1 Utusan Malaikat

***

"Pergi dan belikan aku makanan ringan di toko depan."

Evan tidak bisa menolak, sebagai pekerja dengan posisi rendah, ia hanya bisa patuh dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya. Pemuda berusia 23 tahun itu sudah pernah mengadukan hal ini kepada manajernya. Namun, jawaban yang ia terima sama sekali di luar harapannya.

Dengan perasaan yang sama jengkelnya, ia berangkat dengan membawa dua buah lembar uang pecahan 10.000. Sempat berpikir untuk mengundurkan diri, tetapi ia kembali terpikir bagaimana ia akan menghasilkan uang jika menganggur, pasalnya ia memiliki adik perempuan yang harus disekolahkan.

"Apa pria brengsek itu menyuruhmu?" tanya kasir toko tersebut, Evan mengulas senyum seraya menerima plastik berisi makanan ringan yang mereka pesan.

Kasir itu memberikan kembalian dari uang yang dibelanjakan Evan, "Kau tidak sepatutnya terus mendengarkan mereka. Itu bukan tugasmu."

"Jika pun aku menolaknya, mereka akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini," balas Evan.

"Mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu untuk meringankan bebanmu, Evan?" tanya kasir tersebut.

Hubungan keduanya begitu dekat, tentu saja ini akibat dari suruhan rekan kerja Evan. Jika tidak, mungkin wanita itu akan bersikap cuek seperti halnya kepada pembeli lain. Rika tergolong wanita yang baik dan ramah, wajahnya tidak terlalu cantik tetapi cukup untuk menenangkan hati siapa pun yang memandangnya.

Sembari tersenyum, Evan berpamitan kepada Rika, "Kau tidak perlu membantuku. Aku bisa mengatasinya sendiri."

Rika mengantar Evan sampai ke depan tokonya, melambaikan tangan dengan hangat kepada Evan ketika punggung pria itu mulai menghilang dari pandangan Rika. Bekerja selama tiga tahun di toserba mendatangkan harapan baginya, terlihat ia sudah menemukan orang yang tepat untuk menanggung tanggung jawab yang besar.

Jam kerja selesai, Evan selalu pulang paling akhir, tentu setelah ia membersihkan semua ruangan dan meja kerja di sana. Arloji yang terpasang di tangannya menunjukan pukul tujuh malam, ia sudah terlambat untuk memasakan makan malam untuk adiknya.

Dengan membawa dua bungkus bakso yang ia beli di alun-alun kota, Evan mulai berjalan dengan hati riang. Setiap makan malam, adiknya selalu senang ketika Evan membawakan berbagai jenis makanan. Kebahagiaan adiknya adalah satu-satunya alasan kenapa Evan harus terus bekerja.

Melewati jalan yang sunyi, langkah Evan hanya ditemani dengan tiupan angin yang cukup kencang. Semakin lama, pemuda itu semakin menyadari jika jalan yang ia ambil tidak berujung, hal itu membuatnya kebingungan.

"Kurasa aku sudah melewati rumah ini sebelumnya," gumam Evan, melihat rumah tingkat dua dengan pagar kayu berwarna kuning.

"Kau sudah melewatinya sebanyak tiga kali."

Evan tersentak kaget, ia berbalik dan melihat seseorang yang menjawab perkataannya barusan. Ketika Evan hendak melihatnya, seketika juga cahaya terang bersinar menyilaukan pandangan pemuda tersebut.

"Siapa kau?" tanya Evan, menutup kedua matanya yang perih.

"Aku sudah mengawasimu sejak lama, Evan."

Wanita itu terbang dengan dibantu dua buah sayap berwarna putih dengan bulu yang begitu halus. Ia terangkat cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari rumah tingkat dua yang sudah Evan lewati tiga kali.

"Mengawasi? Apa kau adalah Tuhan? Apa aku sudah mati?!" tanya Evan, terkejut.

"Haha! Aku orang yang mengabdi padanya," balas wanita tersebut.

"Astaga! Aku benar-benar sudah mati."

Wanita tersebut menjulurkan kedua tangannya, mengayunkannya sehingga membentuk lingkaran. Tampak dengan jelas lautan padang rumput terhampar di balik lingkaran dimensi yang tercipta olehnya.

"Kau kutugaskan untuk memimpin manusia melawan para infidel itu," jelas wanita tersebut.

Seketika angin kencang mulai menarik barang-barang yang berada di jalan kecil tersebut, termasuk Evan dan makanannya. Sebelum Evan menghilang dari dunia ini, wanita berpenampilan layaknya malaikat memberinya petuah untuk memulai hidupnya yang baru.

"Temui Pendeta Agung Altair dan beritahu padanya kalau aku, Jophiel, mengirimu sebagai utusanku."

"Aku harus menyiapkan makan malam untuk adikku!" ucap Evan lantang, mencoba bertahan dari tarikan angin yang menyeretnya perlahan demi perlahan.

Akan tetapi, kekuatan kaki-kakinya mulai melemah. Evan tersedot ke dalam dimensi baru di balik lingkaran tersebut. Ketika membuka kedua matanya, ia sepenuhnya berada di dunia yang berbeda.

Udara yang begitu bersih, hamparan padang rumput yang begitu luas dan barisan pegunungan yang terselimuti salju. Ia sungguh berada di dunia paralel seperti dalam film-film.

"Apa? Di mana aku?" tanya Evan, bingung.

Ia segera bangkit dan memerhatikan sekelilingnya, tampak tidak ada siapa pun yang berada di sana selain Evan. Ia semakin bingung dan takut tatkala melihat barisan naga terbang yang melintas tepat di atas kepalanya, rombongan tersebut mengingatkan dirinya terhadap parade pesawat jet yang diadakan negaranya.

"Naga? Tunggu! Apa yang naga lakukan di sini?"

"Apa aku sedang bermimpi?!"

Evan terus bergumam tak jelas dan kebetulan ucapannya terdengar oleh seorang wanita yang tengah berjalan, memanggul bakul berisi buah-buahan di tangan kanannya. Ia memandangi Evan dengan tatapan aneh, pakaian yang dikenakan pemuda itu tampak asing baginya.

"Kau tidak sedang bermimpi," ucap wanita, ramah.

"Bagaimana kau bisa berbicara bahasaku?" tanya Evan, seraya membalikan badan.

"Bahasamu? Kau sedang berbicara bahasa Liel, Tuan," balas wanita tersebut.

"Bahasa Liel?"

Tiba-tiba tangan Evan merasakan panas yang begitu kuat, rasa panas yang membuat Evan berteriak kesakitan seraya menggenggam pergelangan tangan kanannya. Wanita itu langsung meletakan bakul miliknya dan pergi membantu Evan.

Rasa sakit yang tak tertahankan membuat Evan tak sadarkan diri. Ia jatuh di pangkuan wanita asing di sampingnya. Tak buang waktu lama, wanita itu langsung membawa Evan dengan menggendongnya hingga ke rumah.

"Tanda itu, tidak mungkin."

***

Wanita itu terus merawat Evan dengan baik, meskipun pemuda itu masih belum bisa makan. Pandangannya terfokus kepada lambang berwarna putih yang tercetak di atas punggung tangan Evan, lambang yang begitu legendaris dan konon katanya anugerah dari malaikat agung.

"Tidak mungkin dia dianugerahi kekuatan dari Malaikat Jophiel," balas seorang pria paruh baya yang tak lain Ayah wanita tersebut.

"Aku yakin, ini bukanlah luka atau pun garis biasa. Ini adalah lambang Jophiel," jelas wanita itu, keras kepala.

Mendengar keributan mereka membuat Evan terbangun dari tidurnya. Pemuda itu melihat dengan seksama kedua orang yang tengah duduk di sampingnya. Wanita yang menolong Evan tersenyum bahagia tatkala melihat pemuda tersebut bangkit dan bertanya hal sederhana padanya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Evan, bingung.

"Tangan kananmu, apa kau mengetahui sesuatu tentang Jophiel?" tanya wanita tersebut sembari menunjuk punggung tangan kanan Evan.

"Jophiel? Aku tidak—"

Ucapannya terhenti tatkala melihat lambang aneh muncul di punggung tangan Evan, lambang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya yang membuat kedua orang di sampingnya beradu argumen selama lima belas menit.

"Tunggu, apa ini?" tanya Evan, kaget.

"Benar, kan? Sudah kubilang juga apa, dia sama sekali tidak mendapat anugerah dari Malaikat Jophiel," balas Ayah wanita tersebut.

"Anugerah? Malaikat Jophiel? Apa sebenarnya yang kalian berdua bicarakan?" tanya Evan.

Keduanya kembali saling pandang, mengernyitkan dahinya tanda kalau mereka sama herannya dengan sikap Evan. Menurut mereka, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak mengetahui siapa malaikat agung dan anugerahnya.

"Ada yang tidak beres dengan kepala anak ini," keluh Ayah wanita tersebut sembari berjalan meninggalkan Evan dan anaknya berdua di kamar tersebut.

Evan terus memerhatikan arah pergi dari Ayah wanita di sampingnya, seketika itu juga teman barunya tersebut mulai menuangkan teh hangat untuk menyegarkan tubuh Evan.

"Akan kujelaskan semuanya dengan detail."

avataravatar
Next chapter