14 Kau Bersamaku 2

"Astaga! Lepaskan aku!"

Ellen menjatuhkan tubuhnya di atas wanita itu, menggigit tangannya dengan sekuat tenaga. Tangannya menarik rambut dan sebelahnya lagi mencakar leher.

Ellen tidak pernah melakukan hal seperti ini di kampus, bukan karena ia tidak mau, tapi karena ia selalu menahan dirinya.

Ia tidak mau dicap buruk di depan Liu dan dosen-dosen kampusnya. Ia sengaja diam dan selalu menerima perlakuan Olive beserta rekan-rekannya karena ia pikir mereka tidak akan melakukan sesuatu yang berlebihan, hanya menganggu dan mengejeknya saja.

Tapi ternyata apa yang ia pikirkan salah.

Semakin ia diam, semakin ia tidak melawan. Olive dan teman-temanya semakin merendahkan dirinya dan ternyata ia tidak cukup dengan ejekan, tapi juga kekerasan.

Cukup sudah.

Ellen tidak melepaskan gigitannya pada tangan wanita itu, pipinya ditampar dan tambutnya ditarik dari belakang.

"Ah, sakit!" Wanita itu menjerit, menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Empat laki-laki yang bersamanya dengan susah payah menyingkirkan Ellen.

"Ah!"

Ellen tertarik dan jatuh ke atas lantai, tetesan darah menetes di mulutnya, ia terkekeh. "Kenapa? Takut sekarang?"

Wanita itu memegangi tangannya yang berdarah, gigi Ellen telah melubangi tangannya, darah mengalir deras keluar dari sana.

"Apa kau … bagaimana kau bisa menggigit orang lain? Kau ini anjing, ya?!" Wanita itu marah, tangannya gemetar dan salah satu teman laki-lakinya buru-buru membalut dengan jaket.

Ellen merasakan tubuhnya sakit di mana-mana, bahkan untuk membantu dirinya saja untuk duduk sulit, tapi dari sorot matanya, ia puas.

"Kau .. kau benar-benar kurang ajar!" Wanita itu melemparkan sepatunya yang terlepas ke arah Ellen, seumur-umur ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menggigit tangan orang lain, apakah kehidupan Ellen di masa lalu terlalu keras sampai ia bisa menggigit seseorang yang masih hidup?

Gila!

Wanita itu merinding, ia bangkit dibantu oleh teman laki-lakinya.

"Kau … awas saja! Aku akan membalasmu!" Wanita itu menoleh kepada teman-teman laki-lakinya. "Cepat bawa aku ke rumah sakit, jangan sampai aku mengalami infeksi!"

Ellen terkekeh melihat ketakutan di mata wanita itu, ia mengusap wajahnya dan menatap dingin wanita yang pergi bersama keempat teman laki-lakinya, mereka berlarian menjauh.

"Pengecut," gerutu Ellen sambil menyeret tubuhnya bersandar di pelataran toko yang telah tutup, ia terengah-engah.

Sakit sekali.

Ia tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang, seperti apa pakaiannya dan bagaimana rambutnya sekarang. Kedua tangannya gemetar hebat dan ia merasa tidak berdaya sama sekali.

Ellen meneteskan air mata, alih-alih merasa sedih karena rasa sakit yang ia rasakan, ia justru merasa sakit hati.

Dunia tidak adil, ia tahu itu sejak ia kecil.

Ketika anak-anak lain akan dibela orang tuanya ketika mengalami masalah. Ellen harus menerima apa yang terjadi pada dirinya tanpa berharap ada satu orang pun yang membelanya.

Ia sudah terbiasa mengalami hal-hal seperti itu, meski pada dasarnya masalah yang datang bukan dari kesalahannya, melainkan dari kelemahannya.

Ia sendirian dan tidak akan ada yang membantunya, ia lemah dan miskin.

Semua itu adalah kelemahannya.

"Hah … kenapa harus selalu aku?"

Ellen tersenyum pahit, mulutnya terasa tidak nyaman karena ia menggigit tangan orang lain dan ada sebagian darah yang masuk ke dalam tenggorokan. "Menyedihkan sekali."

Pikiran Ellen menjadi berantakan, semua memori-memori buruk yang pernah terjadi di masa kecilnya berlomba-lomba muncul, seperti kaset rusak. Suasana hati Ellen menjadi buruk dan ia tidak ingin bergerak.

Ia tidak ingin melakukan apa-apa sekarang, ingin sendirian saja rasanya.

Tetesan hujan mulai turun menjatuhi bumi dengan deras, hawa dingin langsung menyeruak dan angin terus berhembus, Ellen merasakan pandangannya mengabur.

Ponselnya berdering di tas yang telah basah karena terkena rembesan air hujan, ia tidak bergerak mengambilnya.

Tubuhnya tidak bisa lagi bergerak dan perlahan rubuh ke atas lantai, Ellen menatap tetesan air yang jatuh, bergerak menggenang ke tempat yang lebih rendah.

Ia selalu sendirian.

Rasanya seperti mengulang kembali saat-saat yang paling menyedihkan di dalam hidupnya, entah sudah keberapa kalinya, tapi Ellen masih tetap tidak terbiasa dengan hal seperti ini.

Seandainya saja, waktu bisa diputar ulang, Ellen ingin bertanya kepada kedua orang tuanya, mengapa harus ia harus dilahirkan?

Kenapa ia harus dibuang?

Kenapa ia tidak pernah seperti orang lain, kenapa ia tidak pernah merasa hidupnya adil?

Air mata Ellen semakin deras mengucur di pipinya, hatinya sangat sakit. Ia kecewa, tidak hanya pada kedua orang tuanya, tapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya.

Kenapa harus dirinya yang mengalami hal seperti ini? Apa salah dirinya sampai ia harus diejek dan dirinya selalu dianggap tidak pantas?

Ellen menangis tersedu-sedu, suara hujan yang deras menyamarkan semua kesedihan yang ia rasakan. Ia menutup wajahnya dengan perasaan yang tak tertahankan, meringkuk sendirian di bawah naungan atap toko yang sudah rapuh, tidak jarang terdengar suara atap yang tersingkap tertiup angin dan suara tiang yang sudah mulai rapuh.

Wanita itu memeluk lututnya sendiri, memejamkan matanya dengan erat.

Rinai hujan masih terdengar keras, Ellen tidak tahu berapa lama ia menumpahkan kesedihannya hingga sesuatu menusuk pipinya.

"Hei."

Ellen membuka mata, melihat tetesan air yang berjatuhan di atas lantai, melihat sepasang sepatu putih yang tidak asing.

Wanita itu mendongak dan menyadari kalau sesuatu yang menusuk pipinya adalah jari Liu.

"Kenpa tidak memanggil namaku?" Liu mengulurkan tangannya, menyeka sisa-sisa darah di bibir Ellen, ia mengendus pelan.

Ini bukan darah Ellen, laki-laki itu mengerutkan keningnya dengan jijik. Tangan kirinya bergerak naik mengusap pipi yang sembab dengan pelan.

"Padahal kau hanya tinggal memanggil namaku," kata Liu sambil tersenyum tipis, tangannya itu turun ke bibir Ellen. "Aku bisa membalas semuanya dalam satu kedipan mata."

Liu tidak berbohong, jika saja Ellen memanggil namanya, ia akan mendengar dan langsung datang. Tapi Ellen tidak melakukan hal itu, hingga ia harus mencari Ellen sendiri dan menemukannya dalam keadaan menyedihkan seperti ini.

Laki-laki itu menahan napas, mencoba bersikap tenang.

Sepertinya pelajaran yang ia berikan belum cukup untuk membuat mereka sadar tentang keadaan mereka saat ini. Laki-laki itu diam-diam mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa marah yang tidak bisa ia tampakkan di depan Ellen.

"Jangan membuat alasan konyol, aku tidak percaya kalau kau melupakan aku."

Ellen menggigit bibirnya, melirik laki-laki itu, bajunya basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sepertinya Liu berjalan kemari tanpa memedulikan dirinya sendiri.

Wanita itu terbatuk pelan, lalu tersenyum lebar. "Maaf, aku memang lupa denganmu."

Yah, ia lupa kalau sebenarya ia tidak benar-benar sendiri.

Masih ada Liu, yang selalu menolak cintanya. Tapi tidak apa-apa, setidaknya, ia tidak sendirian.

avataravatar
Next chapter