26 Muak

"Naa, Abang mau tanya sesuatu," kata Bang Ares dari sambungan telepon.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dinihari, tetapi kami masih asik melakukan video call. Sudah beberapa hari ini kami selalu melakukannya hampir setiap malam. Tentu saja semua itu karena kegiatan di kamar sebelah yang begitu mengganggu.

Sebenarnya, dua malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak dan damai, bahkan sebelum jam menunjukkan waktu pukul sembilan malam. Namun, malam ini mereka kembali membuat kegaduhan.

"Nanya apa, Bang?"

"Lawan kata kamu apa?" tanya Bang Ares.

"Aku," jawabku.

"Kalau lawan kata benci?" tanyanya lagi.

"Cinta?" jawabku agak bingung dengan pertanyaan Bang Ares.

"Terus lawan kata aku?"

"Kamu."

"Abang juga cinta sama kamu," celetuk Bang Ares tiba-tiba.

Kulihat di layar ponsel, wajahku langsung merona.

"Waah, cantiknya pacar Abang kalo lagi malu-malu gitu. Jadi pengen cium," goda Bang Ares, kemudian tergelak.

Aku mencebik. "Puas, ya, nggodain Naa?" omelku sembari melipat tangan di dada. "Naa mau ngambek," gerutuku.

Tawa Bang Ares justru semakin kencang. "Dih, masa ngambek pake laporan dulu. Ngambek, mah, ngambek aja, Sayang," katanya, lalu kembali tergelak.

"Ih, Abang nyebelin! Nggak peka bener. Kan, ceritanya biar dibujuk, Bang. Beneran ngambek, nih!" omelku.

Di layar, terlihat Bang Ares mengusap air mata sembari berusaha menghentikan tawa. Dia menatapku disertai senyum geli di wajahnya. Pada saat-saat seperti inilah Bang Ares terlihat menyebalkan.

"Aduh, Sayangnya Abang ngambek, iya? Mau dibujuk, ya? Mau minta apa, Sayang, biar nggak ngambek lagi? Mobil? Rumah? Hati dan jiwa Abang? Apa mau dinikahin sekalian, iya? Sini Abang peluk cium," katanya sambil memanyun-manyunkan bibirnya.

Aku memasang ekspresi jijik yang tak ditutup-tutupi. "Obat Abang abis, ya?" cetusku, membuat tawa Bang Ares kembali meledak.

Tanpa kusadari, suara dari kamar sebelah sudah tak terdengar lagi. Suaranya berpindah ke depan kamarku. Bukan desahan yang erotis dan menjijikan itu, tetapi suara ketukan pintu yang mendesak meminta untuk dibukakan. Aku meminta izin kepada Bang Ares untuk membuka pintu, kemudian mematikan sambungan video call kami.

Ketika pintu kubuka, Bang Dika berdiri di depan kamarku sembari menatapku tajam. Rahangnya menegang. Dan ... masih berpakaian lengkap. Dengan celana pendek warna hitam dan kaus putih polos.

Kenapa dia terlihat marah? Apa kekasihnya tak bisa memuaskannya? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Jutaan 'kenapa' berseliweran di kepalaku. Padahal, kupikir bisa melihat senyuman itu lagi. Senyuman yang selalu mampu menghangatkan hatiku. Sepertinya hal itu kini hanya menjadi angan-anganku saja. Dia sudah bosan padaku. Dia sudah tak membutuhkanku. Aku tak berarti lagi baginya.

"Ada apa?" tanyaku berusaha terlihat tak acuh.

"Lo lagi ngapain?" tanyanya dingin.

Dia kenapa, sih?

"Nggak ngapa-ngapain. Kenapa?"

"Lo lagi telponan, kan? Sama siapa?"

"Sama Bang Ares. Ada masalah?" tanyaku.

"Tidur. Udah malem. Jangan telponan terus. Ganggu!" cetusnya.

Aku mengepalkan tanganku. Berusaha untuk tidak memukul, mencakar, ataupun meneriakinya. Mengganggu dia bilang? Aku mengganggu? Lalu, apa sebutan untuknya? Dia bahkan hampir setiap malam membuatku tak bisa tidur karena suara-suara erotis yang berasal dari kamarnya. Sekarang, dia bilang kalau aku membuatnya terganggu? Apa dia sinting?

Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa partikel kesabaranku yang tercecer di udara, lalu berkata, "Oh, sorry. Gue nggak tau kegiatan gue ngganggu lo. Gue pikir, gue doang yang terganggu dengan suara-suara erotis yang berasal dari kamar lo sampe nggak bisa tidur," ujarku. "Ada yang mau diomongin lagi, nggak?"

Aku menunggu Bang Dika mengatakan sesuatu, tetapi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku melanjutkan, "Kalo nggak ada, lebih baik lo pergi. Sekali lagi, maaf udah ganggu kegiatan malam kalian. Buruan balik ke kamar, kasian pacar lo udah nungguin. Oh, iya, satu lagi. Usahain jangan berisik, ya? Gue ngantuk, butuh tidur. Besok mau ada ulangan." Kemudian, aku membanting pintu tepat di depan wajah Bang Dika.

Tubuhku memerosot. Aku memukul-mukul dadaku yang terasa begitu sesak. Kenapa masih saja sakit? Kupikir, setelah hampir dua minggu lamanya, aku akan baik-baik saja ketika melihat Bang Dika lagi. Namun, ternyata tidak semudah itu.

Aku ingin membencinya, tetapi tak bisa. Ketika melihatnya, justru membuatku semakin merindukannya. Perasaanku padanya semakin dalam. Aku ingin memeluknya. Aku ingin melihat senyuman itu. Aku ingin mengatakan kalau aku mencintainya dan memohon agar dia tidak meninggalkanku.

***

"Naa, lo kenapa?"

Aku mendongak, menatap Juna yang kini tengah memandangku. Aku hanya menggeleng, kemudian kembali membenamkan wajah di antara kedua tanganku. Semenjak tiba di sekolah, aku hanya diam. Aku bahkan menghindari berbicara dengan Juna.

"Naa, lo sakit?" tanya Juna lagi.

Kali ini, aku hanya menggeleng tanpa mengangkat wajahku. Aku merasa lemas, mungkin karena semalam kurang tidur.

"Lo makan, nih. Tadi mama bikinin bekal buat kita," katanya lagi.

Aku menghela napas. Juna takkan menyerah sampai aku mau bicara dengannya. Aku mengangkat wajahku, kemudian menatapnya. Dia membukakan kotak makan berwarna pink berisi sandwich.

"Makasih, Jun," kataku pelan.

Tangan Juna mendarat di keningku. Alisnya bertaut, kulihat kekhawatiran di matanya.

"Lo demam," ujar Juna.

"Nggak apa-apa. Nanti juga sembuh," tukasku lirih.

"Lo makan dulu, gue keluar sebentar. Beli minum sama obat buat lo."

Juna pergi tanpa menghiraukan perkataanku. Tak lama, dia kembali membawa sebotol air mineral dan paracetamol.

"Nih, minum. Biar demam lo turun," perintahnya.

Aku menurut tanpa membantah sedikit pun. Setelah itu, aku kembali merebahkan kepalaku di meja.

"Ke UKS aja, yuk? Biar lo bisa tidur di sana," bujuk Juna.

Aku menggeleng sembari menyunggingkan senyum tipis. "Gue nggak apa-apa, Jun. Beneran. Nanti pasti bakal mendingan. Makasih, ya, udah ngerawat gue," ujarku, lalu membelai pipinya.

Juna menggaruk-garuk kepalanya. Kenapa? Apa dia kutuan? Atau ketombe? Dia terlihat salah tingkah. Dan, wajahnya terlihat memerah. Apa dia demam juga? Aku menempelkan punggung tanganku di keningnya, tetapi kurasakan suhu tubuhnya normal. Namun, kenapa wajahnya semakin memerah?

"Ng ... Naa, gue ke toilet dulu, ya?" katanya.

"Lo baik-baik aja?" tanyaku.

Juna mengangguk. "Yaa, tentu. Gue pergi dulu," katanya, kemudian berjalan cepat keluar kelas.

Kuharap Juna baik-baik saja.

***

Suara ketukan di pintu kamarku tak kunjung berhenti dari tadi. Sungguh, gadis itu tidak mudah menyerah untuk mendapatkan hatiku. Dia sangat memuakkan. Setelah tadi sepulang sekolah aku berusaha keras menghindarinya dengan langsung masuk ke kamar, sekarang dia mengetuk pintu kamarku hampir tiap lima menit sekali. Sebenarnya dia tidak tahu malu atau apa, sih?

Aku bangkit dari tempat tidur, kemudian menyeret langkahku mendekati pintu. Ketika pintu terbuka, Bang Dika tengah berdiri di sana. Dia memandangiku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Apa?" tanyaku datar.

"Makan malem. Dara udah masak banyak," sahutnya tak kalah datar.

Betapa menyakitkannya, mendengar suara orang yang biasanya berbicara kepadaku dengan penuh kehangatan, sekarang bersikap seolah kami ini orang asing. Atau mungkin kami memanglah orang asing? Mungkin, akulah yang sebenarnya sok mengenal Bang Dika.

"Males. Gue nggak laper," kataku.

"Gue nggak bego. Sejak pulang sekolah tadi sore, lo bahkan nggak keluar kamar. Gue tau selera makan lo besar. Lo nggak bisa nahan laper," ujar Bang Dika. Kemudian, dia meraih tanganku dan menarikku ke ruang makan.

"Nggak usah sok perhatian," gumamku.

"Gue cuma nggak mau lo sampe sakit saat masih tinggal sama gue," tukas Bang Dika.

Bang Dika duduk di sebelah pacar barunya. Sedangkan, aku berada di seberang meja—duduk berhadap-hadapan dengan mereka. Tadi, gadis itu tersenyum sumringah ketika melihatku datang ke ruang makan. Aku merasa seperti sedang menyaksikan pertunjukan drama, di mana cewek itu sedang berperan menjadi calon kakak ipar yang baik hati.

"Coba ini, Naa. Kata Dika, lo suka banget iga bakar," ujarnya sembari menyodorkan piring berisi salah satu makanan favoritku.

Aku memutar bola mata, kemudian menggeleng. "Udah nggak doyan lagi," kataku.

Aku tak peduli ketika gadis itu terlihat kecewa. Bang Dika yang berperan sebagai kekasih teladan langsung mengambil sepotong iga dari piring tersebut. Menggelikan. Pemandangan ini membuatku ingin menangis terbahak-bahak.

"Bisa diem nggak?" kataku pada akhirnya.

Aku kesal karena cewek itu sok baik dan sok perhatian padaku. Aku muak dengan sikap munafiknya. Aku sudah muak melihat kemesraan mereka berdua yang membuatku ingin muntah. Lebih mudah baginya jika dia tak mengacuhkanku. Aku tak perlu berbasa-basi dan berpura-pura seakan aku baik-baik saja.

"Oh, sorry," katanya disertai raut wajah bersalah. "Gue ganggu, ya?"

Oh, Tuhan. Aktingnya luar biasa sekali. Andai dia aktris, mungkin cewek itu akan memenangkan ajang penghargaan Piala Oscar.

Aku meletakkan sendok dengan kasar, sehingga menimbulkan denting piring dan sendok beradu yang cukup keras.

"Udah tau pake nanya," kataku ketus. "Gue udah kenyang. Makasih makanannya."

Aku bangkit. Ketika melangkah melewati Bang Dika, dia meraih pergelangan tanganku. Kutatap tangan Bang Dika.

"Lepasin gue," kataku datar. Aku berusaha melepaskan tanganku, tetapi genggamannya justru semakin erat.

Gadis itu meraih tangan kami, berusaha membantuku untuk melepaskan cengkeraman Bang Dika. "Dika, lepasin. Kasian Siena kesakitan," pintanya.

"Nggak usah sok peduli!" bentakku.

Kulihat dia terperanjat mendengar teriakanku.

"Minta maaf sama Dara," perintah Bang Dika dingin.

"Nggak," tolakku.

"Minta maaf, Siena! Gue nggak pernah ngajarin lo bersikap kurang ajar sama orang yang lebih tua!" Bang Dika berteriak.

Aku tertawa mendengar perkataan Bang Dika. "Dia—" kataku sembari menujuk gadis itu. Kemudian, aku mengalihkan tatapanku padanya. "—dan lo! Nggak pantes buat dapet rasa hormat dari siapa pun! Kalian menjijikan tau nggak! Kalian ngeseks hampir tiap malem dan suaranya sampe ke kamar gue, sampe-sampe bikin gue nggak bisa tidur. Dan dengan nggak tau malunya, lo minta gue ngasih rasa hormat buat cewek itu?" Aku menggeleng-geleng dramatis.

"Jijik! Dia cuma cewek munafik! Mana ada cewek baik-baik yang mau diajak nginep dan ngeseks hampir tiap malem di apartemen cowok yang belum punya ikatan apa-apa sama dia? Dia pura-pura baik di depan lo. Dia cuma mau ngincer duit lo! Dia mau pansos karena lo terkenal, sedangkan dia? Dia cuma sampah! Dia cewek murahan! Dia pela—"

"SIENA!"

avataravatar
Next chapter