webnovel

Perempuan Murahan

"Huftt... Mungkin ini yang di bilang karma." Desah Alice kesal sambil menuju meja kerjanya.

Bagaimana tidak, sejak ia mulai start bekerja sampai siang hari ini, ia bahkan tidak bisa mendudukan pantatnya sejenak untuk merasakan empuknya bangku kerjanya. Wabah demam berdarah yang masih marak di kota itu, membuat jumlah pasien menjadi 2x lipat dari biasanya, apalagi hari ini hanya ada 2 dokter yang bertugas di UGD membuat Alice sangat kewalahan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pasien-pasiennya.

"Saya membawakan makan siang untuk anda, dokter Alice." Sapa suara yang tak asing di telinga Alice.

"Hai dokter Reza." Sapa Alice dengan senyum ramahnya. "Pasien hari ini lumayan banyak. Sepertinya karma yang dokter Laudia katakan tepat adanya." Ujar Alice lirih.

"Hahaha, yang benar saja? Memangnya Laudia mengatakan apa pada anda?" Tanya Reza.

"Seharusnya dia sudah bercerita kepada anda, dok. Saya tidak ingin menjadi penyambung mulut. Takut salah bicara, nanti malah jadi fitnah lagi." Kata Alice kemudian.

"Kami sudah hampir seminggu ini tidak saling menyapa." Ujar Reza. "Tadi juga dia langsung pergi sesaat setelah anda masuk ke dalam. Laudia sepertinya salah paham tentang hubungan kita." Sesal Reza.

"Memangnya ada apa diantara kita?" Tanya Alice tak paham.

"Seseorang mungkin melihat kita dan menceritakan pada Laudia, saat dimana pertama kali kita bertemu kembali dan bercerita di Cafe. Hari dimana saya terlambat untuk menjemput Laudia." Ujar Reza.

"Owh hari itu, ternyata kekasih anda juga pencemburu ya? Lalu apa yang anda katakan selanjutnya padanya?" Tanya Alice.

"Saya meminta maaf, tapi yang dia butuhkan bukan kata maaf. Dia membutuhkan penjelasan, tapi saya tak tahu harus memulai penjelasan dari mana. Saya tidak mungkin membongkar masa lalu yang anda minta kepada saya untuk selalu dirahasiakan." Jelas Reza. "Karena itulah saya memilih untuk diam selama sepekan ini." Sesal dokter tampan berkacamata itu.

"Mungkin hal itu yang menjadi pencetus dokter Laudia memperlakukanku dengan tidak baik. Ini kali kedua dia seperti itu." Lirih Alice.

"Kali kedua? Jadi sudah pernah ia melakukan ini sebelumnya padamu?" Tanya Reza tak percaya.

"He-eh..." Alice menganggukan kepalanya.

"Pertama kali ia marah padaku karena ijin seminggu yang diberikan direktur kepadaku yang baru dua hari saja masuk kerja. Lalu ia memintaku menjauhimu karena anda telah bertunangan. Dan tadi ia marah tanpa sebab yang jelas juga. Ia mengatakan kalau busanaku lebih cocok untuk pergi ke mall bukan pergi berdinas. Lalu ia meneriakiku dan menarik tasku hingga tadi terjatuh." Cerita Alice singkat.

"Ada apa dengan Laudia?" Desah Reza lirih.

"Mungkin ia kecapekan karena beban kerja yang tinggi, juga karena kesal kau tak memberikan penjelasan yang jelas tentang siapa aku?" Alice berusaha menenangkan.

"Saya mohon maaf sekali lagi atas nama Laudia." Ujar Reza penuh sesal.

"Iya saya memaklumi semuanya, dok. Justru saya yang berterima kasih karena dokter masih menjaga rahasia saya, meski itu harus mengorbankan hubungan dokter dengan dokter Laudia." Ucap Alice tulus.

"Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau malam Minggu nanti saya traktir dokter Alice untuk makan malam?" Tanya Reza kemudian.

"Hahahaa... Dokter Reza ini bagaimana, kita belum menyelesaikan masalah dengan dokter Laudia, sudah mau buat masalah baru lagi. Yang ada nanti dokter Laudia malah akan kebakaran jenggot." Canda Alice.

"Saya akan membujuk Laudia, semoga nanti kami sudah berbaikan. Jika sudah membaik, mungkin kita bisa doubel date. Anda bisa mengajak Ronald sekalian." Ujar Reza menjelaskan.

"Okey... Baiklah, kalau itu saya setuju." Jawab Alice sambil menampilkan senyum tulusnya. "Oh ya dok, dokter dan dokter Laudia sudah lama bertunangan?" Tanya Alice selanjutnya penasaran.

"Hahahaaa, Laudia... Apa dia sungguh mengatakan jika kami telah bertunangan?" Reza terkekeh renyah.

"Hmp... Dia hanya mengatakan agar saya menjauhi anda, karena anda telah bertunangan." Alice mendelikan bahunya.

"Laudia...Laudia... Saya sudah memintanya untuk yang keberapa kali, tapi sampai saat ini cincin pertunangan yang saya beli masih utuh di laci meja kerja saya. Kami belum resmi bertunangan, dokter Alice."

"Ouh... Lalu mengapa ia mengatakan hal itu kepada saya?" Alice menjadi bingung. "Sepertinya dia benar-benar cemburu pada kedekatan kita, jadi cara halusnya ia meminta saya menjauhi dokter dengan mengatakan bahwa dokter telah bertunangan. Hahaha..."

"Hahahaha..." Kedua insan itu lalu tertawa bersamaan.

"Saya, Laudia dan Azka merupakan teman dekat sejak kami SMU, makanya anda bisa melihat sendiri kedekatan kami seperti apa. Saya sudah menyukai Laudia sejak lama, dari kami masih SMU kelas 2. Tapi kami baru resmi berpacaran 8 bulan ini, tapi saya belum mendapatkan hati Laudia sepenuhnya." Reza menceritakan secara singkat kisah mereka.

"Owh... Jadi demikian, pantasan saja kalian bicara begitu akrab dan tak canggung lagi." Ujar Alice. "Tapi mengapa anda mengatakan belum bisa mendapatkan hati dokter Laudia sepenuhnya?" Tanya Alice selanjutnya.

"Ada sesuatu, tapi saya belum bisa menceritakan hal itu kepada anda, dokter." Jawab Reza.

"It's okay dok. Saya menghormatinya."

"Hmp... Kalau begitu, saya pamit sekarang ya dokter Alice." Reza melihat jam tangannya. "Jangan lupa makan siangnya." Ujar Reza lagi sambil menunjuk kotak makan siang yang tadi ia berikan pada Alice.

"Thanks, dok." Jawab Alice sambil menampilkan senyum sumringahnya.

...

"Aku tak suka teman yang memaksa seperti ini." Viona tampak begitu kesal pada pria yang kini ada di sampingnya itu.

"Ayolah, jangan seperti ini!" Pinta sang lelaki yang tak lain adalah teman baru Viona, siapa lagi kalau bukan Azka Camerlo. Mereka berdua kini ada di sebuah perbukitan, keduanya kini sedang duduk pada kap mobil Jeep milik Azka.

"Tadi kau bilang hanya menemanimu sebentar ke toko buku. Sekarang kau malah memintaku untuk menemanimu pergi ke pemakaman?" Viona tampak sangat kesal.

"Vio... coba tarik napas dalam lalu hembuskan perlahan dari mulutmu, tenangkan dirimu dan mari nikmati pemandangan di perbukitan ini. Sejak tadi kau selalu mengomeliku terus." Azka mencoba menenangkan wanita itu.

"Sudah kukatakan tadi bahwa lebih baik aku memakai mobilku sendiri, jadi sehabis dari toko buku aku bisa langsung pulang. Tak perlu menunggu lama di sini." Viona masih saja tampak begitu kesal. "Lagipula siapa lagi orang yang kau tunggu? Aku sangat tidak suka menunggu lama seperti ini!" Viona masih saja marah-marah tak jelas.

"Sabarlah, sebentar lagi dia pasti tiba." Ujar Azka sambil sesekali memperhatikan ponselnya.

Viona mendengus kesal, ia lalu menutup matanya dan mencoba menikmati angin yang sedang bertiup pelan di bukit itu. Udara perbukitan yang segar segera membuat wajah Viona yang tadinya kusut mulai melembut, ada sebuah senyum yang kian lama kian melebar.

"Kau menikmati udaranya?" Bisik Azka pelan di telinga Viona.

Wanita itu mengangguk dalam senyum.

Tak berselang lama, sebuah taksi akhirnya menepi tak jauh dari tempat Azka dan Viona berada. Azka melihat penumpang yang turun dari taksi itu, ternyata orang yang sedang ditunggunya.

"Maaf, tadi jalanan begitu macet, jadi aku terlambat." Ujar orang itu saat menghampiri Azka.

"Aku kira kau balas dendam karena malam itu aku yang terlambat datang." Ledek Azka kemudian.

Viona membuka pejaman matanya, dan betapa terkejutnya dirinya ketika melihat wanita yang berada di depannya.

"Owh, jadi dia orang yang kita tunggu sejak setengah jam yang lalu?" Tanya Viona sinis.

Wanita itu tak menggubris omongan Viona, sepertinya dia juga tak senang dengan kehadiran Viona disitu.

"Ayo kita masuk sekarang!" Ia malah mengajak Azka untuk beranjak masuk ke dalam gerbang yang adalah San Memorial Hills. Wanita itu telah membuat janji untuk pergi bersama Azka hari ini untuk mengunjungi seseorang di sana, dan wanita itu tak lain adalah Laudia Calista, dokter yang tadi pagi sempat bersitegang dengan Alice.

Azka lalu turun dari atas kap mobilnya, ia lalu mengulurkan tangannya pada Viona untuk membantu Viona turun juga dari sana.

"Ayo kita masuk ke dalam. Aku janji, kita hanya sebentar saja!!"Ujar Azka pada Viona.

"Hmp... Baiklah!" Jawab Viona lalu dia pun mengikuti Azka melangkah menuju gerbang itu.

Seperti biasa pengawal yang ada di gerbang menanyakan tujuan dan meminta mereka mengisi buku pengunjung. Laudia mewakili mereka mengisi buku itu.

"Mohon maaf anda ingin mengunjungi siapa?" Tanya sang pengawal.

"Apakah setiap kesini kalian selalu menanyakannya? Kalian tahu kan saya hanya mengunjungi satu orang di sini?" Tanya Laudia kepada pengawal tersebut.

"Ini prosedur yang ada di sini Nona." Jelas sang pengawal yang ternyata adalah seorang yang baru saja diterima bekerja disitu.

"Haii Nona, silahkan masuk. Maaf, dia pegawai baru kami. Silahkan anda boleh memilih naik sepeda atau jalan kaki saja?" Tanya seseorang yang ternyata sudah mengenal Laudia.

"Kami akan berjalan saja pak!" Jawab Laudia.

"Aku memilih naik sepeda." Sanggah Viona cepat. "Lebih cepat bukannya lebih baik." Ujar Viona kemudian sambil menuju ke arah jejeran sepeda yang tengah terparkir rapi itu.

Tanpa pikir panjang Azka juga bergerak mengikuti Viona. "Kita naik sepeda saja, biar lebih cepat." Ajak Azka pada Laudia, yang mau tak mau Laudia pun lalu mengikuti kemauan mereka.

Laudia sebenarnya tampak tidak senang dengan kehadiran Viona, ia tak menyangka jika temannya itu malah mengajak orang yang membuat mood nya menjadi tak karuan. Tapi apa boleh buat, akhirnya Laudia berusaha menikmati kedaan itu. Ia mengambil sepeda menaruh karangan bunga pada keranjang yang ada di muka sepeda, lalu mulai mengayuh pedal dengan perlahan.

Akhirnya merekapun bersepeda bersama, hanya beberapa menit mereka pun tiba di blok 4C tempat tujuan mereka. Setelah memarkir sepeda di depan jalan dengan baik, mereka lalu berjalan ke dalam blok 4C, Laudia berjalan lebih dulu dan diikuti dengan Azka lalu Viona.

"Haii sayang... Aku membawa temanmu." Kata Laudia saat menghampiri makam yang di tujunya. Ia kemudian menaruh karangan bunga di tengah gundukan tanah itu.

"Haii..." Sapa Azka kemudian. "Aku sudah memaafkanmu, Edward. Semoga kau tenang di sana."

Viona yang tampak acuh tak acuh sejak tadi ketika mendengar nama Edward disebutkan lalu tiba-tiba tercekat. Ia tanpa pikir panjang lalu menghampiri gundukan tanah itu, ia mengambil posisi tepat di samping Azka yang berdiri berhadapan dengan makam itu. Betapa terkejutnya Viona ketika melihat nama dan foto perwira yang terpampang pada batu nisan tersebut.

"Edward" Pekik Viona seketika yang tampak begitu histeris.

Laudia dan Azka secara bersamaan lalu menatap Viona.

"Vio, ada apa? Kau mengenal Edward?" Tanya Azka seketika.

Viona tak menjawab pertanyaan Azka, ia malah menatap tajam ke arah Laudia, ia mengingat dimana ia pernah melihat wajah itu. Amarah yang tak dapat ditahan lagi terpancar dari mata Viona yang merah bersamaan dengan air mata yang mengucur.

Plakkk.....

Sebuah tamparan yang tak terduga mendarat di pipi Laudia.

"Perempuan murahan!" Teriak Viona.

...

Next chapter