30 Dunia Penuh Warna

"Apa iya semudah itu, Nek? Bu?" tanya Delima yang merasa ada kekurangan sesuatu di sana. "Maksud Delima, kalau memang semudah itu, tentu sudah banyak yang mencoba cara ini, bukan?"

"Mudah atau tidak," sahut Delia, "tergantung pada dirimu sendiri yang meyakini dan menjalani hal ini."

"Lagipula," ujar Delisa menyambung ucapan Delia, "bisa saja di sudut samudra lain sudah ada yang berhasil melakukan ini."

Delima menghela napas dalam-dalam demi memikirkan saran sang ibu dan neneknya itu. Ya, semoga saja memang begitu, pikirnya. Meskipun ada keraguan besar di dalam hati Delima.

"Sebaiknya kau pertimbangkan apa yang kami katakan barusan."

"Iya, Nek," Delima mengangguk kecil.

"Terus," Delisa memandang kepada Delia, "gimana perjalanan Ibu tadi?"

"Tidak ada yang aneh. Biasa-biasa saja seperti yang sudah-sudah. Laut semakin kotor saja."

Delisa tersenyum tipis, menggeleng-gelengkan kepala. "Tanggapan sepupu Ibu?"

Delia menghela napas dalam-dalam, lalu pandangannya tertuju pada sang cucu.

"Mau bagaimana lagi?" ujar Delia. "Mereka akan menghadiri pertemuan di purnama di muka. Sayangnya, mereka sedikit kecewa sebab Delima tidak mau ikut serta."

"Delima kan sedang berusaha demi takdir Delima sendiri, Nek," ujar gadis tersebut.

"Iya, iya…" sahut Delia. "Mereka juga tidak setuju dengan jalan yang kau pilih ini, Delima. Kau ingat Latifa? Teman bermainmu masa kecil?"

Delima mengangguk. "Bagaimana keadaan dia sekarang?"

"Dia sudah punya bayi mungil yang cantik."

"Dan kamu juga seharusnya sudah punya bayi, Delima," ujar Delisa pula menyambung ucapan Delia. "Ibu sudah tidak sabar mau menimang cucu."

"Kau dengar itu?" tanya Delia.

Delima hanya tersenyum dan mengangguk saja.

"Sudahlah," ujar Delia, lagi. "Aku ingin berendam dulu. Semakin lama aku menemanimu di darat semakin membuat kulit tubuhku seakan melupakan kesegaran samudra."

"Nenek!"

Delia terkikik seraya memutar langkah menuju balai-balai di samping kiri.

***

Keisha masih berada dalam tidur nyenyaknya ketika sayup-sayup ia mendengar suara pintu kamar yang diketuk-ketuk seseorang. Satu-satunya yang biasa melakukan hal demikian hanyalah Shifa seorang.

"Iya, iya!" sahut Keisha dengan mata yang mengerjap-ngerjap. Dasar menyebalkan, pikirnya.

Pemuda itu bangkit, menggeliat sedemikian rupa, lalu mengusap-ngusap mata yang masih berat untuk dibuka. Seterusnya, ia pun turun dari atas pembaringan yang kusut itu.

"Sudah jam delapan pagi, lhoo," ujar Shifa setengah berteriak dari arah luar pintu kamar. "Bangun Bang!"

"Iya, iya! Ini juga udah bangun, kok," sahut Keisha sembari melangkah ke arah pintu yang tertutup. "Berisik kamu, Shifa!"

Shifa tertawa halus. "Buruan mandi, Shifa tunggu di meja makan. Sarapannya sudah Shifa siapin."

Pintu kamar terbuka, Keisha pun muncul di ambang pintu.

"Kamu berisik banget, sih?" ujar Keisha sambil mengucek matanya.

"Memangnya Bang Keisha mau tidur sampai jam berapa? Bangun siang-siang nggak baik, lho. Kata orang-orang tua, ntar rezekinya dipatok ayam."

"Huu…!"

Keisha menjitak pelan kening sang adik. Dan kemudian, setelah matanya terbiasa dengan pencahayaan ruangan, Keisha terdiam. Lalu mengerjap-ngerjap lagi.

"Kenapa, Bang?"

Keisha menyipitkan pandangannya, memiringkan kepala memandang adik perempuannya itu. Seolah-olah ia baru pertama kali melihat Shifa begitu cerah, begitu indah, dan sangat mengagumkan. Sangat jauh berbeda sekali dari terakhir kali yang ia ingat, semalam.

"Bang Keisha kenapa?" Shifa sedikit merasa aneh dengan tindak-tanduk sang kakak—sebut saja begitu bila kau enggan mengganti dengan kata; cemas.

"Ka—kamu…?"

Pemuda itu seolah kehilangan kata-kata, dua tangannya sudah berada di bahu sang adik.

Lalu, Mutiya yang sedang berada di ruang makan pun menghampiri kedua anaknya tersebut sebab ia mendengar ada yang aneh dengan suara Shifa barusan.

"Ada apa?"

Keisha melirik ke arah sang ibu. Dan sama. Pandangannya juga sama seperti saat ia memandang Shifa.

"Ma—ma…?"

Mutiya sedikit terkejut sekaligus merasa ada sesuatu yang telah terjadi pada anak sulungnya itu. Ia mendekat, dan berdiri di samping kanan Shifa.

"Keisha, kamu kenapa, Nak?"

Pemuda itu benar-benar seperti seseorang yang kebingungan dan berulang kali mengusap-usap matanya.

"Bang Keisha jangan bikin kami takut begini, dong," ujar Shifa yang mencemaskan kondisi sang kakak.

Saat itu, Keisha hanya mengenakan celana pendek berwarna ungu tanpa baju. Hanya saja, pemuda itu seperti keheran-heranan sembari memandangi kedua tangannya, kakinya, juga celana pendeknya itu. Seolah-olah Keisha sedang menelisik lebih jauh bentuk tubuhnya sendiri.

"I—ini… bukan biru!" ujar Keisha setengah bergumam saat memandang celana pendek yang ia pakai itu.

Shifa dan Mutiya saling pandang. Jelas ada kecemasan yang besar sekaligus kebingungan yang luar biasa pada pandangan keduanya.

"Kenapa Keisha?" tanya Mutiya yang semakin cemas dengan tingkah sang anak. "Apa yang terjadi?"

Keisha memandang sang ibu, dari kepala hingga ke ujung kakinya. Ia melihat itu, sesuatu yang terlihat begitu terang benderang. Lalu beralih memandang sang adik.

"Abang kenapa?"

"Ba—baju kamu, Shifa?"

Shifa melirik baju kaus lebar di tubuhnya itu. "Ada apa dengan baju Shifa, Bang? Bang Keisha jangan bikin takut dong, please!"

Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyentuh baju yang dipakai sang adik.

"Wa—warna apa ini?"

"Hah…?!"

Sepasang bola mata Shifa membesar mendengar pertanyaan sang kakak, lalu ia berpaling pada sang ibu.

"Keisha…" ujar Mutiya tergagap.

"Ma," Keisha memandang sang ibu. "Baju yang Mama pakai itu, apakah itu warna hijau?"

"Ya Tuhan!" Mutiya terkesiap sembari menutupi mulutnya sendiri dengan dua tangan.

"Bang Keisha," sahut Shifa, "jangan-jangan…!"

Benar.

Apa yang diperkirakan oleh Shifa dan Mutiya itu adalah benar.

Terbangun dari tidurnya, dan kini Keisha tiba-tiba dapat melihat warna yang selama ini hilang dari pandangannya.

Keisha sendiri seolah merasa sedang berada di dunia yang baru. Semua benda yang berada dalam pandangannya seolah memancarkan warna yang terang benderang. Begitu indah, begitu mengagumkan.

Pemuda itu jatuh berlutut, menunduk menahan haru yang teramat dengan tubuh berguncang hebat.

"Ke—Keisha…" Mutiya pun berlutut di hadapan sang anak sulung. Begitupula dengan Shifa. "Ka—kamu bisa melihat warna hijau muda yang Mama pakai ini, Nak?"

Keisha mengangguk di tengah isak tangis yang tertahan.

"Ya Tuhan…"

Apa pun yang telah terjadi dan menyebabkan Keisha mendapat apa yang hilang dari dirinya, hal itu membuat Muiya merasa sangat bersyukur, begitupula dengan Shifa.

Pemuda itu mengangkat wajahnya yang berlinangan air mata, kembali ia menjulurkan tangan menyentuh baju yang dipakai oleh Shifa.

"Merah muda?"

Shifa mengangguk dalam haru. Keisha terdengar seperti mendengus, tidak lain karena ia menahan tangisnya sendiri.

"Ung—ungu?" ujar Keisha lagi seraya menyentuh celana pendek yang ia pakai.

Shifa dan Mutiya sama mengangguk.

"Ya Tuhan…" ujar Keisha, dan kembali tenggelam dalam tangis haru.

Mutiya lantas memeluk anak sulungnya tersebut, Shifa pun ikut memeluknya.

"Apa yang sudah terjadi?"

Namun Keisha sulit untuk menjawab pertanyaan Shifa tersebut. Satu-satunya yang bisa terpikirkan oleh Keisha adalah teh madu mahkota dewa yang ia minum bersama Delima dan Delisa di rumah klasik di tengah-tengah hutan, kemarin.

Hanya saja, Keisha tidak punya bukti selain perkiraannya saja. Bisa iya, bisa tidak. Dan pemuda itu lebih memilih menggelengkan kepalanya.

Biarlah nanti akan kucari tahu lebih jauh, pikirnya.

***

TO BE CONTINUED ...

avataravatar
Next chapter