1 1. Bimbang

Tak ada yang tahu kapan dan kepada siapa kita jatuh cinta. Karena, sejatinya cinta selalu bertindak sesukanya. Dia bisa tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan, bahkan tanpa kita sadari. Kemudian, pergi sebelum kita menyadari bahwa kita sedang jatuh cinta.

Beruntung jika cinta datang di waktu, tempat, dan kepada orang yang tepat. Namun, tak jarang cinta hadir di situasi yang salah, dan kita jatuh cinta kepada orang yang tak semestinya. Pada akhirnya, dia hanya akan meninggalkan luka menganga yang begitu dalam. Menyisakan kehampaan dan rasa sakit tak terperi.

***

Udara dingin yang menggelitik kulit telah membuatku terbangun. Angin itu bebas masuk ke kamar lewat jendela yang terbuka lebar. Aku hendak bangkit untuk menutup jendela, tetapi sebuah lengan kekar menahanku.

"Masih pagi, Naa. Mau ke mana, sih? Udah, temenin gue tidur lagi," katanya dengan mata tetap terpejam. Dia mengeratkan pelukan di tubuhku, kemudian melanjutkan tidurnya.

Aku berusaha untuk melepaskan pelukannya, tetapi percuma, terlalu erat. Aku mendesah pelan—menyerah. Sekarang, aku hanya bisa menunggu sampai ia terbangun. Kutatap wajahnya yang rupawan. Terlihat begitu damai dan polos. Matanya. Juga bibirnya yang mampu membuatku terpesona sekaligus jengkel dalam waktu bersamaan ketika tersenyum.

Bibir itu ... begitu manis dan memabukkan. Apalagi ketika meramu dan membisikkan kata-kata rayuan. Masih terasa saat bibir kami saling bertaut, lidahnya memenuhi mulutku, kemudian mulai menjelajahi setiap lekuk tubuhku.

Aku menggeleng. Sejak kapan aku jadi berpikiran cabul seperti ini? Bang Dika benar-benar sudah meracuni otakku. Sekarang, pikiranku dipenuhi oleh bayangan-bayangan kotor tentang adegan saat kami tengah bercinta. Sial!

"Sebegitu terpesonanya lo sama ketampanan gue? Sampe nggak ngedip gitu, Dek."

Aku tersentak ketika tiba-tiba Bang Dika membuka mata. Bang Dika nyengir lebar saat aku menatapnya.

Wajahku terasa panas. Tak perlu becermin untuk memastikan sudah seberapa merah wajahku saat ini. Sungguh, aku lebih menyukai dia saat tidur. Tanpa ekspresi menyebalkan itu, ketampanannya lebih mudah dinikmati. Sekarang, aku ingin mencekiknya—atau melempar dia lewat jendela.

"Gue mandi dulu. Mau siap-siap buat pulang," kataku tanpa menatapnya.

Ketika aku menegakkan tubuh, lalu duduk, Bang Dika mengikutiku. Saat hendak turun dari ranjang, tangannya meraih pingganggku—menyebabkanku jatuh ke pangkuannya. Ia mengecup pangkal leherku, menimbulkan getaran yang menjalari seluruh tubuhku. Dia menggesekkan bibirnya menyusuri leherku, memberikan kecupan-kecupan ringan di sana.

Aku sedikit mendorong kepalanya agar menjauh. "Bang, gue mau mandi. Kita mesti siap-siap balik ke Jakarta," kataku sembari mengertakkan gigi guna menahan erangan.

Bang Dika tak menghiraukan perkataanku. Salah satu tangannya menyusuri pinggangku, kemudian semakin turun. "Pulang mah, gampang. Kita main dulu," bisiknya sembari menciumi titik di belakang telingaku.

"Tapi, Bang. Nanti siang gue ada jadwal. Gue nggak mau bolos."

Aku dan Bang Dika di Puncak dalam rangka liburan—sejenak melepas penat dari rutinitas dan bisingnya ibu kota. Setelah empat hari di sini, seharusnya sekarang kami sudah dalam perjalanan kembali ke Jakarta.

"Elah! Emang jam berapa sih, Naa? Pulangnya entaran aja."

Dia terus melanjutkan kegiatannya, sama sekali tak menghiraukan protesku. Bang Dika merebahkan tubuhku, kemudian membenamkan wajah ke leherku. Meski enggan untuk bercinta, aku tetap menurutinya. Bibirku seolah kehilangan kemampuan untuk mengatakan tidak pada Bang Dika.

Tak kupungkiri bahwa aku menikmati setiap sentuhannya. Dan satu ronde yang dia janjikan berubah menjadi berkali-kali lipat. Ketika lewat tengah hari, kami baru selesai bersiap-siap kembali ke Jakarta.

"Nggak usah cemberut gitu napa, sih, Naa?"

Aku masuk ke mobil, lalu duduk di samping Bang Dika yang berada di balik kursi kemudi. Aku menolak ketika dia hendak membantuku memasangkan sabuk pengaman. Aku tetap membisu sembari menatap ke luar jendela.

"Maaf, deh. Kan jarang-jarang kita punya waktu berdua. Nanti kalo udah di rumah, kita nggak bisa bebas main," rayunya. Tangannya terulur ke wajahku, tetapi kutepis.

Aku mendengus. Tidak bebas dia bilang? Padahal, meskipun di rumah, dia bisa menyelinap ke kamarku kapan saja—sesukanya. Letak kamar kami yang bersebelahan dengan balkon saling terhubung mempermudahnya masuk ke kamarku hampir setiap malam. Entah untuk main atau sekadar numpang tidur. Seringkali dia datang hanya untuk menggangguku yang sedang mengerjakan tugas.

Mungkin kalian bertanya-tanya, siapa dia? Kenapa kami tinggal serumah? Perlu kalian ketahui, Swarga Mahardika adalah kakak angkatku. Meskipun orang luar tahunya kami saudara kandung. Dia sepupu jauhku, tetapi Ayah dan Ibu mengadopsiku ketika aku baru lahir. Ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku. Sedangkan ayah kandungku meninggal ketika aku masih di dalam kandungan dalam kecelakaan. Usianya dua puluh empat tahun—tujuh tahun lebih tua dariku.

Kenapa kami bisa terlibat hubungan seperti ini? Mengapa aku tak menghentikannya? Aku tak tahu dan tidak mampu menjelaskan apa yang kurasakan. Aku ingin menyudahi hubungan ini, tetapi juga tak sanggup menjauh dari Bang Dika. Aku selalu merasa nyaman dan aman saat di dekatnya. Ketika jauh, dia meninggalkan ruang hampa dalam diriku.

"Naa, asem," rengeknya. Dia mengetuk bibirnya dengan ujung telunjuk sembari memasang ekspresi polos tak berdosa. Aku memutar bola mata. Asem. Itu kode di antara kami saat dia meminta cium.

Jujur, aku merasa muak. Setiap waktu, dia selalu mencari-cari kesempatan. Entah untuk sekadar berciuman ataupun bermain. Namun, pada saat yang bersamaan, sentuhannya seakan menjadi candu untukku.

Dia melepas sabuk pengamannya, kemudian mencondongkan tubuh ke arahku. Bibirnya menekan lembut bibirku, lalu melumatnya perlahan. Lidahnya membelai bibirku dengan lembut sebelum kemudian menerobos masuk ke mulutku.

Sebuah kesadaran seolah menghantamku. Mengingatkan aku pada sebuah kenyataan. Semua ini tidaklah benar. Sampai kapan kami akan menjalin hubungan tidak sehat dan penuh dosa seperti ini? Terlepas kami melakukan ini atas dasar cinta atau tidak, kami mungkin takkan pernah bisa bersatu sampai kapan pun.

Dan aku kembali menyadari satu hal. Aku mencintai Bang Dika. Entah sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh, aku pun tidak menyadarinya. Namun, apa dia juga mencintaiku? Yang kutahu selama dua tahun ini, dia hanya memiliki keinginan untuk menyentuhku dan bersenang-senang denganku. Kuakui ini salah, tetapi aku menginginkan Bang Dika memperlakukan dan memandangku sebagai perempuan seutuhnya. Bukan sekadar penghangat ranjangnya.

avataravatar
Next chapter