webnovel

BERTEMU DENGAN ALEETA

Bintang masih setia menemani malam. Memberi sinar yang meski tidak seterang bulan, tetapi mampu mengusir kegelapan yang selalu menyertainya. Seperti sosok Ryan yang selalu menemani atasannya dalam suka dan duka. Suka memerintah si asisten dan duka yang selalu hanya berpihak kepada pria malang itu.

Melangkahkan kaki beriringan dengan si bos menuju parkiran, nyatanya kembali memicu kekesalan yang kian menumpuk di dalam hati Ryan. Tentang berbagai protes yang tidak pernah mampu dia layangkan dan selalu tertahan di tenggorokannya.

Tanpa sadar langkah Ryan sedikit melambat, membuat sang Atasan kembali berdeham untuk menunjukkan ketidaksukaannya. Ya, sekian lama mendampingi pria itu sebagai asisten, membuatnya telah paham arti tindakan kecil itu.

Dehaman sekali dan singkat, artinya pria itu tidak suka dengan apa yang dilakukannya. Berbeda panjang dan nadanya, maka tidak sama pula artinya. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk  Ryan mengerti semua tindakan aneh atasannya itu.

Ah, dia kini mengasihani wanita yang akan menjadi pasangan Bos-nya itu kelak. Teringat bagaimana susahnya dulu menjalani hari dan melaksanakan tugas karena kesulitan berkomunikasi dengan pria itu. Dia harus menyesuaikan dengan mood Rendra yang sering berubah-ubah dengan cepat. Secepat membalikkan telapak tangan.

Alasan mengurangi percakapan pun terkesan sangat tidak masuk akal. Semua itu karena dia lelah merayu para wanita di luar sana. Tidak mengherankan memang, karena pria itu memang aneh. Terkadang dia sangat cerewet dan perfeksionis. Di lain waktu dia hanya akan menatap tanpa berkata sepatah kata pun.

Ryan kini sedang fokus di balik kemudi. Menghentikan segala pemikirannya tentang seorang Rajendra Alister. Menyetel sebuah lagu klasik di music player sesuai kebiasaan si Atasan. Sekilas menatap dari balik kaca spion, memerhatikan raut wajah pria itu.

"Wajahku memang telah semenawan ini sejak dalam kandungan. Jangan terlalu lama menatapku, aku takut nanti kau akan menyimpang. Seperti Anggun?"  sarkas Rendra dengan mata tertutup, membuat Ryan keheranan. Namun, sesegera mungkin mengalihkan pandangan dan menyalakan mesin mobil.

"Tidak perlu heran. Semua yang kau pikirkan tampak jelas di wajahmu. Ibaratnya kau ini seperti sebuah buku yang terbuka lebar."

Ryan Merutuki kebodohannya. Harusnya dia ingat jika pria itu bukanlah manusia biasa. Eits, jangan salah paham. Ini bukanlah novel "ganteng-ganteng serigala", hanya sebuah novel romantis dengan sedikit bumbu komedi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa atasannya yang menawan sejak dalam kandungan itu memang memiliki insting setajam serigala.

"Pria itu memiliki segalanya. Wajah yang rupawan, bergelimang harta, dan kekasih yang  berlimpah. Ibaratnya dia adalah bajingan limited edition?" batin Ryan saat itu.

"Hei, berhenti mengumpatku," geram Rendra menatap tajam asistennya melalui kaca spion.

"Kapan aku melakukannya?" elak pria itu menghindari kontak mata di antara mereka.

"Apa dia juga bisa mendengar kata hatiku? Kurasa dia memnag bukan manusia." Ryan lagi-lagi membatin keheranan.

"Tadi dan barusan pun kau melakukannya. Jangan berkilah, kau tidak akan bisa membohongiku."

Tidak ingin memperpanjang masalah, Ryan memilih untuk tidak menanggapi ucapan sang atasan yang nyatanya memang sangat intuitif. Bahkan kini dia berusaha keras agar batinnya tidak mengatakan apa pun. Salah-salah gajinya yang akan menjadi sasaran, dan dia sangat tidak menginginkan hal itu terjadi.

Rendra kembali memfokuskan pandangan ke depan, saat sang asisten tidak lagi menanggapi ucapannya. Sementara itu, Ryan juga fokus dengan kegiatan menyetir.

Hening. Baik Rendra maupun Ryan, tidak ada satu pun yang membuka suara. Hanya suara musik yang turut mengiringi perjalanan malam mereka. Seketika mereka terhanyut dalam lantunan lagu milik Wolfgang Amadeus Mozart , hingga tidak sadar sudah 15 menit waktu yang mereka habiskan selama di perjalanan.

Jalanan kali ini tampak cukup lengang. Mungkin karena sudah malam, sehingga tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Rendra mengedarkan pandangan ke luar jendela. Sesaat matanya terbelalak, lalu dia menegakkan posisi duduknya. Dia kemudian mempertajam penglihatannya, hingga sedikit mencondongkan wajahnya ke depan.

"Stop!"

Ucapan Rendra yang penuh penekanan berhasil membuat Ryan menginjak pedal rem secara mendadak.

Ryan menoleh ke samping seraya melemparkan tatapan penuh tanya ke arah Rendra. "Ada apa, Pak?" tanyanya heran.

"Tukar posisi!" pinta Rendra tanpa menjelaskan apa pun kepada Ryan.

"Maksudnya?" Ryan berusaha memastikan apa yang membuatnya bingung.

"Tukar posisi. Kamu paham tidak maksudku?" balas Rendra sedikit kesal. "Aku yang menyetir," imbuhnya kemudian.

"Loh, memangnya kenapa, Pak?" tanya Ryan masih memasang eksprei heran.

"Sudah, nurut saja!" pinta Rendra memaksa.

"Ta-tapi—"

"Kau lihat itu!" tunjuk Lucas ke depan sehingga menuntun Ryan untuk mengikuti arah pandangnya.

"Bu Aleeta?"

Ryan sedikit terkejut saat mendapati Aleeta yang tengah berdiri seorang diri di depan mobil berwarna putih.

"Kau paham, 'kan, maksudku?" tanya Rendra yang tentu langsung dimengerti oleh asistennya.

Tanpa menunggu lagi, mereka langsung bertukar posisi hingga kini menjadi Rendra yang menyetir.

Rendra segera melesatkan kembali mobilnya, menghampiri seorang wanita yang tampak berdiri kebingungan di pinggir jalan. Dihentikannya mobil itu tepat tiga meter dari mobil Aleeta.

"Bu Aleeta!" panggil Rendra seraya berlari kecil menghampiri Aleeta, setelah turun dari mobil bersama Ryan.

Aleeta yang saat itu tengah mengutak-atik mobilnya pun segera menoleh.

"Pak Rendra, Pak Ryan?" Aleeta sedikit terkejut.

"Bu Aleeta sedang apa malam-malam di sini?" tanya Rendra setelah dia berdiri di samping Aleeta.

"Mobil saya tiba-tiba mogok, Pak," keluh Aleeta tanpa berbasa-basi.

"Mogok? Kenapa bisa mogok, Bu?" Dengan polosnya Ryan bertanya.

"Entahlah, Pak Rendra," jawab Aleeta datar. "Kalau saya tahu juga sudah saya betulkan dari tadi, gimana sih!" batin Aleeta melanjutkan.

"Bolehkah saya memeriksanya, Bu?" Rendra tampak menawarkan diri untuk memberikan bantuan. sepertinya ini waktu yang tepat untuk menarik perhatian wanita dingin itu, begitu pikirnya.

"Silakan, Pak," lirih Aleeta seraya menggeser kakinya, sekadar ingin memberikan Rendra akses untuk memeriksa mobilnya.

Hanya dalam hitungan menit, Rendra berhasil menyalakan kembali mesin mobil itu. Seringai senang pun tampak terbit di wajah Aleeta.

"Terima kasih, Pak Ryan, karena bantuan dari Anda, mobil saya kembali seperti semula," ucapnya senang.

"Sama-sama, Bu." Rendra menanggapi dengan singkat.

"Baiklah kalau begitu saya permisi, Pak Rendra, Pak Ryan. Sekali lagi, terima kasih atas bantuan kalian." Aleeta tampak sedikit membungkuk, sekadar ingin menunjukkan rasa hormat di depan kedua pria itu.

"Ehem!!"

Niat untuk beranjak dari tempat itu pun terpaksa Aleeta urungkan saat mendengar suara Rendra yang berdeham dengan cukup keras.

Sementara itu, tatapan Rendra tampak tertuju pada Ryan yang juga menatapnya.

"Hm ... Bu Aleeta, sebaiknya Anda pulang di antar Ryan saja," ujar Ryan yang seolah-olah mengerti bahwa terdapat makna terselubung dari tatapan atasannya itu. Huft!

Aleeta tidak lantas menjawab tawaran dari Ryan. Sebenarnya dia ingin pulang sendiri, tetapi takut jika nanti mobilnya mogok kembali.

"Aku bisa pulang dengan taksi," ucapnya seraya menatap Rendra.

Pria itu tampak menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan sebagai bentuk penolakan.

"Aku tidak akan pernah membiarkan orang yang sedang butuh pertolongan. Jika tidak keberatan, dengan senang hati aku akan mengantarkan Anda dengan selamat sampai tujuan. Bagaimana jika mobilnya mogok di tengah jalan?"

Pertanyaan itu sangat tepat sasaran. Itulah yang ditakutkan Aleeta, hingga memutuskan untuk pulang dengan menggunakan taksi saja.

"Tapi ...." Aleeta masih tidak yakin untuk menerima ajakan pria itu. Entah mengapa dia merasa risih saat bersamanya.