webnovel

Terpaksa Satu Kamar

Meri melambaikan tangannya, dia yang memegang kunci kamar Fahri dan Haisha.

Entah apa tujuan tersembunyi Meri, yang jelas dan Fahri yakini, ibunya itu tidak mungkin tahu kalau mereka berbeda kamar dan berfikir hubungannya bersama Haisha baik-baik saja.

"Mas tidur di kasur aja, Ica bisa di sofa kok."

Fahri menoleh, dia bahkan belum memberi perintah atau larangan pada Haisha, tapi gadis itu sudah memunguti bantal dan selimutnya.

Sofa besar di sudut kamar utama, dekat dengan jendela dan televisi, Haisha menata bantal empuknya di sana, meletakkan selimut tepat di bawah kaki, kedua tangan sibuk mengoles lotion anti nyamuk dan mata tidak bergerak gelisah atas adanya Fahri di kamar itu.

"Mau dimatiin lampunya?" tanya Haisha.

Mungkin dia masih merasa lemah sehingga berbicara secukupnya dengan Fahri, atau mungkin gadis itu malas mengingat Fahri tidak akan suka dengan apapun yang ia lakukan.

Haisha mencoba idenya sendiri, bila Fahri tidak suka diperhatikan terus-menerus olehnya, maka dia akan acuh dan menganggap tidak tahu apapun tentang Fahri, membiarkan pria itu merasa nyaman dengan hadirnya yang seperti angin tidak terlihat.

Fahri mengangguk, tapi cepat meralat ketika tangan Haisha mulai menekan remot, Bik Mira yang mengajarinya kemarin.

"Iya?"

"Gue parno, lo entar kayak cewek murahan pindah sini, nggak bakal mau gue!"

Haisha tidak menjawab, dia letakkan remot lampu itu lalu mulai berbaring. Matanya tampak terpejam dengan kedua tangan berada di atas perut.

"Panas banget, remot ac lo mana?"

"Di nakas deket ranjang."

Fahri ubah menjadi yang super dingin, seringai tipis muncul di sudut bibirnya, pendingin ruangan itu ada di sebrang sofa Haisha, otomatis gadis itu akan merasa sangat kedinginan.

"Itu hukuman karena lo bikin gue nggak berkutik di depan Mama!" gumam Fahri lirih.

Haisha yang mulai terlelap, terganggu dengan hawa dingin yang semakin dingin itu, selimutnya sudah membelit dan kedua tangannya saling mendekap, bahkan dia sudah memakai kaos kaki, tetap saja terasa dingin.

"Dingin banget ya, Ica nggak biasa tidur kayak gini dinginnya."

Haisha gulung selimut itu lebih rapat, tapi dia masih menggigil, dia mulai melirik pada Fahri.

Ada sinar kecil di sana, itu tandanya Fahri masih terjaga dan bermain ponsel, Haisha putuskan berjalan mendekat, dia benar-benar tidak kuat dengan suhu seperti ini.

"Mas, Mas Fahri." Haisha goyangkan tubuh miring itu.

Fahri menoleh sekilas lalu membuang muka. "Apaan?"

"Ica kedinginan, bisa minta tolong dikecilin ac-nya?"

"Enggak, gue gerah di sini!"

"Tapi, Ica nggak kuat di sana, Mas."

"Bodo amat, cari aja tempat yang nggak dingin, mau di kolong meja sana juga boleh!"

Menyebalkan, itu predikat yang Haisha berikan pada Fahri.

Pria tidak jelas yang sangat menyebalkan, baik dan kejamnya sangat labil juga, entah apa maunya Fahri sampai memperlakukannya seperti ini.

Bila Fahri tidak suka seharusnya pria itu yang pergi, bukan yang menghimpit seperti ini. Berlaku menyebalkan dan tidak jelas seolah-olah Haisha adalah perempuan memuja dirinya dan sangat membutuhkan perhatian darinya

Lupa, Haisha putuskan tidur di dekat ruang ganti, tidak jauh dari kamar mandi dalam kamar itu, daripada dia kedinginan dan esok pagi kurang sehat lagi.

Perlahan Haisha atur nafasnya, membuang kekesalan yang mendadak muncul karena ulah Fahri kali ini, dia harus tahan mengingat sikap Fahri aneh seperti itu karena dia adalah jiwa yang terluka.

Dia ingin menjadi seorang laki-laki yang sangat dibutuhkan, diperhatikan, diutamakan, semuanya dia harus menjadi nomor satu. Mungkin selama ini luka perselingkuhan membuat Fahri merasa dirinya tidak berarti meskipun mempunyai warisan kekayaan yang tidak cukup bila dihitung dengan banyak alat sekali pun.

Plus dan minus, hidup selalu seperti itu. Tapi, bukan berarti dia harus menyebalkan seperti ini kan?

"Mas kenapa?" membuka mata, tiba-tiba mendengar suara ringisan seseorang.

Di kamar itu hanya ada dirinya dan Fahri, itu artinya Fahri yang tengah menahan sakit.

Haisha beranjak bangun, tidak ada jawaban apapun dari Fahri, tapi tubuh terbalut selimut itu tampak menggigil.

"Mas, kamu kenapa?" Haisha tarik selimut yang tampak bergetar itu, mengulurkan tangan untuk memeriksa kening Fahri.

Sontak Haisha tarik tangannya, Fahri tengah demam tinggi, baru saja pria itu menggodanya, sekarang dia sendiri yang kesakitan.

Haisha balikkan tubuh Fahri, membuat Fahri terlentang, mata pria itu setengah terpejam dan bibirnya mulai pucat.

"Tunggu, Ica tadi bawa air jahe anget, bentar!"

Haisha berlari ke dekat sofa, mungkin air itu sudah dingin, tapi sensasi jahe pasti masih terasa sampai sekarang.

"Mau lo apain gue?" bertanya dengan suara keras.

"Ica nggak ngapa-ngapain, Mas minum dulu ini biar enakan." Haisha letakkan di atas nakas, kemudian susah payah ia paksa kepala Fahri berpindah ke pangkuannya.

Pria itu menolak dan dua kali Haisha harus memaksanya, selain air jahe itu, Haisha tidak menemukan hal lain untuk membuat Fahri sedikit tenang dan tenggorokannya basah.

"Minum pelan-pelan, Ica bantu."

Fahri teguk sedikit demi sedikit sampai bibirnya kembali memerah, matanya yang sedari tadi mengerut, perlahan kembali normal.

Fahri seperti orang ketakutan, baru kali ini Haisha melihat sisi lain Fahri yang berbeda lagi dari sebelumnya, entah trauma apa yang Fahri punya.

Apa itu berhubungan dengan kekurangannya? Atau masalah perselingkuhan Klareta? Kenapa bisa seburuk ini efeknya?

"Jangan bilang siapa-siapa!"

"Iya, Mas tidur ya."

Haisha tarik selimut tebal itu hingga ke batas dagu. Memastikan Fahri terlelap dengan tenang, baru ia kembali tidur di dekat ruang ganti lagi, dia tidak mau membuat Fahri marah sebenarnya, tapi pria itu yang menjebaknya untuk berbuat salah.

***

Tok ... Tok ...

"Fah, Icaaaa .... Bangun, sayang!"

Haisha sontak melompat bangun, Meri memegang kunci itu dan bisa bahaya kalau pintu terbuka mendadak, pemandangan Haisha tidak ada di ranjang tentu membuat badai di rumah ini.

Fahri masih mengerjap dan bergumam-gumam, menggosok mata sembari menjejak selimut yang melilit tubuhnya rapat semalaman.

"Maaaas," panggil Haisha lirih, ia cubit pipi Fahri, terpaksa agar cepat bangun.

"AP-"

Haisha bekap mulut Fahri, "Ada Ibu di depan."

Fahri tarik tangan Haisha sampai gadis itu terhempas dan berbaring satu ranjang juga dekat dengan tubuhnya, Fahri tutup tubuh Haisha dengan selimut dan satu tangan melingkar di sana.

"Ya, Maaa ... Bentar, Ica belum bangun!" balas Fahri.

Klek, klek.

Pintu kamar terbuka dan mata Meri sontak melebar, ia bertepuk tangan dengan jantung yang berdebar bangga.

Tidak tahukah Meri, di balik dekapan selimut itu ada gadis yang berkomat-kamit ingin berubah menjadi cicak, pertama kalinya sedekat ini dengan Fahri, tatanan usus di perut Haisha sontak bergoyang hebat seperti terkena gempa.

"Dia masih tidur ya? Gitu dong, peluk istrinya kalau tidur, dia jadi betah kan tidur deket kamu. Jangan kasar-kasar sama Ica, kasihan dia tidur di ruang tamu kemarin, kamu peluk lagi aja nggak apa, Fah."

Fahri manggut-manggut, nyawanya sendiri belum sepenuhnya kembali.

Dan jujur saja, ada yang berbeda saat dia memeluk Haisha meskipun terhalang selimut tebal itu.

Next chapter