6 Bab 5: Unit II

Arvin memperhatikan setiap gerak Indra Wijaya. Pria tua yang kini duduk berhadapan dengan Kanit Gerdian itu, tampak gugup. Sesekali dia juga melirik ke arah Arvin. Lalu buru-buru memalingkan muka. Seolah tidak mau ketahuan memiliki rasa tertarik pada detektif muda itu.

"Anda terlihat tidak fokus, Pak." Kanit Gerdian menatap Indra Wijaya dan Arvin bergantian. Benaknya dipenuhi tanda tanya.

Mengerti dengan apa yang dimaksud Kanit Gerdian, Arvin berdiri dari tempat duduknya dan berlalu keluar ruangan. Dia tidak mau menghambat proses penyidikan hanya gara-gara Indra Wijaya yang canggung berada satu ruangan dengannya. Sebelum pergi, dia menarik kerah baju Bian. Menyeret rekannya itu untuk menemani. Tidak peduli meski yang lebih tua berontak.

"Apa-apaan kau ini?!" Sampai di luar ruangan, Bian protes. Dia merapikan jaketnya yang kusut akibat ulah Arvin. Pria itu memang begitu mengutamakan penampilan, dan sangat menyukai kerapihan. Bian tidak akan nyaman jika baju yang dia pakai terlihat kusut. Baginya, jika penampilan saja rapi, maka orang juga akan berpikir jika pekerjaan yang dia kerjakan pun sama.

Cara Arvin menyeretnya memang sungguh keterlaluan. Seperti induk kucing yang membawa anaknya. Bedanya, Arvin menyeret Bian menggunakan tangan, bukan mulut. Ah, Bian memang menggemaskan seperti anak kucing, tapi diseret dengan cara seperti itu, membuat lehernya sakit.

"Kenapa orang itu kabur ketika melihatku?"

"Aku yang seharusnya bertanya padamu! Melelahkan sekali mengejarnya sampai tempat parkir." Bian merengut. Lalu duduk di kursi panjang yang tersedia.

Ketika Indra Wijaya berlari keluar ruangan, Kanit Gerdian memerintahkannya untuk mengejar orang itu. Bersyukur, Bian sempat mencegahnya yang sudah hampir memasuki taksi. Dan membujuknya untuk kembali. Bagaimana pun, pihak kepolisian sangat membutuhkannya.

"Jadi, putri Anda bekerja di klab malam?" Kanit Gerdian mencatat setiap detail keterangan yang diberikan Indra Wijaya.

Pria tua itu mengangguk. Ini kedua kalinya dia menjawab pertanyaan serupa, tapi di ruangan dan oleh penyidik yang berbeda. Dia sedikit meringis mengingat apa yang menimpa putrinya. Sungguh malang betul nasib gadis itu.

Anita yang baru berusia 23 tahun, terpaksa bekerja di klab malam untuk membantunya membayar hutang. Gadis itu sudah berulang kali meminta keluar dari pekerjaannya, dan hendak mencari pekerjaan lain. Namun, Indra Wijaya selalu menolak. Berdalih jika pekerjaan itu satu-satunya yang dapat menghasilkan uang banyak, tanpa harus kelelahan.

"Apa dia memiliki masalah dengan pekerjaannya? Temannya? Atau kekasihnya?"

"Setahu saya, Anita tidak memiliki kekasih, dan pekerjaannya baik-baik saja." Indra Wijaya menjawab dengan ragu. Dia tidak terlalu mencampuri urusan pribadi Anita. Yang dia tahu, putrinya itu hanya boleh bekerja di klab malam itu, dan memberinya uang setiap bulan untuk membayar hutang. Sebagai seorang ayah, sikapnya itu memang sangat disayangkan.

"Di klab mana putri Anda bekerja?"

"Klab Orion. Posisinya sebagai pengantar minuman di ruang VIP."

Kanit Gerdian mengangguk. Dia tahu klab yang sangat terkenal itu. Bahkan kalau boleh jujur, sesekali jika ada waktu senggang, dia pergi ke sana. Untuk bersenang-senang, juga menemui seseorang.

Suara gaduh di luar ruangan mengalihkan pembicaraan kedua orang ini. Apa yang kucing dan tikus itu lakukan? Tidak tahukah mereka jika suara yang ditimbulkan sangatlah mengganggu?

"Satu hal lagi, Pak Indra. Di mana posisi Anda pada tanggal 8 kemarin?" Indra Wijaya menatap pria itu dengan tatapan menyelidik. Tidak ingin melewatkan satu gerakan pun yang mungkin akan dilakukan oleh orang itu.

"Seperti biasa, pagi-pagi saya sudah berangkat mencari pekerjaan di pinggir-pinggir jalan dan pasar. Tapi karena kondisi saya yang sudah tua, tidak banyak yang memakai jasa saya." Senyum kecut tersungging di bibirnya. Ingin meratapi nasib, tapi ini juga karena salahnya sendiri yang serakah. Jadi tidak ada yang bisa dia salahnya, selain kecerobohannya di masa lalu.

Kanit Gerdian menganggukan kepalanya. Sangat setuju jika orang-orang pasti akan berpikir dua kali sebelum memakai jasa seorang pria berumur enampuluh tahunan ini. Selain karena tidak tega, mereka juga memang sudah sepantasnya tidak mempekerjakan orang yang sudah renta.

Alibinya pun bisa dia terima. Meski tua, tapi Indra Wijaya banyak hutang. Tidak aneh jika di usia senjanya, masih harus mencari pekerjaan serabutan. Dan lagi, dari segi kekuatan pun sangat tidak mungkin jika dia yang menghabisi mereka.

"Ini mungkin sedikit melenceng dari topik utama, tapi apa Anda mengenal Iptu Arvin?" Kanit Gerdian bertanya dengan hati-hati. Sejak awal kedatangan Indra Wijaya, dia sudah sangat penasaran akan hal ini.

Pria tua itu mencondongkan badannya ke depan, "Siapa?"

"Polisi yang duduk di kursi itu." Kanit Gerdian menunjuk kursi tempat duduk Arvin, "yang membuat Anda terkejut tadi."

Indra Wijaya mengingat-ingat. Wajah Arvin memang terlihat sama dengan seseorang yang dia kenal di masa lalu, tapi rasanya tidak mungkin mereka orang yang sama.

"Tidak, Pak. Wajahnya sedikit mirip dengan kawan lama saya yang sudah meninggal. Itu yang membuat saya terkejut."

Kawan lama yang sudah meninggal. Kanit Gerdian mengulang kalimat itu dalam hati. Dia mengangguk. Mengerti jelas dengan apa yang menimpa Indra Wijaya.

"Baiklah kalau begitu, terima kasih untuk hari ini. Kami akan menghubungi Anda lagi jika ada perkembangan dalam kasus ini." Kanit Gerdian berdiri. Mengulurkan sebelah tangannya untuk berjabatan.

"Tolong tangkap pelaku pembunuhan anak dan istri saya." Indra Wijaya meraih uluran tangan polisi tua itu. Dia membungkuk beberapa kali. Saat ini harapannya hanya penyelidikan yang dilakukan pihak Kanit Gerdian.

Suara gaduh di pintu masuk kembali terdengar. Kali ini diakhiri dengan dobrakan pintu secara paksa oleh seseorang. Kanit Iva berdiri dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Kino dan Kyra mengekor.

Bian menyelinap di antara mereka, lalu menghampiri Kanit Gerdian. Sementara Arvin, dia meraih tangan Indra Wijaya dan menuntunnya keluar ruangan. Pria tua itu terlihat ragu. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi menurut saja pada Arvin.

"Kasus ini milik kami!" Kanit Iva berbicara dengan lantang. Kedua bola matanya menatap tajam ke arah Kanit Gerdian.

"Wow santai saja. Silakan duduk, dan kita bicara baik-baik." Kanit Gerdian berjalan ke arah kursi di tengah ruangan. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Anita Azahri Wijaya, atau korban kedua berada dalam pengawasan kami sebelum dia tewas. Itu berarti, Anda harus berhenti dan menyerahkan kasus ini pada pihak kami."

"Korban meninggal hanya beberapa jam setelah menemuimu, apa kau benar-benar mengawasinya, Iva?" Kanit Gerdian tersenyum. Senyum yang menjengkelkan. Datang ke ruangannya dengan keributan hanya karena ingin mengambil alih kasus Anita, sikap Kanit Iva sungguh membuang-buang waktu.

"Pak Komandan, kami tidak ingin ada pertikaian di sini. Karena bagaimana pun, kita bekerja di bidang yang sama, dan saya rasa tujuannya pun sama. Jadi, tolong berhenti dan serahkan semua hasil penyelidikan Anda pada kami." Kino berucap dengan tegas. Membuat Kyra hampir tertawa. Tidak biasanya pria itu bertingkah berani. Apalagi di hadapan Kepal Unit I seperti ini, perlu ditanyakan apa yang memotivasinya nanti.

"Kenapa tidak lakukan sebaliknya saja? Kalian berhenti, dan serahkan berkas laporan tentang korban kedua? Lagipula, korban tewas dalam pengawasan kalian, bukankah itu bisa dikatakan sebuah kelalaian dan sedikit mencurigakan?" Bian menimpali. Anak kucing yang manis itu, berubah menjadi kucing besar yang garang.

"Bukankah rekanmu lebih mencurigakan? Sudah berada di TKP sementara tidak ada yang memberitahunya?" Kanit Iva maju satu langkah. Dia melirik ke arah Arvin yang entah sejak kapan sudah berada di antara mereka, dan bersandar di tembok dekat pintu. Rupanya kabar mengenai rekor itu sudah menyebar luas ke seluruh penjuru.

Tubuh Arvin sempat menegang mendengar penuturan Kanit Iva, tapi jika dipikir lagi, kenapa dia harus tegang? Dia tidak terlibat dalam apa pun. Kesalahannya saat ini adalah, belum memberi tahu Kanit Gerdian serta rekannya yang lain mengenai telepon dari pria misterius yang dia dapatkan. Ceroboh memang.

"Kenapa kalian tidak bekerja sama saja?" Kyra bertanya dengan pelan. Takut usulannya tidak ada yang menerima. Dan memang benar, semua orang malah melotot ke arahnya. Semua orang kecuali Arvin.

"M-me-menyerahkan kasus kalian pada kami, itu contoh kerja sama." Gadis itu terlihat kikuk. Dia beringsut ke belakang. Bersembunyi di balik badan Kino yang tinggi.

"Kami akan menunggu sampai besok. Jika kalian masih bersikeras untuk melanjutkan penyelidikan ini, saya tidak akan segan untuk melibatkan Kasat Reskrim dalam hal ini." Kanit Iva berlalu. Diikuti oleh kedua anak buahnya.

"Kepala batu!" Bian bergumam. Seharusnya dia tidak melakukan itu. Bagaimanapun juga, kedua unit ini sama-sama memiliki kepala batu. Hanya saja masing-masing dari mereka tidak menyadarinya.

avataravatar
Next chapter