6 Impian yang Menjadi Nyata

"Ada apa, Bu?" tanya Lea lagi.

"Ada syarat dari Paman Rudolf," ucap ibu Lea.

"Syarat? S—syaratnya … apa, Bu?" tanya Lea, ada perasaan tidak mengenakkan.

"Menjadikanmu pengantin muda."

***

"Melamun saja?" ujar Radi, sembari menempelkan botol minuman dingin di pipi Lea yang sejak tadi hanya melamun saja.

Lea melihatnya dengan sendu, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Lea, kamu sakit?" tanya Radi, terlihat cemas dengan Lea yang hanya diam saja.

"Lea …! Sini peluk!" seru Ninda yang baru saja tiba dan langsung menarik tubuh Lea, memeluknya. "Cup cup cup … jangan sedih, dong. Bukankah ini keinginanmu?"

"Keinginan ya keinginan, tapi bukan dijodohkan juga …," balas Lea merengek.

"Lea sayang … anggap saja itu pangeranmu dari negeri dongeng. Setelah menikah nanti, lambat laun kalian akan saling mencintai dan hidup bahagia hingga tua," tutur Ninda, berusaha membuat Lea tidak stres karena perjodohan.

"Impian Lea menjadi nyata?" tanya Radi, ia masih berada di sana dan mendengar semua pembicaraan Lea dengan Ninda.

Lea melepas pelukan Ninda dan menghapus air matanya dengan tisu yang baru saja diberikan oleh Ninda.

"Radi … apapun yang kamu dengar, jangan sampai tersebar, ya … aku mohon," pinta Lea, dengan sangat memohon pada Radi.

Tatapan matanya sangat sedu dengan raut yang memprihatinkan, siapa yang akan dengan tega menyebarkan masalah pribadi yang baru saja dibicarakan oleh kedua sahabat itu.

"Jadi kamu akan menikah? Dengan pria yang sama sekali tidak kamu cintai?" tanya Radi, sepertinya ada sedikit emosi saat memastikannya.

"Bukan hanya tidak aku cintai. Aku juga belum pernah bertemu dengannya. Bagaimana jika dia adalah seorang pria tua yang sudah memiliki banyak istri?" jawab Lea, dengan kecemasan yang selalu mejadikan pertanyaan dalam pikirannya.

"Atau seorang perjaka tua?" sahut Ninda menerka.

"Mungkin juga duda," timpal Radi, ikut menerka.

Lea semakin merengek ketika kedua temannya itu ikut menerka-nerka siapa calon suami Lea yang sebenarnya.

***

Lea

[Kak Ben]

[Apa Kakak ada waktu hari ini?]

Ben

[Ada apa, Lea?]

Lea

[Ada yang ingin aku ceritakan]

[Aku benar-benar stressssss]

Ben

[Melalui chat?]

Lea

[Aku tunggu di taman tempat biasa kita melihat senja]

Lea tahu kalau Ben seperti menghindar darinya. Namun jika tidak memaksa seperti itu, Ben akan terus mengelak dan tidak akan datang. Dengan terpaksa Lea akhirnya berlaku egois dan memaksakan keinginannya.

Lea berharap setelah ia menceritakan apa yang terjadi padanya, akan dapat membuat dirinya merasa lega. Atau malah Ben dapat membantunya terbebas dari perjodohan itu.

Setelah jam sekolah usai, Lea langsung pergi menuju ke taman yang telah dijanjikannya untuk bertemu dengan Ben.

"Andai yang akan menikah denganku itu adalah Kak Ben …," gumam.

Lea duduk di sebuah kursi kayu panjang, yang biasa menjadi tempat duduknya bersama Ben saat menikmati senja sembari menikmati es krim atau gulali yang dijajakan di sekitar taman. Hingga senja tiba, Ben tak kunjung datang. Namun Lea masih tetap duduk di sana untuk menunggu Ben.

Langit senja kini telah menggelap, tak lagi terlihat matahari yang menerangi dunia. Hanya bulan dan bintang yang menjadi teman Lea malam ini. Ya, hari sudah malam dan Ben tak kunjung datang.

Lea

[Kak Ben_]

Delete

Lea mengurungkan niatnya untuk mengirimkan pesan kepada Ben.

"Mungkin Kak Ben sedang mengerjakan tugas kuliah. Aku tidak boleh mengganggunya," gumam Lea, memantapkan dirinya.

Tes

Rintik hujan jatuh, tepat di ujung hidung Lea. Gerimis datang, bukan berarti akan turun hujan. Meski semilir angin yang berhempus terasa pikuk, namun Lea yakin kalau hujan tidak akan turun, karena banyaknya bintang di langit malam ini. Ia meyakini kalau malam tanpa bintang pertanda akan turun hujan, sementara saat ini bintang yang gemerap tampak memenuhi langit di malam hari.

***

"Ben, tidak makan?" tanya Wela –Mama Ben-.

"Ben ingin segera tidur saja, Ma," jawab Ben, sembari menutup laptopnya, ia menyudahi belajarnya.

"Sejak sore tadi, kamu hanya berada di kamar saja. Mama khawatir kamu sedang tidak fit, sayang. Apa ada kamu baik-baik saja?" tanya mamanya lagi.

"Aku baik-baik saja, Ma," jawab Ben memastikan dirinya baik-baik saja.

"Oh iya, akhir-akhir ini Mama jarang melihatmu pergi bersama Lea. Kalian bertengkar?" tanya mama Ben yang sudah sangat tahu kalau sejak kecil Ben dan Lea memang kerap bersama.

"Lea?"

Ben diam, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Lea. Ben segera melihat pesan terakhirnya bersama Lea, dimana mereka sudah memiliki janji temu sore ini di taman.

"Ma, aku pergi dulu, ya," ucap Ben, segera beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana, Ben? Ini sudah malam."

"Ke rumah Lea, Ma. Aku melupakan janjiku dengannya," ujar Ben sembari menyambar jaket yang digantungnya dibalik pintu kamar.

Ben segera keluar dari rumahnya dan menuju ke rumah Lea yang hanya berjarak beberapa rumah saja.

Tok tok tok

Ben mengetuk pintu rumah Lea, berharap yang membukakan pintu tersebut adalah Lea.

Cklek

Pintu terbuka dan sayangya itu bukanlah Lea.

"Ben? Ada apa?" tanya ibu Lea, yang heran dengan kedatangan Ben malam-malam seperti itu.

"Lea ada, Bu?" tanya Ben.

"Kamu bercanda? Bukankah Lea pergi denganmu? Ibu juga sedang menunggunya pulang," jawab Lesta, —Ibu Lea-.

"Ben pamit, ya Bu. Ben akan membawa Lea pulang," ujar Ben yang kaget ketika mengetahui kalau Lea belum pulang hingga kini.

Ia kembali ke rumahnya untuk mengambil sepeda motornya dan bergegas pergi menuju ke taman yang sudah dijanjikan. Hujan memang tidak turun, namun angin malam ini sangat tidak baik untuk kesehatan. Apalagi Lea yang menunggu Ben sejak sore di taman, ia pasti sudah sangat kedinginan dan juga lapar.

Kekhawatiran Ben sangat mengganggu pikirannya. Harapannya hanya satu, apa yang ia khawatirkan semoga tidak menjadi kenyataan. Apalagi di sana banyak penjual kaki lima yang menjajakan makanan, minuman atau sekadar camilan untuk mengisi kekosongan perut Lea. Seharusnya Lea baik-baik saja.

Ben menepikan sepeda motornya di area parkir yang ada di taman itu. Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke taman, dimana ada kursi panjang yang menjadi tempat persinggahan mereka setiap kali menikmati senja bersama di taman itu.

Kaki Ben berhenti melangkah, ketika melihat seseorang yang sedang duduk di taman bersama dengan seorang pria. Ia tidak mengenal siapa pria itu, namun wanita yang kini sedang meminum minuman hangat itu adalah Lea. Lea terlihat sesekali meniup gelas yang dipegang olehnya, menyingkirkan uap panas yang mengepul di atas gelas tersebut. Tangan Ben mengepal kuat seperti tidak rela melihat pemandangan itu.

avataravatar
Next chapter