1 1. Duda Kharismatik

Seorang pria tampak keluar dari dalam kamarnya, dengan pakaian formal dan rapi. Dibalut kemeja putih yang berpadu dengan celana kain silver dan jas warna senada, dia berjalan sambil mengancing jas kerjanya. Penampilanya benar-benar modis untuk kalangan pria berada.

Wajahnya yang tegas, dengan rahang kokoh yang ditumbuhi jambang semakin menunjang sisi maskulinnya. Kulitnya bersih dengan warna kecoklatan, membuatanya tampak eksotis meskipun ada campuran darah timur tengah didalamnya. Iris matanya berwarna coklat, dengan alis yang cukup tebal dan bulu mata panjang. Dia adalah Ben Abraham. Pria matang berusia 37 tahun, yang justru tampak lebih muda dari usianya. Dengan penampilannya yang seperti ini, pasti setiap orang menganggap usianya baru mencapai 30 tahun.

Padahal siapa yang tahu, jika dia sebenarnya sudah mempunyai seorang putra. Ya, Ben adalah seorang duda yang memilih bercerai dengan mantan istrinya. Bukan tanpa alasan dia bercerai dengan Elena. Sebab sejak awal pun Ben tak pernah mencintainya.

Ben berjalan menuju kamar putranya, meletakkan tangannya pada knop pintu dan mendorongnya. Dia masuk kedalam kamar tesebut, dan mendapati putranya masih bergelung dibalik selimut tebal yang membalut tubuh kecilnya. Ben duduk ditepian ranjang, lalu mengguncang pelan tubuh kecil itu.

"Robin, bangunlah! Kau harus pergi ke sekolah bukan? Daddy yang akan mengantarmu hari ini." Ucap Ben kepada putranya itu.

"Sebentar lagi, Daddy. Aku masih mengantuk." Jawab Robin tanpa membuka matanya.

"Cepat bangun, Robin! Jangan membuat Daddy marah dipagi hari!" Ben sedikit menaikkan nada bicaranya. Dia memang sedikit keras dalam mendidik putranya, namun semua itu dia lakukan hanya untuk kebaikan sang putra. Dia ingin Robin tumbuh menjadi lelaki yang tangguh seperti dirinya. Meskipun terlalu dini untuk dilakukan. Namun Ben percaya jika sesuatu harus dilakukan sedini mungkin, untuk menimbulkan efek kebiasaan baik bagi sang putra.

Robin bangun sambil mengucek matanya. Bocah lelaki berusia 5 tahun ini, tampak malas mendengarkan amarah daddynya dipagi hari. Dia pun terpaksa bangun, lalu menuruni ranjang dan berjalan memasuki kamar mandi dengan menahan kantuknya.

"Daddy akan menunggumu dibawah! Dan sebentar lagi Finesia akan kemari untuk membantumu bersiap." Ben berjalan meninggalkan kamar putranya untuk menuju meja makan. Dia akan menunggu Robin disana sambil menikmati sarapan paginya.

Diatas meja makan kini sudah tersedia banyak sekali makanan. Dari mulai makanan berat, hingga roti dan juga beberapa jenis selai. Maklum saja. Sebagai seorang duda kaya raya, Ben bisa membayar puluhan pelayan berkompeten untuk mengurusi rumah serta keperluannya dengan sang putra. Ben bukanlah orang yang perhitungan untuk masalah uang, dia justru sangat royal dan sering memberikan bonus bulanan untuk para pelayannya tersebut.

Lima menit berlalu, dan Robin kini terlihat sedang menuruni anak tangga dan berjalan menuju meja makan. Dia mengambil duduk disamping kanan Daddynya.

"Selamat pagi, Daddy." Ucapnya setelah meletakkan ranselnya pada kursi sebelah.

"Selamat pagi, Robin. Kau ingin sarapan apa?" Balas Ben.

"Aku ingin roti saja." Robin mengambil selembar roti dan juga selai coklat yang ada dihadapannya. "Finesia, dimana susuku? Dan jangan lupa bekal makan siangku! Aku ingin nasi goreng saja untuk bekalnya." Teriak Robin memanggil Finesia yang sedang berada didapur.

Tak lama, Finesia muncul dengan membawa nampan berisikan segelas susu coklat untuk Robin dan juga secangkir kopin untuk Ben. Dia meletakan minuman tersebut dihadapan kedua Tuannya itu, lalu bergegas kembali kedapur untuk menyiapkan bekal untuk Tuan mudanya.

Sarapan pagi mereka sudah selesai, kini Ben tampak mengandeng tangan putranya untuk menuju mobil yang sudah terparkir didepan rumah. Dia membantu Robin untuk memasuki mobilnya, lalu berjalan memutar dan duduk dibalik kemudi. Mobil yang mereka tumpangi kini sudah meninggalkan kediaman Abraham. Ben akan mengantarkan Robin terlebih dahulu, sebelum dirinya berangkat ke kantor.

Robin tampak menggerak-gerakkan kaki kecilnya, sambil melihat kearah luar kaca mobil disampingnya. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada sesosok wanita muda yang berdiri didepan sebuah kaffe dengan menundukkan kepala. Wanita itu sedang berhadapan dengan seorang pria tua yang tampak sedang marah-marah. Robin jadi merasa bersimpati pada wanita tak dikenalnya itu.

"Kasihan Bibi itu. Pasti dia merasa sedih saat dimarahi." Batin Robin.

Ben yang melihat putranya itu mendadak jadi pendiam, kini mulai angkat suara. "Ada apa Robin? Apa yang sedang kau fikirkan?" Tanya Ben.

"Tidak ada, Daddy." Jawab Robin seadanya. Dia sebenarnya masih memikirkan Bibi yang dilihatnya tadi. Namun tak ada gunanya jika bercerita pada sang Daddy, tak akan memberinya solusi.

Mobil yang dikendarai Ben kini sudah berhenti tepat didepan gerbang salah satu Taman Kanak-kanak, tempat Robin bersekolah. Robin melepaskan seatbeltnya dan berpamitan pada Daddynya.

"Robin sekolah dulu, Daddy. Jangan lupa untuk menjemput Robin nanti!"

"Iya. Jaga dirimu, dan jangan menyusahkan guru-guru disekolahmu!" Ben mengelus kepala putranya.

"Ok, Daddy. Sampai jumpa nanti." Robin membuka pintu mobil dan keluar. Dia sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya berjalan memasuki pekarangan sekolahnya.

Ben tersenyum memandangi punggung putranya yang semakin menjauh. Setelah pendangannya sudah tidak menangkap sosok putranya itu, dia kembali menjalankan mobilnya untuk menuju kantor perusahaannya.

Abraham Company. Sebuah perusahaan induk yang dimiliki keluarga besarnya. Diperusahaannya itu, Ben menjabat sebagai Chief Exsecutive Officer. Dia memegang penuh kendali pada laju perusahaannya itu. Selain tampan dan kaya, Ben juga merupakan seseorang yang pekerja keras. Dulu perusahannya tidak sebesar ini. Namun setelah sang Ayah menyerahkan kekuasaannya itu pada Ben, perusahaan ini semakin maju pesat. Dia bekerja dengan tekun dan penuh tanggung jawab, sehingga bisa sampai pada pancapaian seperti ini.

Kedua orang tua Ben memutuskan untuk meninggalkan Indonesia, setelah menyerahkan kekuasaan penuh perusahaan pada putra tunggalnya. Mereka memilih menghabiskan masa tuanya dengan tinggal di Qatar tempat kelahiran Ayahnya. Ben mendapatkan darah timur tengah dari sang Ayah, sedangkan Ibunya berasal dari Inggris dan mempunyai darah campuran Indonesia.

Tanpa terasa mobil yang dikendarainya kini sudah memasuki kawasan gedung perkantoran Abraham Company. Ben keluar dari dalam mobilnya, lalu mulai berjalan memasuki gedung kantornya. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya, tampak menundukkan kepala seraya mengucapkan salam. Dan Ben hanya menanggapinya dengan senyum datar biasa-biasa saja. Begitu lah Ben. Meski terlihat tegas dan berwibawa, dia sebenarnya adalah pemimpin yang baik pada semua karyawannya. Dia tidak segan membalas sapaan dari karyawannya itu, meskipun hanya dengan senyum datarnya.

Ben memasuki ruang kerjanya, lalu mendudukan diri dibalik meja kebesarannya. Baru beberapa menit dia memulai pekerjaannya, telepon kantor yang berada disudut kanan mejanya kini berdering. Ben mengalihkan tatapannya dari beberapa berkas yang tadi sedang dibacanya, lalu mengangkat gagang telepon untuk menjawabnya.

"Iya, Betty?"

"Maaf, Pak. Diluar ada nyonya Elena. Beliau memaksa ingin bertemu dengan Anda."

"Biarkan dia masuk, Betty. Aku juga ingin tahu apa maksud dirinya mendatangiku lagi."

"Baik, Pak."

Ben meletakkan kembali gangang teleponnya, lalu menghempaskan punggungnya pada sandara kursi dibelakangnya. Untuk apa wanita itu datang lagi? Sudah empat tahun lebih mereka berpisan, dan wanita itu tak pernah sedetik pun berhenti menganggu kehidupannya. Dia seakan mempunyai seribu satu cara untuk mengusik ketengangan Ben. Dan kita lihat saja, apa lagi rencananya saat ini.

TO BE CONTINUED.

avataravatar
Next chapter