webnovel

Study Hard

Memasuki bulan ketiga, tugas untuk menyusun skripsi semakin menumpuk. Aku membuat judul skripsi mengenai pajak perhotelan, yang artinya aku menunjuk salah satu hotel untuk menjadi tempatku meminta data skripsi. Yang satu ini aku dibantu oleh Alarick.

Tentunya dengan imbalan makan malam gratis seminggu sekali di Lestari's kitchen. Menyebalkan memang.

"Gue akan bantuin deh sampai titik darah penghabisan, asal boleh makan malam gratis," kelakarnya saat itu.

Aku menyanggupi saja. Alarick dan Arinda adalah kakak beradik yang sangat berarti buatku. Untuk masuk ke rumah saja mereka tidak butuh ijin dari ibu.

Tidak terasa juga usia kandunganku sudah berjalan tiga bulan. Jangan ditanya aku mual atau tidak. Mualnya itu bisa membuat kepalaku berputar. Beruntung banget karena skripsi ini banyak dikerjakan di rumah.

Sore hari aku lebih senang mencari udara segar dekat pantai atau sekedar duduk dan membaca buku di taman bunga. Tentu saja taman bunga mini yang aku buat bersama ibu.

Hari ini aku berjanji untuk mampir di Lestari kitchen setelah satu minggu di rumah dan mengerjakan tugas skripsi.

Ibu tersenyum lebar menyambutku datang.

"Bagaimana? Udah baikkan? Masih lemes?"

"Udah lumayan, Bu. Tapi, Aku jadi gampang lapar," rengekku manja pada ibu.

Ibu membuatkan aku gulai ayam yang sangat lezat. Namun, baru pada suapan ketiga, aku harus berlari ke kamar kecil dan mengeluarkan yang tadi sudah aku makan.

"Nak, kita berdua butuh makan. Kamu kurang suka gulai?" ujarku berbicara dengan janin yang ada di dalam perut.

"Mba, hamil muda ya?" suara seorang pengunjung resto membuat aku kaget.

"Iya, Mba. Lagi mual banget," jawabku lagi.

"Saya juga dulu hamil muda gitu. Untung ada suami yang selalu nemenin dan mijitin. Kalau ngggak, saya nggak tahu deh gimana jadinya."

Aku terseyum dan melangkah keluar. Kutarik napas dan menghembuskannya perlahan.

Suami?

Memikirkannya saja aku tidak berani. Siapa yang mau dengan wanita hamil tanpa status sepertiku. Tanpa status di sini, artinya memiliki anak tanpa menikah bahasa kerennya hamil di luar nikah.

Di negara ini status tersebut akan tetap menjadi bahan gunjingan tetangga.

Kalau sudah begitu, aku mengingat-ingat lagi kesalahan fatal apa yang sudah aku perbuat beberapa tahun belakangan ini?

Kuhembuskan napas lagi perlahan. Aku harus bertahan demi anak ini. Siapa tahu, dia pembawa kebaikan bagi diriku dan orang-orang di sekitarnya.

Untuk saat ini aku harus menyelesaikan skripsi dan sidang dalam waktu dekat. Setelah itu aku akan melamar pekerjaan di perusahaan yang bagus di Jakarta.

Ibu pernah membahas untuk pulang ke Jakarta dan tinggal di rumah peninggalan ayah yang sudah tidak terawat. Pilihannya, mau ditinggali atau dijual. Menurut ibu, dulunya rumah itu pernah ibu tinggali bersama ayah saat aku masih balita.

Saat aku sudah selesai membersihkan bibir dengan tisu. Oma Yuni datang bersama seorang lelaki blasteran bermata biru dengan rambut sedikit pirang, kulitnya kemerahan diterpa sinar matahari.

"Hai, Oma. Apa kabar?" aku menyambut oma dengan mengecup pipi kiri dan kanannya.

Oma tersenyum dan lelaki muda di sebelahnya juga tersenyum.

"Baik sekali, Nak. Bagaimana kabarmu? Wah sudah tembem ini pipinya, beda banget. Tambah cantik," pujinya yang membuat wajahku sudah seperti kepiting rebus.

Lelaki di sebelah oma mengulum senyum agar tawanya tidak meledak.

"Kenalkan, ini cucu Oma. Jayden."

"Jayden."

"Mikayla," jawabku singkat.

"Oma mau pamit, besok sudah nggak di Bali lagi. Sudah kelamaan meninggalkan perusahaan. Jay juga sudah datang, waktunya kami kembali ke Jakarta," jelas Oma panjang lebar.

"Iya, Oma. Mudah-mudahan kalau skripsi Mika selesai juga mau ke Jakarta. Mencoba hidup lebih baik di sana."

Mata oma berbinar, "kalau nanti sudah di Jakarta, jangan lupa sama Oma, ya. Awas!" Ancamnya dengan wajah galak yang dibuat-buat.

Lelaki muda di samping Oma yang tadinya melihatku dingin, tiba-tiba tersenyum kecil menyaksikan keakraban aku dan oma Yuni. Aku juga tidak mengerti mengapa dia mencuri pandang sekilas lalu memalingkan wajahnya ke seluruh ruangan.

Aku juga tidak mencari perhatiannya, kok.

Setelah menghabiskan waktu sore hingga matahari terbenam. Oma berbisik, "Bagaimana kehamilanmu? Sehat?"

Aku mengangguk, "sehat Oma. Agak mual, sih. Ya, aku nikmati aja," ujarku lagi.

Oma menatapku sedih, sesekali tangannya mengelus punggungku dan memberikan sedikit kekuatan. Sepertinya cucu oma mencoba berkonsentrasi mendengar pembicaraan aku dan oma. Aku dapat melihat keningnya yang berkerut.

"Baiklah kalau begitu, Oma pamit, ya. Ini hadiah untukmu."

Oma meminta Jayden memberikan paper bag Gucci. Oma mengeluarkan isinya berupa jaket sweater berwarna hitam dengan bunga bunga dan juga syal berwarna merah marun.

"Biar kalau kamu kedinginan, pakai ini bisa ingat, Oma."

Kami berpelukkan seperti tidak akan pernah bertemu lagi. Padahal kan, kalau nanti aku ke Jakarta. Aku akan mencari oma Yuni.

Aku dapat merasakan Jayden menghadapkan wajahnya ke atas ketika aku dan oma berpelukkan.

"Jay, ayo, Nak."

Jayden menyambut tangan oma dan berjalan di samping wanita tua itu sambil tersenyum.

Apa aku tidak salah lihat? Sejak tadi dia susah sekali tersenyum. Tapi, begitu keluar resto senyumnnya mengembang dan bahagia sekali.

**********************************

Usia kandunganku sudah memasukki usia lima bulan. Satu-satunya hal yang membuat aku senang belakangan ini adalah melihat bayiku dalam empat dimensi. Menurut dokter, sepertinya bayiku laki-laki. Ia juga sudah tidak membuatku mual atau pun keluhan lainnya.

Hal terburuknya adalah, aku dan ibu tidak tahan dengan gosip dari tetangga. Sehingga aku dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Lestari kitchen kami tutup sementara. Ibu tidak mau fokusnya terpecah untuk merawatku selama di Jakarta.

Hal baik lainnya, Arinda sudah lulus kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Ia tinggal bersama aku dan ibu. Menurutnya, perusahaan tersebut membutuhkan seorang finance handal. Finance yang sekarang bekerja kurang cekatan.

"Berapa lama lagi lahirannya?"

"Kira-kira tiga bulan lagi, sekarang sudah masuk bulan ke enam," jawabku sambil mengelus anak lelaki di dalam perut.

Arinda menaruh tangannya pada perutku. Ia menangis begitu merasakan ada yang menendang dari dalam sana.

"Dek, ini tante cantik. Tante janji akan jagain kamu sampai kamu gede, ga boleh maen pacar-pacaran, ya." selorohnya sambil membersit ingus. Aku tertawa mendengar banyolannya pada bayi di dalam perut.

"Apaan sih, Rin? Masa bayi udah diajak ngomong pacar-pacaran." Semburku dengan wajah kesal yang dibuat-buat.

"Biarin aja, pasti anak lu ganteng. Apa lagi menurut lu bapaknya bule."

Rinda menutup mulutnya yang sudah keceplosan.

"Kadang gue mikir, Rin. Dia ngerasa bersalah nggak, ya? Minimal rasa bersalah aja dulu deh. Gue belum tau, apa yang harus gue jawab kalau nanti anak gue nanya bapaknya mana."

Aku tertawa waktu mengatakan itu. Tertawa bukan karena aku bahagia. Justru aku menertawakan diriku, mungkin saja lelaki itu sudah berkeluarga.

Arinda memelukku erat dan mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan kantor barunya.

"Kantor gue itu butuh finance yang pintar kayak lu. Hhmmm... bukan cewek asal modal seksi doang kerjaan nggak becus."

Aku menggeleng dengan ocehan Rinda barusan. "Memangnya kenapa sih, Rin? Sampe lu kesel banget sama tuh cewek?"

"Sekarang gini ya, laporan dia itu nggak ada yang bener. Setiap hari gue diceramahin sama orang produksi suruh cari orang baru. Apa lagi, nanti presiden direktur udah mau datang ke Indonesia. Kalau kemarin direktur pemasaran adiknya. Sekarang kakaknya yang dateng dan katanya orangnya lebih ketat. Mampus gue!" keluhnya lagi dengan wajah cemberut.

"Itu bibir monyongnya nggak nyantai, Rin. Sabar aja, kalau presdir baru nanti lihat hasil kerjanya juga beliau akan tahu sendiri."

"Ah, nggak yakin gue. Ini adiknya aja udah terjerat sama tuh cewek uler. Namanya juga bule, mana dilirik cewek kayak gue. Kerjaannya nyuruh-nyuruh gue doang, padahal udah punya sekretaris," jelasnya lagi.

Aku curiga kalau adiknya presdir itu justru menyukai Arinda.

"Itu artinya dia mencoba ngedapetin perhatian lu."

Ia mengibaskan tangan kanannya ke udara.

"Nggak mungkin! orang dia diem aja dipepet sama si uler!" ujarnya lagi ketus.

Aku tertawa terbahak-bahak melihat wajah sahabatku memerah karena marah. Dia cemburu.

"Kenapa lu ngakak banget, Kay?"

"Lu cemburu, ya?"

Jujur aku belum pernah sebahagia ini. Melihat api cemburu pada mata Arinda. Ia menghentakkan kakinya karena kesal melihatku tertawa.

Setelah suasana hening, aku menyeduh susu hamil. Memandangi cahaya rembulan yang muncul malu-malu.

Aku memikirkan nama untuk bayi laki-laki yang sedang aku kandung.

Tidak terasa air mata kesepian menyeruak. Aku merasa begitu kesepian dan tidak kuat melalui hal ini sendirian.

"Mika, ada apa?"

Suara ibu membuyarkan perasaan sedih yang sejak tadi merayap di dalam hati. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan. Ibu merentangkan tangannya untuk memelukku.

"Ibu bangga sama kamu, Nak. Kamu mempertahankan bayi di dalam perutmu. Kemudian dengan berani dan kuat menyelesaikan skripsi dan tugas akhir hingga lulus. Semuanya kamu selesaikan dengan baik."

"Maaf ya, Bu. Sudah membuat ibu malu sampai kita harus pindah ke Jakarta."

Ibu menggeleng dan tersenyum hangat.

"Sudah hubungi oma Yuni?"

"Belum, Bu. Takutnya mengganggu. Mungkin kalau nanti melahirkan aja, Mika hubungi oma."

"Jangan gitu, nanti beliau ngambek. Kamu sudah janji kalau ke Jakarta akan kasih tau beliau. Ini sudah dua bulan kita di sini," omel ibu yang hanya bisa aku jawab dengan cengiran.

"Ya udah, Bu. Besok aku coba mengirimkan chat ke oma Yuni."

Ibu memintaku untuk masuk ke kamar karena sudah larut. Arinda juga sudah mengunci pintu kamarnya sejak tadi. Kamarku terletak di antara kamar Arinda dan ibu. Rumah ini memang tidak besar, namun memiliki empat kamar yang tidak terlalu besar. Kamar terakhir kami sediakan bagi siapa saja tamu yang datang menginap.

***********************************

Wohoooo....

Terus bosnya Arinda siapa yah kira kira?

Apa benar bosnya Arinda suka dengan Arinda?

Ternyata diam-diam Mikayla masih suka mewek karena susah banget alami kehamilan sendirian. Karena hormon ibu hamil itu sensitif banget.

With love

TiSheerazi