webnovel

Chapter 01 : Stasiun Defour

Tidak ada bocah yang terlihat bersemangat di lorong tunggu kereta bawah tanah selain bocah perempuan berusia 6 tahun itu. Dami Alan, si bocah perempuan berwajah pucat dengan pasang iris cokelat terang berjalan menjelajahi sekitarnya, terlalu bosan menunggu kedatangan kereta.

Ia mengamati setiap calon penumpang yang berbaring berkelompok-kelompok dengan parka-parka besar dan syal tebal yang melapisi tubuh mereka, beberapa tidur nyenyak, beberapa terlihat gelisah.

Ia mempelajari mereka. Penciumannya yang sensitif menangkap bau yang berbeda dari kelompok-kelompok yang kesemuanya berdarah panas. Tapi ia tahu beberapa kelompok berbeda jenis. Dan tidak ada yang sama seperti 'dengannya'.

Dia tahu karena Jadrian yang mengajarinya akan hal itu. Tentang perbedaan Eksistensi.

Lorong tunggu sangat sepi meski calon penumpang membeludak. Hanya terdengar suara nafas dan dengkuran, kadang ada suara igauan dan bersin kecil. Udara dingin yang bersuhu rendah tentu menguras energi setiap makhluk berdarah panas.

Mereka meringkuk dalam parka mereka, berdempetan, berpelukan, dan anak-anak bersembunyi di balik parka orang tua mereka seperti bayi kangguru.

Ini bukan pertama kalinya bagi Dami berjalan-jalan menggunakan kereta bawah tanah. 'Mereka' bahkan selalu menggunakan kereta bawah tanah. Meski ia tidak suka dengan kereta reyot yang melaju cepat di lorong gelap bawah tanah. Dan tentu saja tidak ada pemandangan yang bisa dilihat dari jendela kereta bawah tanah. Tidak seru.

Ia mendengar panggilan namanya melesat di dalam kepalanya. Padahal lorong itu sunyi senyap. Si bocah kecil menoleh, dan tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria bertubuh ramping yang mengenakan mantel biru gelap tipis, melambai padanya.

Ia segera berlari dengan kaki mungilnya, tak menimbulkan suara, melewati kelompok-kelompok yang meringkuk tidur di lantai, mendekati pria itu.

Dami memeluk kaki abangnya, Jadrian Alan, meniru cara anak-anak berdarah panas di dalam ruangan sepi itu. Meski sebenarnya ia tidak mengerti tujuan anak-anak itu. Sebab ia tidak merasakan suhu dingin itu seperti anak-anak berdarah panas yang sedang bertahan melawan udara dingin minus derajat dengan memeluk orang tua mereka.

Jadrian Alan memiliki warna rambut yang sama dengan Dami, hitam bergelombang, juga sama pucatnya dengan Dami. Namun iris mata Jadrian berwarna hijau, sama dengan yang dimiliki Pa. Pria itu mengelus puncak kepala adiknya.

"Kita akan ke North Oak," ujar Jadrian lembut. "Kau ingat kota itu, Dami?"

Dami mengerjapkan mata. Ia hanya tersenyum lugu.

Jadrian balas tersenyum. "Kita akan tinggal di sana."

Dami menunjukkan senyum lebar hingga empat gigi taringnya yang runcing abnormal atas-bawah terlihat. Ia memang tidak bisa mengontrol kapan gigi taring itu perlu muncul.

Suara obrolan mereka rupanya membangun beberapa orang. Orang-orang itu membelalak ketakutan melihat Jadrian dan Dami yang berdiri tanpa dilapisi parka atau pun pakaian tebal. Sungguh terlihat aneh.

Jadrian menyorotkan pasang mata hijau cemerlangnya kepada orang-orang itu. Berikutnya orang-orang itu berpaling, seolah mendadak lupa dengan keberadaan Jadrian dan Dami yang abnormal, kembali melanjutkan tidur.

Seorang pria berdehem, begitu saja muncul tanpa suara di sebelah Jadrian.

"Keretanya sudah terlambat selama 3 jam," kata pria itu dengan suara bariton rendah. Mata biru gelapnya mengawasi terowongan yang nyaris gelap, karena satu-satunya sumber penerangan di ruang itu adalah satu lampu gantung yang sudah meredup.

Pria itu adalah teman Jadrian dan Dami. Namanya Topaz Garnet, dan "jenis" yang sama seperti mereka berdua. Penampilan Topaz tidak jauh berbeda dari mereka berdua, terlalu "santai" dan hanya mengenakan mantel hitam yang kelewat tipis. Tidak cocok dikenakan untuk musim dingin.

Jadrian menoleh, mengawasi dengan tatapan kasihan pada setiap kelompok calon penumpang yang telah menunggu semalaman bersama mereka di lorong tunggu yang tidak berfasilitas ini. Hanya ada beberapa deret kursi tunggu dan itu pun sudah reyot dan berkarat. Jumlahnya tidak sepadan dengan jumlah calon penumpang yang kelewat batas, memenuhi ruang tunggu.

Para calon penumpang meringkuk di lantai semen berkeramik yang sudah tua, berusaha semampunya melapisi badan mereka dengan kain-kain tebal yang mereka miliki.

"Sudah saatnya untuk berpindah tempat," gumam Jadrian.

Terdengar rengekan anak kecil. Topaz menoleh, seketika warna matanya berubah merah menyala. "Belum apa-apa rasanya sudah memuakkan," ia mengeluh. "Banyak sekali manusia di sini. Mereka mau kemana sih?" gerutunya. Berbeda dari Jadrian, Topaz agak tidak tahan dengan bau eksistensi berdarah panas sebanyak dan selama ini.

Berbeda dengan kakak beradik Alan yang sama sekali tidak terusik dengan bau yang merebak menguasai lorong tunggu.

Kakak beradik Alan memang sungguh unik. Siapa saja pasti mengira keduanya adalah Manusia, walau kulit mereka pucat. Dengan mudah keduanya dapat berbaur di kota-kota mayoritas Manusia. Mereka berdua 'jarang' terlihat 'kelaparan'.

Terasa getaran kecil dari langit-langit. Satu-satunya lampu gantung yang sudah redup bergoyang pelan. Debu-debu tipis berjatuhan.

Tidak ada yang menyadari keanehan itu selain Jadrian dan Topaz. Keduanya menengadah ke langit-langit yang kotor dan dipenuhi sarang laba-laba.

"Varlas sedang kacau," kata Topaz waspada. "Dari mana asal kelompok werewolf itu? Menurutmu seberapa cepat Pembasmi akan sampai ke kota ini?"

"Entahlah," jawab Jadrian, nada suaranya terdengar cemas. Mereka bertiga sudah tinggal di Varlas selama 37 tahun, lebih lama daripada kota-kota yang pernah mereka tempati. Keadaan di Varlas menjadi kacau sejak tiga bulan yang lalu karena serangan kelompok eksistensi werewolf tidak dikenal. Padahal Varlas adalah salah satu Kota Percampuran yang sebelumnya cukup aman.

Jadrian memutuskan untuk pergi dari kota ini sebelum kelompok werewolf semakin bertambah ganas. Tentu saja para calon penumpang kereta bawah tanah ini juga memiliki tujuan yang sama dengan mereka untuk pergi menyelamatkan diri dari Varlas.

"Menurutku Pembasmi malah akan menambah kacau situasi," komentar Jadrian dengan nada sinis.

"Para Pembasmi itu," Topaz mendengus jijik. "Mereka pasti senang dengan tugas menjadi alat mesin pembunuh Eksistensi non manusia."

Jadrian melirik arloji di pergelangan tangannya yang ramping. "Sebentar lagi pukul 4 dini hari."

Jadrian berharap tidak ada masalah apa pun. Namun situasi ini jelas menunjukkan jika ada hal aneh yang sedang terjadi. Samar-samar mereka mulai mendengar keributan dari atas.

Calon penumpang satu-persatu terbangun karena suara berisik itu. Seketika lorong tunggu mulai ramai. Orang-orang mulai panik. Mereka segera menuntut Petugas tiket yang bersembunyi di balik loket, satu-satunya petugas yang dianggap bertanggung jawab di lorong bawah tanah itu.

Suara-suara mencurigakan itu terdengar lebih nyaring, seolah-olah bergerak semakin mendekat.

Jadrian bersama Dami dan Topaz telah berpindah ke sudut dalam bayang-bayang, menyembunyikan diri mereka di dalam kepanikan calon penumpang. Si petugas terlihat berusaha menelepon untuk mencari informasi.

Ricuh. Kacau.

"Ayo kita pergi dari sini," Jadrian memutuskan. "Kurasa kereta tidak akan pernah datang."

Topaz mengangguk setuju.

Mereka bertiga bergerak meninggalkan lorong tunggu riuh dengan suara menuntut, laki-laki dan perempuan, ada yang berteriak-teriak panik, bercampur dengan suara tangis anak-anak kecil dan bayi yang ketakutan.

Lalu terdengar suara hembusan napas keras dari terowongan. Disertasi hentakan keras.

"WEREWOLF!"

Entah siapa yang berteriak, sayang sekali informasi itu tetap terlambat karena sekelompok Makhluk jadi-jadian bertubuh besar itu sudah menyebar, meloncat dari terowongan gelap, menerkam para calon penumpang, satu-persatu.

Jeritan-jeritan memekakan telinga memenuhi stasiun. Beberapa calon penumpang berubah wujud menjadi makhluk yang sama untuk membela diri, namun hal itu malah membuat situasi bertambah kacau.

Ruang bawah tanah itu terlalu sempit untuk para makhluk-makhluk besar itu.

Jadrian sebenarnya bisa lari dalam sekejap bersama Dami dan Topaz. Namun lorong dipenuhi makhluk berdarah panas yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka berdesak-desakan. Tidak ada ruang untuk menembus. Jika pun ia mencoba, ia mungkin akan melukai orang-orang di dekatnya dan ia tidak mau melakukannya.

Di belakang, ia mulai mendengar teriakan Penyihir mengucapkan mantra. Suara mereka melengking-lengking memenuhi lorong bersamaan jeritan dan auman liar para serigala jadi-jadian. Penyihir ikut campur itu artinya keadaan benar-benar buruk.

Jadrian menggenggam erat tangan Dami. Mereka berdua terjebak di antara himpitan tubuh orang-orang yang ingin menyelamatkan diri.

Sementara Topaz telah tak terlihat di dekat mereka, namun Jadrian tidak perlu mengkhawatirkan Topaz. Topaz bisa menjaga diri. Sementara Dami...

Akhirnya ia menarik Dami ke sudut, menghindari desakan yang tidak dapat membuat mereka bergerak maju.

Dalam keriuhan Makhluk berdarah panas, penglihatan abnormal Jadrian menangkap seorang anak laki-laki yang terjatuh. Mungkin seusia Dami. Terinjak-injak dan menangis kesakitan. Namun tidak ada yang menolongnya. Rasa takut telah membuat orang-orang mengabaikan segalanya.

"Dami, tunggu di sini." Perintah Jadrian, kemudian ia segera menerobos kerumunan. Ia berhasil mengangkat anak laki-laki itu, kemudian membawanya menyingkir.

Wajah anak manusia itu terluka, bau darah membuat perut Jadrian bergejolak sekilas. Dan kejadiannya begitu cepat ketika kepalanya sudah dihantamkan ke lantai oleh cakar-cakar tajam. Keramik pecah. Syukurlah kepalnya masih utuh. Sementara anak laki-laki itu sudah tidak ada dalam pegangannya.

Jadrian terlalu lambat dan si Werewolf terlalu lapar. Si werewolf telah menggigit si anak laki-laki.

Seketika Jadrian bangkit, lalu mengerahkan menarik tubuh si werewolf yang berikutnya ia lemparkan ke langit-langit. Si werewolf jatuh ambruk dan langit-langit nyaris runtuh karena benturan tubuh besarnya.

Jadrian kembali pada si anak laki-laki yang terkulai lemah di lantai, bahu bocah itu robek karena gigitan. Luka itu luar biasa parah, Jadrian bahkan bisa melihat tulang putih anak laki-laki itu mencuat dari robekan daging di bahunya. Darah bersimbah menggenang di sekitar tubuh kecilnya yang tidak berdaya.

"Bawa dia ke sini!"

Seseorang memerintah, tanpa pikir panjang Jadrian menuruti perintah laki-laki itu. Jadrian mengangkat hati-hati tubuh si anak laki-laki ke pinggir. Seorang pria menungguinya bersama dengan dua anak laki-laki yang mungkin adalah putra pria itu. Kemudian pria itu segera mengecek keadaan si bocah manusia.

Kerumunan sudah mulai lengang. Namun perkelahian masih membabi buta.

Lorong tunggu telah menjadi arena perang antara werewolf penumpang dan werewolf yang menyerang, dibantu dengan beberapa Penyihir calon penumpang.

Sungguh kacau. Mayat-mayat berserakan, sebagian besar adalah eksistensi manusia.

"Anak malang," pria itu berjanggut, tubuhnya sangat besar dan pastinya berotot di balik parka yang membungkusnya. Pria itu masih kelihatan tangkas meski di usia yang sudah menua. Kedua anak putranya mengamati dengan ekspresi ketakutan.

"Apakah dia akan mati, Pa?" tanya anak laki-laki bermata sayu dan sangat mirip dengan si lelaki berjanggut. Satunya yang berambut perak berdiri di belakang, nyaris menangis menahan gemetar.

Jadrian mengangkat wajah, memandang si lelaki berjanggut dengan sorotan mata yang menanyakan hal yang sama.

Si Lelaki berjanggut berdehem. "Mungkin dia bisa selamat," katanya, terdengar sangat tulus dan yakin. Gaya bicaranya menunjukkan wibawa seperti seorang pemuka agama.

"Di mana orang tuanya?"

Si lelaki berjanggut pasti sudah mengetahui identitas Jadrian sebagai Vampir karena ia baru saja melawan seekor werewolf dengan cara yang abnormal.

Jadrian telah menghafal setiap penumpang. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya, kemudian berpaling. "Sayang sekali," ujarnya. Ia baru saja melihat mayat kedua orang tua si bocah manusia.

Si Lelaki berjanggut terlihat syok. "Aku... mungkin aku bisa mengurusnya," Lelaki itu memandang kasihan kepada si anak manusia yang sekarat.

Tidak hanya digigit werewolf, anak laki-laki itu tidak akan bisa menjadi manusia seutuhnya lagi, dan juga... ia telah menjadi yatim piatu.

"Dia tidak akan 'sama' lagi setelah ini kan?" Jadrian bertanya. Pertanyaan sungguh terdengar bodoh untuk ukuran Vampir berusia satu abad. Padahal ia sudah tahu banyak hal.

Si Lelaki berjanggut mengangkat bahu.

"Kau serius akan mengambil alih?" tanya Jadrian lagi.

"Ya, aku akan berusaha menolongnya sampai bantuan datang."

"Kalau begitu, aku pergi," Jadrian segera berdiri.

Jadrian bergegas kembali ke posisi di mana ia meninggalkan Dami.

Namun Dami sudah tidak berada di sana.

"Dami?" Jadrian mengedarkan pandangan.

Seharusnya Dami tetap berada di sini. Dami selalu patuh dengan perintah Jadrian. Vampir kecil itu tidak mungkin pergi begitu saja.

"Dami?!" Jadrian berteriak memanggil hingga si lelaki tangkas kembali memandangnya dengan ekspresi heran.

"Jade!" Topaz ternyata selama ini bergabung dengan kelompok calon penumpang yang melawan para werewolf pemberontak. Ia menunjuk ke terowongan ketika seekor werewolf berbulu cokelat gelap melesat masuk ke dalam terowongan.

"Tidak," desis Jadrian, tidak percaya. Ia yakin melihat pasang kaki mungil Dami pada werewolf itu.

Ia pun segera turun ke dalam terowongan kereta, berlari mengejar. Namun werewolf itu bagai lenyap di telan bumi.[]