1 Prolog

Aku mencoba membuka mata meski sangat sulit. Kebiasaan, aku selalu begadang dan tidur saat mendekati pagi. Sebenarnya bukan tanpa alasan, aku bekerja keras untuk mengumpulkan uang hingga larut malam.

Kraang!

"Jangan pernah melakukan apa yang tidak bisa kau lakukan!"

Suara itu adalah yang selalu membangunkanku. Kuintip melalui jendela yang sedikit terbuka, ini masih terlalu pagi untuk bangun bagi kebanyakan orang. Namun, ini adalah saatnya aku kembali ke mimpi buruk. Aku meraih ponselku untuk memastikan sudah pukul berapa. Setelahnya, mengambil beberapa pakaian kotor untuk segera kucuci.

Setelah berlari menuju dapur, hal yang pertama kutemui hanyalah serpihan-serpihan kaca bening yang berserakan. Mau bagaimana lagi? Ini memang selalu terjadi.

Aku melihat ke arah sumber suara. Tampak ibuku sedang marah, tapi matanya ikut berkaca-kaca. Di tepi pintu dapur kulihat adikku—Ara—sedang berdiri memegangi sebuah kertas. Sementara, kakak laki-lakiku—Erlan—sedang menangis sesenggukan di kursi roda.

"Kenapa Ara sudah bangun?" tanyaku pada adik kecilku yang terlihat ketakutan. Dia menyeka cepat air matanya, menggeleng pelan padaku. Aku berjongkok untuk menenangkannya. "Nanti Ibu tidak bisa mengantarmu. Mau Kakak antar?" tanyaku.

Dia menggeleng cepat, kemudian mengulurkan kertas dalam genggamannya. "Untuk saat ini, Kakak belum punya uang. Nanti kalau sudah punya uang, kita akan jalan-jalan. Ara mau, kan?" Kuhibur dia dengan memberikan sedikit harapan. Tiap akhir tahun, sekolahnya akan mengadakan kegiatan akhir semester, tapi keluargaku yang miskin tidak mampu membayarnya.

"Bersama Kakak dan Ibu, Ara mau."

"Kak Erlan?" tanyaku bingung dia tak menyebut Kak Erlan juga. "Tidak mau. Dia cengeng, Ara bosan mendengarnya menangis."

Kusingkap rambutnya ke belakang, kusentuh pundaknya dengan lembut. "Kalau kita jalan-jalan, Kak Erlan pasti tidak akan menangis lagi. Sana, pergilah mandi. Setelah itu bisa belajar sebentar, sebelum berangkat sekolah," pungkasku. Setelah mengecup pipiku, dia berlari menuju kamar mandi.

"Axton, tutup pintu dan pastikan semua jendela terkunci. Ibu sudah sangat terlambat," perintah Ibu padaku.

"Ya, Bu."

Sejak Ayah meninggal, Ibu yang sakit-sakitan harus jadi orang tua tunggal untuk tiga orang anaknya, termasuk aku. Seperti biasa, Ibu harus berangkat untuk menjajakan dagangannya di pasar tradisional pagi-pagi buta. Ibu hanya pedagang cabai kering dengan penghasilan yang sangat rendah. Padahal, Ibu masih punya putri kecil yang harus melanjutkan sekolah, dan satu anak laki-laki yang berkebutuhan khusus.

Setelah Ibu berangkat, kudekati Kakak yang sedang sesenggukan di kursi roda. "Pagi Boss! Laki-laki tidak boleh cengeng begitu. Bukankah Kakak dulu bilang begitu?" Kutepuk pundaknya sekali, sebelum melanjutkan.

"Nanti kalau kita sudah jadi orang kaya, kita akan ganti gelas Ibu dengan jumlah yang banyak." Sembari mengutip puing-puing kaca, kuajak Kakak berbincang sebentar.

"Aa-apa … apa i-itu benar?"

"Hm," anggukku cepat.

"Aa-apa … apa kita akan pu-punya banyak u-uang?" tanyanya lagi.

"Tentu saja. Aku kan calon bos." Mendengar jawaban itu, Kakak selalu saja tersenyum gembira. Dengan begitu, hatiku yang remuk sedikit merasa lega.

Aku sangat rumit saat itu. Sejak kelulusan, aku tak tahu harus menumpukan hidupku ke mana. Semakin lama pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan. Ijazah dengan nilai terbaik juga tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan mengingat banyaknya lulusan sarjana. Untuk mengisi waktu luang selagi menunggu panggilan hasil lamaran kerja, aku bekerja di sebuah café kecil tak jauh dari tempat tinggal kami.

Sebelum berangkat bekerja, aku akan menggendong Kak Erlan—karena keadaannya yang buta dan tidak bisa lagi berjalan—menuju kediaman Bibi Mey, adik kandung Ibu. Bukan tanpa alasan, aku melakukan itu hampir setiap pagi karena tidak akan ada yang bisa menjaga Kak Erlan yang hanya sendirian di rumah.

Aku dan keluargaku hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil yang berada di perkampungan kumuh. Selain hutang keluarga, beban mental juga sebenarnya membuatku sangat tertekan dan ingin segera pergi.

Ibu sudah hampir lima tahun sakit-sakitan, sementara Kakak yang menyandang disabilitas mengalami kebutaan dan tak mampu lagi berjalan sejak kecelakaan di tempat kerja. Aku butuh banyak uang untuk menyembuhkan mereka, karena aku sangat yakin bukan hanya aku saja yang tertekan. Ibu, Kak Erlan, dan adik kecilku Ara juga pasti sangat tertekan.

Dengan tekad yang kuat, aku tak pernah menyerah memasukkan lamaran kerja meski lamaran itu selalu ditolak. Namun suatu pagi, keajaiban seolah datang tiba-tiba.

"Ibu! Ibu!" Suaraku hampir serak, tak peduli orang-orang memandang dengan heran.

"Axton, kenapa kau kemari?!" Suara ribut di pasar membuat Ibu yang tampaknya baru saja ingin pulang harus sedikit berteriak.

Dengan napas yang tersendat-sendat, aku sangat ingat bagaimana aku tersenyum sumringah di hadapan ibu. "Ibu, aku baru saja mendapatkan pekerjaan," lugasku sangat senang.

"Benarkah?" Ibu meletakkan barang dagangannya di atas tanah. Ia menyentuh kedua pipiku dengan tangan kasarnya yang sudah lama bekerja keras. Aku mengangguk cepat, menandakan bahwa itu memang benar. "Di mana?" tanya Ibu tersenyum.

"Di kota."

Seketika, jawaban itu membuat wajah tua penuh peluh itu berubah muram. Aku melihat mata Ibu berkaca-kaca. Air mata yang sudah menumpuk di pelupuknya akhirnya tumpah begitu saja.

Saat itu aku tidak mengerti mengapa aku merasa sangat sedih karenanya. Aku menatap Ibu yang tampak mengiba. Sementara waktu, wajah itu hampir saja membuatku ikut menangis, tapi aku berusaha keras menepis rasa sedih itu secepat mungkin. Lagipula, ini semua demi memperbaiki nasib keluargaku.

"Ibu, kenapa Ibu bersedih?"

"Tidak, Ibu tidak bersedih. Ibu hanya takut akan merindukanmu."

"Ibu, perusahaan itu adalah perusahaan besar. Mereka menjanjikan upah yang besar kepadaku. Dengan bekerjanya aku di sana, Ibu jadi tidak perlu lagi bekerja keras seperti ini. Aku akan membiayai pengobatan Ibu dan Kak Erlan sampai sembuh, juga biaya dan keperluan sekolah Ara. Ibu bisa istirahat di rumah, menjaga Kak Erlan, dan merawat Ara dengan baik saja." Aku menggenggam kedua tangan Ibu dengan yakin. Walaupun sebenarnya aku telah berbohong. Perusahaan yang menerimaku, aku bahkan belum pernah mendengar namanya. Hanya saja, mereka menjanjikan upah yang lumayan besar.

"Ibu tidak perlu khawatir, aku pasti akan selalu pulang kampung untuk mengunjungi kalian." Aku berusaha keras meyakinkan Ibu agar ia tidak terus bersedih. Kuambil barang dagangan Ibu. "Ibu pasti lelah, biar aku bantu." Aku mengangkat barang-barang itu dan membawanya bergegas pergi.

Sampai saat itu, aku tidak tahu bagaimana Ibu merasa sangat bersedih. Meski tak bersuara, aku merasa bisa mendengar tangisnya dari kejauhan.

Namun, lambat laun aku mulai mengerti. Selama ini, aku adalah yang selalu berada di sampingnya dan yang selalu membantunya. Tiap hari, aku selalu menyapu rumah dan mencuci piring. Di hari libur, aku akan mencuci pakaian dan membersihkan rumah dari debu-debu yang lengket di langit-langit kontrakan.

Karena Ibu sakit keras, aku lah yang mengurus kakak dan merawat adik kecilku yang malang dengan senang hati. Aku tidak pernah mengeluh di depan Ibu, dan tidak pernah memperlihatkan bagaimana seorang pemuda sepertiku juga sangat rapuh. Namun aku sadar, Ibu tahu segalanya. Dia tahu, bahwa aku sudah menipunya dengan senyum palsu.

Itu pasti yang membuat Ibu merasa sangat bersedih.

avataravatar
Next chapter