webnovel

Hari Menjelang Pernikahan

Sejak Fahri mengalami kecelakaan dan Haisha menunggunya di sana, pria itu lebih cenderung pendiam dan selalu menghindari Haisha ketika mereka bertemu meskipun tengah membicarakan masalah pernikahan.

Saudara Haisha yang akan menjadi wali nanti juga sudah datang, Meri dan Hendra sengaja menyewa penginapan untuk keluarga jauh Haisha itu, semua demi kelancaran semua persiapan sebelum dan sesudah pernikahan.

"Maaf, Ica nggak pernah kontak sama Paman," ucap Haisha yang kebetulan berkunjung ke penginapan, dia mengantar seragam untuk acara lamaran sekaligus pernikahan itu.

"Nggak apa-apa, namanya juga udah pisah lama, yang penting kita sekarang bisa ketemu dan seterusnya bisa menjadi saudara dekat," balas Yanto.

Haisha merasa senang akhirnya keluarga jauh ayahnya itu bersedia untuk datang dan menjadi wali nikahnya, ia juga merasa senang karena sebentar lagi bisa menjadi sumber kekuatan Fahri.

Haisha berharap kehadirannya bisa menjadi pelengkap meskipun nanti banyak hal yang tidak ia ketahui dan masih banyak belajar, Fahri sepuluh tahun lebih tua darinya, itu berarti dia harus bisa menyeimbangkan diri dengan pola pikir Fahri.

Susah, Haisha tahu itu, apalagi dengan kondisi Fahri yang bisa ia katakan labil, berulang kali Haisha mencoba berbicara dengan Fahri, tapi pria itu hanya menjawabnya dengan bergumam, lalu pergi tanpa basa-basi apapun.

"Mas Gio ya?" Haisha memastikan ulang, terkejut ternyata Gio ikut ke penginapan.

"Hai, Ca. Nunggu lama ya?"

"Enggak, Mas Gio yang diminta Ibu bawa sendalnya itu?" balas Haisha, ia coba menebak saja.

Gio mengangguk, ia tunjuk mobil yang baru saja terparkir sejajar dengan mobil Meri itu, sontak mata Haisha terbelalak, di sana ada Fahri yang katanya hari ini tidak bisa ikut.

"Biasa aja kali, Ca, lihatnya ... Itu kan calon suami lo, kalian bakal nikah besok!" celoteh Gio.

"Eheheheh ... Sebenernya Ica mau tanya sesuatu," ucap Haisha lirih.

Gio angkat satu alisnya, sedikit mendekat agar lebih jelas mendengar ucapan Haisha.

"Apa Mas Fahri nggak cerita apa-apa ke Mas Gio?" Gio gelengkan kepalanya. "Dari pulang opname itu, Mas Fahri nggak mau ngomong sama Ica, dia menghindar terus, itu kenapa ya?"

Gio terkekeh, ingin ia usak kepala Haisha yang bertanya dengan raut polos itu, ada sisi khawatir di sana, hal yang menurut Gio menjadi nilai tambah bila Haisha berada di dekat Fahri nantinya, Fahri butuh gadis seperti Haisha yang tidak melulu tentang cinta dan cinta, semua yang ada pada diri Fahri masuk dalam perhatiannya.

"Kok Mas Gio malah ketawa sih, Ica ini tanya!" gerutu Haisha.

"Maaf, oke. Dia cuman malu aja sama lo, Ca."

"Malu kenapa?"

"Ya, malu karena lo akhirnya tahu kelemahannya dia. Cowok bucin yang hancur karena satu cewek, dia calon pengusaha, jelas hal kayak gini buat dia malu di deket lo, image-nya yang galak dan acuh itu jadi rusak," jelas Gio.

Haisha berkedip pelan, ia mencerna apa yang baru saja Gio katakan. Sosok Fahri yang selama ini ia kenal memang bertolak belakang dengan aksi gilanya waktu itu, bahkan Haisha tidak menyangka kalau pria seperti Fahri bisa lemah bila terlanjur jatuh cinta.

"Lo sabar aja ngadepin dia, gue yakin lama-lama dia bakal suka sama lo, Ca. Lo udah suka sama dia belum?" goda Gio.

"Mas Gio apaan coba, Ica aja masih nganggep Mas Fahri itu majikan kok," sanggah Haisha, tapi dia jujur dalam hal ini.

Sikap manis, sopan, penurutnya di depan Fahri semata-mata hanya karena perbuatan baik yang harus ia balas, orang tua Fahri adalah majikan kedua orang tuanya, secara otomatis Haisha sejak lama menganggap Fahri itu seperti majikan mudanya juga.

Dan kini, sebentar lagi dia akan menikah dengan sosok majikan atau tuan mudanya itu, Haisha menepuk pipinya kencang, rasanya sakit, itu artinya dia tidak sedang bermimpi.

"Ca, coba bajunya sini, tapi Fahri jangan lihat, biar kaget besok, ayok!" ajak Meri, ia tarik Haisha masuk ke kamar kosong penginapan itu.

Haisha melirik Fahri sejenak, pria itu juga menatapnya, tapi hanya beberapa detik kemudian berpaling dengan wajah acuh seperti biasa.

"Mas," panggil Haisha, sengaja ia lakukan, ia mencoba berani agar nanti setelah menikah tidak terlalu canggung dengan Fahri.

Fahri menoleh, ekspresi terkejut Meri membuat Fahri berdecak lirih, pasti wanita itu senang Haisha mau berpamitan dengan anaknya.

"Mas tunggu sebentar di sini ya sama keluarganya Paman, Ica ikut Ibu dulu," ujar Haisha yang semakin membuat Meri sumringah, wanita itu juga menunggu respon dari putranya.

"Hem," jawab Fahri singkat. "Iya," imbuh Fahri sebelum Meri mengomel di depan banyak orang.

"Ayo, Bu." Haisha gandeng Meri masuk ke kamar kosong itu, ia harus segera mencoba baju yang akan ia pakai selama prosesi lamaran sampai akad nikah, sedang resepsi sudah Haisha coba kemarin.

Tubuh kecilnya mulai berlenggang di sana, berulang kali Meri berdecak kagum dan ingin bersorak senang karena Haisha sangat pas dan cantik memakai baju pilihannya itu.

Kulit Haisha yang putih tampak semakin bersinar, Haisha terlihat lebih dewasa saat ini, hanya perlu menambahkan sedikit polesan di wajah dan manik-manik di lehernya, Haisha sempurna seperti bayangan Meri.

"Mau Ibu kasih tahu Fahri, dia pasti melongo lihat kamu pakai baju gini. Tapi, tahan ya ... Karena Ibu mau dia kagum lihat kamu di tempat sakral itu, buat dia nggak bisa ngelakuin apa-apa selain jatuh ke pelukan kamu, Ca!"

Haisha mengangguk, ia ulas senyum lebar seiring dengan wajah sumringah Meri, Haisha tidak mau menampakkan beban yang baru ia pikul itu, senyum Meri jauh lebih penting dan ini memang sudah tugasnya.

***

"Mas mau ngomong sama aku?" tanya Haisha, ia hampiri Fahri yang baru saja menyesap rokok di teras.

Gadis itu menggeser kursi agar bisa duduk berhadapan dengan Fahri, Haisha ingin melihat mata itu saat berbicara.

"Jangan berharap apapun ke gue!"

"Maksudnya?" kerutan bingung muncul di kening Haisha.

Fahri injak kasar sisa putung rokok yang baru ia sesap sebagian itu, ia balas tatapan Haisha dengan sorot mata tajamnya.

"Ica nggak ngerti maksud Mas apa, maaf." ulang Haisha bersuara lembut.

"Cinta, jangan berharap gue bakal suka dan cinta sama lo walaupun kita berdua udah nikah. Gue nyesel ikutin saran Gio sama Gilang waktu itu, yang ada gue nggak bisa balas sakit hati ke Klareta, justru cewek itu semakin leluasa nginjek gue. Tapi, ini udah terlanjur, kita bisa nikah setahun atau nggak sampe setahun, lo bisa minta pisah sama gue," jelas Fahri.

"Pisah?"

"Iya, cerai ... Lo ngerti cerai kan?" sahut Fahri. "Terserah lo anggep gue gimana, intinya buat gue pernikahan ini cuman formalitas biar Mama seneng," imbuhnya, Fahri tinggalkan Haisha duduk di teras itu sendirian.

Haisha remat jemarinya, dia juga tidak menjadikan perasaan hal utama dalam pernikahan ini, dia setuju juga karena ingin balas budi pada keluarga Fahri, tapi sedikit pun tidak ada fikiran seperti yang Fahri katakan.

Menikah, lalu berpisah, hubungan macam apa itu?

Next chapter