1 Berjuang Sendiri

Haisha mengangkat sepuluh jarinya tinggi, dia mulai menghitung jumlah pengeluaran dan apa saja yang belum bisa ia beli bulan lalu.

Gadis berwajah polos dengan gaya rambut selalu dikucir satu itu baru saja lulus SMA, seharusnya ia bisa meneruskan pendidikannya, tapi nasib belum memihaknya.

Diusia 18 tahun dan dengan pengalaman minim, Haisha nekat menjadi pegawai di sebuah mini market yang cukup jauh dari rumahnya.

Semua demi bertahan hidup dan biaya rumah sakit yang harus ia tanggung selama ibunya koma.

Kedua orang tuanya setengah tahun yang lalu mengalami kecelakaan hebat dan itu menyebabkan sang ayah meninggal dunia, sedang ibunya sampai detik ini belum sadarkan diri.

Dia tidak punya asuransi apa-apa, selama ini hidup mereka sangat sederhana dan jauh dari kerabat, kedua orang tuanya merantau ke kota dan sejak kecil Haisha jarang dekat dengan saudara-saudara ayahnya, sementara sang ibu adalah anak tunggal dan kedua kakek-neneknya sudah meninggal.

"Ngapain, Ca?"

Kayang, salah satu teman baik Haisha sejak sekolah, ada satu lagi Kiano, dia sibuk dengan kuliahnya.

"Lagi ngitung keperluan buat besok," jawab Haisha sembari mengulas senyum.

"Kurang ya?"

"Cukup sih buat biaya Ibu, tapi buat yang lain enggak ... Kamu ada kerjaan lagi nggak?"

Kayang terdiam sejenak, bekerja di mini market ini saja sangat menguras tenaganya, tidak bisa ia bayangkan kalau harus menambah jam kerja lagi, dia saja tidak sanggup, Haisha yang bertubuh kecil pasti lebih tidak sanggup.

"Sebenernya ada, tapi kamu kuat?"

"Apa, nggak apa, beneran!" Haisha tidak punya pilihan lain, tidak mungkin dia membiarkan rumahnya gelap dan perutnya kosong, sementara dia harus bekerja.

"Double shift di sini, kemaren ada info dari senior gitu, tapi cuman tiga bulan karena ada yang cuti lahiran, kalau kamu mau harus cepet-cepet, gitu." Kayang sebenarnya tidak tega, tapi dia sendiri tidak bisa membantu Haisha lebih, dia juga butuh uang untuk kuliahnya.

Haisha mengulas senyum lebar, dia ambil tawaran kerja yang Kayang bagikan, tidak masalah bila tubuhnya harus merasa lelah, yang terpenting dua keperluan itu bisa terpenuhi.

"Kamu yakin?" Kayang memastikan sekali lagi.

Haisha mengangguk, "Mulai hari ini kata senior, aku bisa mulai, jadi nanti kamu pulang dulu aja, aku pulang sampe tutup, doain ya," jawab Haisha sembari mengudarakan tangannya yang terkepal semangat.

Dia harus berjuang sendiri demi semua keperluan yang ada, tidak bisa ia pilih salah satu, bekerja dengan perut kosong itu tidak mungkin dan tinggal di rumah yang gelap gulita juga tidak mungkin.

Haisha buka bungkusan bekalnya, hanya ada nasi putih dan ikan asin, ada irisan bawang merah yang sangat ia sukai karena sedikit menabur rasa pedas.

Ia makan dengan lahapnya, itu makanan yang sudah sangat enak, dari dulu meskipun kedua orang tuanya bekerja dan mendapatkan gaji, dia tidak pernah jajan di luar, makanannya juga seadanya karena biaya sekolah dan lainnya yang lebih utama.

"Ica, aku pulang dulu ya, kamu ati-ati!" Kayang lambaikan tangannya.

"Iya, kamu juga ati-ati, salam buat Kiano ya kalau ketemu di kampus," balas Haisha setelah meneguk segelas air putihnya.

Kenyang dan dia siap untuk lanjut bekerja, nasibnya tidak seberuntung Kayang dan Kiano, tapi Haisha terima semuanya, terlebih lagi ia masih bersyukur Tuhan tidak mencabut nyawa sang ibu.

Haisha berharap ibunya segera sadar dan mereka bisa melanjutkan hidup yang bahagia.

Kalau saja biaya rumah sakit itu tidak ada, Haisha yakin bisa membelikan apa saja yang ibunya minta, termasuk membuat acara pengajian untuk ayahnya yang telah tiada.

"Yang kayak gini ada nggak?" suara seorang pria mengagetkannya.

Haisha sontak mengangkat wajah yang sedari tadi fokus memperbaiki print kasir, gadis itu tersenyum ramah seperti biasa, tapi ada tambahan di sana.

"Mas Fahri?"

"Kenal gue?" balas pria itu sembari mengangkat satu alisnya.

"Ini Ica, anaknya Pak Heru sama Bu Wati, yang dulu-"

"Iya-iya, gue inget, cariin buruan yang kayak gini!" potong Fahri cepat, dia berikan bungkus rokok pada Haisha.

Pria itu, Fahri Yudistira, putra tunggal mantan majikan kedua orang tua Haisha.

Fahri sepuluh tahun lebih tua dari Haisha, gaids itu sering melihat Fahri mendapatkan omelan bila ikut kedua orang tuanya bekerja.

"Ini, Mas." Haisha tunjukkan rokok yang Fahri cari.

"Bungkus buruan, berapa?" mengeluarkan kartu debitnya.

"Dua puluh delapan ribu," jawab Haisha, ia terima kartu debit Fahri dan mulai menggeseknya.

Fahri memiliki wajah yang tampan, bahkan di media sosial banyak sekali yang berkhayal menjadi pasangan hidupnya meskipun mereka tahu kalau Fahri sudah memiliki kekasih.

Tapi, jangan tanyakan masalah itu pada Haisha, ia tersenyum pada Fahri bukan karena wajah tampan pria itu, tapi karena Fahri adalah anak dari orang yang sangat berjasa dalam keluarganya, Haisha sangat menghormati itu.

"Makasi!"

"Sama-sama, senang melayani Anda." Haisha takupkan kedua tangannya.

Semua pekerja wanita di sana heboh, ada yang menyerbu Haisha dan mulai bertanya darimana Haisha kenal pria tampan itu.

Haisha hanya menjawab sekedarnya, dia tidak menganggap ocehan para senior itu penting.

Usia Haisha memang sudah 18 tahun dan gadis seusianya sudah pantas jatuh cinta.

Tapi, lain dengan Haisha, dia belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta jadi masalah kekasih pertama pun tidak akan bisa ia jawab.

Hidupnya selama ini hanya sekolah, membantu kedua orang tua dan berteman bersama Kayang juga Kiano, itu pun dalam waktu yang sangat terbatas, beruntung mereka mengerti kondisi Haisha, bahkan tidak jarang dulu orang tua temannya sering membawakan Haisha bekal.

Rasa cinta sangat asing bagi Haisha, ponsel pun baru ia miliki satu bulan yang lalu, itu pun ponsel lama Kiano yang sudah tidak dipakai lagi.

Setidaknya ponsel bisa itu bisa menjadi alat hubungnya dengan pihak rumah sakit, itu lebih penting dari gencaran media sosial di luar sana.

"Makanya ganti hape yang bagusan dikit napa, Ca, biar kamu update berita terbaru, dia itu jadi bulan-bulanan anak cewek seantero raya!" oceh salah satu seniornya.

"Iya, nanti Ica ganti hape, ehehehhehe." Haisha lanjutkan bekerja lagi, gaji double ini akan ia terima setiap hari sehingga kebutuhannya bisa segera terpenuhi dan tidak perlu sampai berhutang.

Ia tidak pernah mengeluh, semua ia tapaki dengan hati yang lapang walau berat dia akan terus berjuang, Haisha ingin ibunya segera membaik tanpa peduli tubuhnya kurus kering dan dia sendiri harus banting tulang.

Malam dan paket hawa dinginnya, Haisha rapatkan jaket tebal peninggalan sang ayah di tubuh kecil itu, mengayuh sepeda pasar milik ibunya pelan-pelan sampai rumah.

Jarak tempat kerjanya cukup jauh dari rumah, Haisha tahan rasa kantuk dan tubuhnya yang mulai menggigil di dera dingin, ia harus sampai rumah dengan selamat karena ada hari esok yang harus ia perjuangkan.

"Iya, Kayangku sayang... Ica baru aja sampe rumah, kamu nggak tidur cuman mau nungguin aku?" Haisha tersentuh dengan kepedulian temannya.

"Kamu ini.. Mana bisa aku tidur enak kalau kamu belum nyampe rumah, Kiano juga udah berisik minta kabar, dia bakal mampir ke toko besok, mau bawain kamu kue katanya!" jawab Kayang dengan suara serak, dia benar-benar tidak tega.

***

Hay kak, mohon maaf untuk cerita Haisha ada perubahan mulai awal karena satu hal..

Semoga bisa menghibur kakak semua,

terima kasih

hug and love

penulis

avataravatar
Next chapter