1 1. Sebuah Memori

Bunyi bel jam pertama baru saja terdengar. Kelas 8-D yang seharusnya diisi pelajaran Matematika justru ramai karena guru berhalangan hadir. Keira tampak sebal. Ia paling benci segala macam kegaduhan di kelas pada jam pelajaran.

"Kei, lihat tuh si Poltak! Masa dia mau aja ngendus-endus kaos kakinya Endro." Rossa, teman sebangkunya menjawil pundak Keira sambil tertawa.

"Jorok, ah!" komentar Keira tanpa menoleh. Ia justru membuka buku Matematika, lalu mencoba menggarap soal-soal yang bahkan belum diajarkan oleh gurunya.

"Itu Kei, itu lho! Si Poltak ngeces! Hahaha!" Rossa semakin heboh saja mengguncang-guncang bahu Keira sementara tangan lainnya menunjuk meja deretan belakang.

"Aduh, Ros," Keira coba melepaskan tangan Rossa dari pundaknya. "Aku mau belajar." Ia menegur tapi Rossa tak mempedulikannya.

"Itu lho, Kei! Lo harus lihat dia...."

"Kalau mau ribut sah-sah aja, tapi jangan ganggu yang lain juga, dong." Zein, cowok bertampang pendiam yang merupakan ketua kelas 8-D mendekati mereka.

Rossa langsung berhenti tertawa. Semua anak di kelas tahu bahwa Rossa naksir Zein. Namun semua anak juga tahu jika Zein tak pernah menanggapinya. Zein cowok paling cuek dan super cool di kelasnya. Sedangkan Keira cuma melirik cowok itu sebentar sebelum kembali meneruskan coret-coretnya di kertas.

Zein menyukai Keira, itu adalah hal yang Rossa katakan pada Keira beberapa waktu lalu. Rossa yang selalu memperhatikan setiap gerakan Zein di kelas maupun di mana saja, menyadari bahwa Zein sering melihat ke arah teman sebangkunya. Namun Keira tentu tak percaya. Ia tak mau ambil pusing soal perkataan temannya. Lagipula ia sama sekali belum tertarik soal cinta atau apapun sejenisnya. Jadi ia tak ingin terlibat asmara apalagi cinta segitiga. Bagi Keira, masa SMP ibarat masih bocah di bawah umur. Tak ada hal yang lebih penting baginya selain belajar.

"Kei, menurut kamu Gilang cakep nggak? Vinny suka banget lho ngecengin dia," bisik Tina yang duduk di belakangnya.

"Gilang?" Keira melirik anak cowok yang dimaksud. "Mukanya sih lumayan," ucapnya ringan. "Tapi kepalanya mirip permen lolipop."

"Hahaha, Vin! Kei bilang gebetan kamu mirip permen lolipop!" seru Tina sambil terpingkal.

"Manis, dong!" sahut Vinny bahagia.

Keira mengambil headset dari tas lalu segera dijejalkan ke telinganya. Keira yang tampak tenang menikmati musik sambil mengerjakan soal-soal bisa dilihat oleh seluruh anak di kelas itu.

"Aku tebak dia punya koleksi lagu seriosa di ponselnya," bisik Vinny.

"Lagu-lagu klasik kalem sangat cocok buat Keira. Belajar sambil dengerin musik slow," komentar yang lain.

"Aku pernah main ke rumah Keira sekali. Di ruang tengahnya ada seperangkat salon dan banyak banget kaset musik. Tapi pas aku mau lihat koleksi kasetnya, Keira langsung sewot. Dia bilang jangan sentuh-sentuh kaset kakaknya. Nanti dia marah," cerita Tina.

"Emang kakaknya koleksi kaset apaan sih?" tanya Vinny. Yang lain juga tampak sama penasarannya.

"Yang sempat aku lihat sih band-band serem. Rock, metal, punk, pokoknya tipe musik bising gitu deh. Pasti Keira juga takut sama kakaknya. Orang koleksinya aja begitu," kata Tina.

"Jangan asal!" Rossa menengahi. "Kakak Keira biasa aja, kok. Aku pernah ketemu dia. Orang kakaknya udah gede, udah kerja. Suka musik kan nggak harus ikutan gayanya juga."

"Bener. Selera musik orang kan beda-beda. Kakakku juga suka musik-musik metal, tapi tampilannya nggak serem juga." Anak lain di dekat Vinny menambahkan.

"Tapi kalau selera musik Keira, apa mungkin metal kayak kakaknya?" celetuk Tina. Semua anak yang sedang menimbrung tertawa seketika.

Keira anak cewek paling pintar di kelas 8-D. Ia selalu masuk 5 besar di angkatannya. Keira anaknya juga manis, semua mengakuinya. Di sekolah ia cukup terkenal meskipun bukan anggota OSIS atau pun pengurus Pramuka. Meskipun begitu Keira bukanlah seorang nerd. Ia bergaul dan berpenampilan seperti murid pada umumnya.

Di kalangan anak-anak cowok seangkatan Keira cukup populer. Ia menjadi idola cowok-cowok kelas sebelah. Sayangnya sangat sulit untuk bisa dekat dengannya. Keira terlalu menjaga jarak dengan anak cowok. Ia jarang berbicara dengan lawan jenis meskipun itu teman sekelasnya. Tak heran semua jadi berpikir bahwa Keira hanya tertarik pada pelajaran saja.

"Kei!" panggil Zein saat hendak pulang sekolah. "Bisa bantu bawa ini ke ruang guru nggak?" Zein menunjukkan setumpuk kamus tebal di kedua tangannya, juga beberapa yang masih tersisa di meja guru.

"Nggak Gilang?" Keira menanyakan wakil ketua kelas mereka.

"Gilang udah pulang duluan tadi," jawab Zein, membuat Keira mau tak mau membawa sisa kamus yang ada. Lagi pula kelas sudah kosong. Tinggal mereka berdua yang tersisa.

"Maaf ngerepotin," kata Zein saat keduanya berjalan melewati koridor yang mulai sepi. Agaknya ia sadar Keira tampak keberatan membantunya. "Kamu lagi buru-buru pulang, ya?"

"Nggak, sih."

Jawaban singkat dan sikap tak acuh Keira membuat Zein termenung. "Kamu... benci aku?" katanya kemudian, hati-hati.

Keira menatap Zein sedetik sebelum menjawab, "Sedikit."

"Kenapa?" tanya Zein lagi, tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Kamu suka ngelihatin aku waktu di kelas," jawab Keira terang-terangan.

"Ooh," Zein terlihat malu. "Nggak sengaja," ucapnya pelan.

Keira melirik, tampak tak percaya dengan jawaban cowok itu.

"Aku juga nggak tahu, tapi tiap aku sadar aku pasti lagi ngelihatin kamu," ujar Zein karena Keira terus melihatnya.

"Kalau gitu kamu harus selalu sadar. Jangan suka ngelamun. Jadi kamu nggak akan ngelihatin aku terus," ucap Keira usai berpikir sebentar. "Kamu tahu nggak sih? Dilihatin itu rasanya nggak bebas. Kayak ada yang mengawasi apapun yang aku lakukan."

Zein meskipun seorang anak yang baru akan menginjak 14 tahun, ternyata perasaannya bisa tersinggung juga dengan ucapan Keira.

"Ya udah," ujarnya kemudian. "Mulai besok aku nggak akan ngelihatin kamu lagi."

"Sebenarnya..." Zein hendak mengucapkan sesuatu lagi tapi tak jadi kala melihat raut senang Keira.

"Sebenarnya apa?" Keira yang rupanya mendengar segera bertanya.

"Ehm, Keira sedikit benci aku, itu cukup menyedihkan."

"Oh, maaf." Dengan tenang Keira menanggapi pernyataan Zein. "Tapi kamu udah janji nggak akan ngelihatin aku lagi, kan? Aku tahu kamu nggak melakukan apa-apa, tapi dilihatin itu rasanya sangat mengganggu."

"Iya. Sori," sahut Zein pendek.

"Aku pulang duluan ya," ucap Keira begitu keduanya keluar dari ruang guru.

"Sampai ketemu lagi!" seru Zein, mengamati Keira yang mulai beranjak pergi. "Aku bakal ingat terus kata-kata kamu tadi."

Sambil menoleh Keira menatap balik Zein. Ia mengernyit bingung tapi tak berkata apa-apa. Ia pun segera melanjutkan perjalanan pulangnya tanpa perlu menaruh curiga.

Esoknya saat Keira datang ke sekolah ia mendapat kejutan. Ia tak melihat Zein di kelasnya. Sepertinya anak itu tidak masuk. Tidak ada yang tahu Zein sakit atau ada kepentingan sampai wali kelas datang memberikan kabar.

Zein pindah sekolah. Ia sudah pergi ke luar kota bersama keluarganya. Wali kelas mengatakan kalau kepindahan Zein bersangkutan dengan pekerjaan orangtuanya, jadi mau tak mau ia pun harus ikut mereka.

Mendengar pengumuman itu Keira langsung merasa tidak enak. Ia menoleh ke bangku yang biasa diduduki Zein di seberangnya. Bangku itu telah kosong. Rossa di sebelahnya juga tampak sedih Zein tidak lagi satu kelas dengannya. Ia menyesal tak sempat mengungkapkan perasaannya secara personal.

Mengabaikan ratapan Rossa, Keira justru termenung di tempat. Ada perasaan bersalah muncul tiba-tiba di hatinya. Kata-kata kemarin yang ia ucapkan ternyata menjadi ucapan perpisahannya dengan Zein. Apakah kesan terakhir yang ia berikan pada teman sekelasnya itu kejam? Andai saja ia tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir di mana ia akan melihat Zein di kelasnya.

Tiga tahun kemudian....

"Pengumuman! Kepada seluruh siswa SMA Pahlawan, harap memeriksa papan pengumuman di depan ruang guru. Pembagian kelas sudah ditentukan. Seluruh siswa harap masuk ke kelas yang sudah ditentukan setelah melihat daftar. Terima kasih."

Suara nyaring dari speaker sekolah membuyarkan lamunan Keira. Ia tengah duduk di tangga dekat perpustakaan seorang diri.

Hari ini hari pertama Keira masuk sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Pengalaman di kelas 10-3 kemarin tidak ada yang spesial selain menjadi rangking 1 dan ikut 3 besar di SMA Pahlawan. Segera Keira berjalan menuju papan pengumuman, ikut berdesakan dengan ratusan murid yang sedang mencari nama masing-masing di daftar. Keira menyipitkan matanya ke deretan daftar kelas 11. Setelah beberapa menit matanya menyapu daftar, akhirnya ia menemukan namanya tertera di sana.

Kelas 11-IPS 3. Keira Azalea.

Gedung kelas 11 terletak di lantai dua. Letak pasti 11 IP3-3 sendiri Keira belum tahu. Selama kelas 10 kemarin ia sangat jarang jalan berkeliling sekolah. Acara pengenalan gedung waktu MOS dulu tak pernah benar-benar menempel dari ingatan. Namun syukurlah, tak lama setelah memeriksa pintu demi pintu akhirnya Keira menemukan kelas barunya. Tepatnya di deretan ketiga dari tangga.

"Eh, itu siapa?" bisik seorang cowok saat Keira memasuki kelas.

"Gue pernah lihat sih, tapi nggak tahu dia dari kelas apa," jawab yang lain.

Keira tak ambil pusing atas pembicaraan mereka. Dengan tenang ia menuju bangku di barisan meja nomor tiga dari depan, deretan kedua dari samping pintu. Ia tak peduli saat banyak mata menoleh ke arahnya. Ia bersikap seolah-olah perhatian itu tak ada.

Jika di SMP Keira adalah cewek pintar yang populer, maka di SMA Keira hanya menjadi siswi biasa yang pendiam. Tak bisa dimungkiri jika di kalangan guru-guru ia cukup dikenal, tapi selain teman-teman sekelasnya, tak banyak yang tahu bahwa Keira adalah bagian dari SMA Pahlawan.

Memang benar Keira tak pernah main keluar kelas. Selama kelas 10 ia hanya meninggalkan bangku seperlunya. Keira sampai tak mengenal satu orang pun dari kelas lain. Selama setahun penuh ia menghabiskan waktu untuk fokus belajar di kelas. Tak heran sekarang ia seperti tak mengenal dan dikenal siapa pun di kelas barunya.

"Eh, itu cewek siapa? Manis ya," ucap seorang cowok yang duduk di bangku paling belakang. Di sana ada beberapa anak cowok sedang duduk berkelompok.

Keira yakin di kelas ini tidak ada yang mengetahui siapa dirinya. Jadi iseng ia pun berjanji dalam hati jika sampai seseorang menyebut namanya apalagi nama lengkap, ia akan menghampiri anak itu kemudian bilang, "Hai!"

"Nggak tahu, nggak pernah lihat," ujar seorang dari mereka.

"Iya. Kayak asing," jawab yang lain.

Keira tersenyum tipis, dugaannya benar.

"Cewek yang suka sendiri itu, ya?" Namun mendadak salah satu dari perkumpulan cowok itu bersuara. "Dia namanya Keira," ucapnya, cukup lantang. "Keira Azalea. Dari kelas 10-3."

Keira terkejut. Kenapa ada yang tahu nama lengkapnya? Padahal ia tak merasa melihat muka mantan 10-3 di antara mereka. Maka perlahan Keira menoleh, tepat saat seseorang dari pintu berteriak, "Zein, lo masuk kelas IPS-3 apa?"

avataravatar
Next chapter