuju pada mereka.

"Liat, tuh, jijik banget gue liatnya."

"Wah, berani banget mereka berduaan di gudang. Si gadis cupu  juga, kenapa basah-basah gitu, ya?"

"Gak ada malunya emang, berani-beraninya berduaan di gudang. Mana Gina bau banget lagi!"

Telinga Reynand sudah sangat panas mendengar semua cercaan yang tidak ada habisnya itu. Bisakah mereka bersekolah dengan tenang sehari saja?

"Aku tahu kamu kuat, Gina. Akan ada saatnya mereka semua mengagumi kita karena suatu hal, aku yakin itu."

Bersambung