webnovel

Quarter 1-04: One on One

Vander memantulkan bola oranye yang berada di tangannya. Di depannya, Derby sudah berada di posisi bertahan dan siap kapan saja merebut bola di tangan Vander. Derby memperhatikan pergerakan Vander, mencari cela agar dia bisa merebut bola oranye di tangan Vander secepatnya.

“Der, lu jangan serius-serius kenapa? Ini cuma pengambilan nilai bukan pertandingan resmi,” kata Vander sambil mendribel bola ke area Derby.

“Gue yang seharusnya bilang begitu, Bego!” geram Derby. Poin mereka memang tidak berbeda jauh, 5-6, untuk sekarang posisi Vander lebih unggul dibandingkan Derby. Vander terkekeh mendengar geraman Derby.

“Gue santai kali mainnya,” kata Vander tenang, karena memang begitulah adanya.

Jika dilihat dari segi kemampuan, Vander dan Derby, keduanya berimbang, mereka memiliki keunggulan di posisi masing-masing. Derby yang unggul di bagian dribel dan passing, dan biasanya yang mengatur permainan. Jika dalam pertandingan biasanya dia memegang posisi point guard (PG). Sementara Vander, dia lebih unggul di bagian pencetak angka, terutama di area three point. Dalam pertandingan biasanya Vander menduduki posisi small forward (SF) atau posisi shooting guard (SG). Keduanya juga sering melakukan serangan kombinasi jika dalam pertandingan sesungguhnya.

Vander menoleh ke arah penonton, dia mencari Sandra dan Viole, namun kedua cewek itu tidak ada di sana. “Lama banget mereka? Ini keburu selesai mainnya,” gumam Vander.

“Konsentrasi, Van!” tegur Derby. Dia berniat merebut bola yang ada di tangan Vander karena Vander sedikit lengah, dengan membiarkan dirinya menoleh ke arah penonton. Namun, gerakan pivot yang dilakukan Vander dengan cepat, menanggalkan kesempatan yang dimiliki Derby. Vander menembakkan bola oranye yang dia pegang ke arah ring. Meskipun jaraknya cukup jauh, tapi bukan masalah bagi Vander karena dia yakin tembakan tiga poinnya itu akan masuk dengan sempurna ke ring.

Derby mendengus kesal saat dia kecolongan. Derby mendribel bola oranye ke arah Vander lalu melemparkan kepada temannya itu. Vander memegang bola lagi, dia membungkukkan badannya sedikit lebih rendah. Dengan gerakan yang cepat, Vander melakukan crossover melewati Derby. Namun, Vander melupakan satu hal yang menjadi keunggulan dari Derby, dia kecolongan bola. Derby berhasil mencuri bola dari tangan Vander saat melakukan crossover. Vander mengumpat pelan, segera dia menghadang Derby dan memasang posisi bertahan.

Derby tersenyum miring ke arah Vander. Dia melakukan push terus-menerus sambil tetap memperhatikan jaraknya dengan Vander, menghalangi Vander untuk dapat mengambil bola dari tangannya. Pada saat Derby berada di garis tiga poin, Derby melakukan fake, dia melemparkan bola ke arah kanan tubuh Vander dengan posisi rendah sebelum akhirnya dia menangkap bola dan melangkah satu langkah ke belakang lalu mengambil posisi untuk menembak bola ke dalam ring. Vander tidak terlalu menekan Derby saat menembakkan bola dari sana. Jadilah, bola itu masuk ke dalam ring.

“Nggak cuma lu aja yang bisa cetak angka dari garis tiga poin,” kata Derby. Vander tertawa mendengar perkataan Derby. Jika dibandingkan dengan Vander yang bisa menembakkan bola dari setengah lapangan, Derby memang tidak ada apa-apanya. Tapi dia cukup bisa melakukan tembakan tiga poin dengan akurat.

“Udah lah, cukup main-mainnya. Gue udah capek, Der.” Vander yang sudah berdiri di garis tengah lapangan menembakkan bola ke ring dengan sempurna. Sorak-sorai dari para cewek pendukung Vander menggema. Skor sekarang, 8-6 kemenangan berada di tangan Vander.

Viole dan Sandra baru saja tiba di lapangan saat suara gemuruh pendukung Vander menggema di lapangan indoor. Mereka bergabung dengan kerumunan penonton. “Gimana?” tanya Viole pada salah satu cewek yang duduk di sebelahnya.

“Vander dapat delapan bola,” katanya, “Derby dapat enam bola.” Viole dan Sandra yang mendengar perkataan temannya mengangguk mengerti.

“Si Derby itu, dia beneran jago, main basketnya?” tanya Sandra pada sepupunya.

Viole diam sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. “Kalau dibandingin sama lu, masih belum ada apa-apanya sih,” kata Viole sambil tersenyum lebar. Sandra mendengus mendengar jawaban sang sepupu.

Sandra memperhatikan pergerakan Vander dan Derby. Sesekali dia mengeluarkan komentar entah itu untuk Vander atau untuk Derby. “Gerakan dia terlalu mudah ditebak, seharusnya dia langsung ambil jarak dari Vander terus shooting dari sana.” Seperti itulah contoh komentar yang dikeluarkan oleh Sandra.

“Dia nggak ada apa-apanya kalau dibanding sama Vander, masih jago Vander.” Lagi, Sandra mengeluarkan komentarnya untuk Derby. Sejak tadi, Sandra lebih banyak mengeluarkan komentarnya untuk Derby, yang katanya menjabat sebagai Ketua sekaligus Kapten tim basket putra sekolahnya.

“Le, si Derby itu posisinya PG, ya?” tanya Sandra.

Viole yang merasa ditanyai oleh Sandra mengangguk. “Pantes aja, dari tadi dia kelihatan lebih pasif daripada Vander.” Dari pengamatan yang dilakukan Sandra, Derby memang lebih cenderung bergerak lamban, berbeda dengan Vander yang lebih bergerak dengan cepat dan agresif. Padahal di one on one, pemegang bola harus bisa bertindak explosive, agar bisa cepat mencetak angka.

Sandra menghela napas melihat ke arah lapangan, dia sudah bisa menebang siapa yang akan lebih dulu mencetak sepuluh poin, dan tentunya Vander lah orang itu. “Selagi Derby masih main kayak gitu terus dipertandingan one on one, dia bakal kalah dari Vander,” komentar Sandra, entah sudah yang ke berapa kali dia mengomentari Derby.

Suara peluit yang ditiup pak Andrean menandakan permainan sudah selesai. Vander dan Derby menghela napas mereka. Vander berjalan ke arah Sandra dan Viole dengan senyum lebar menghiasi wajah, seperti yang dikatakan Sandra tadi Vanderlah yang akan keluar sebagai pemenang.

“Lu lihat gue main kan, Baby?” tanya Vander pada Sandra yang dijawab dengan anggukan.

Senyuman Vander makin melebar, “Gimana?” tanya Vander lagi.

“Lumayan, nggak jelek-jelek amat sih, tapi ...” Sandra menjeda kalimatnya, tatapan yang diberikan Sandra berubah tajam. “Kenapa permainan lu tambah buruk, huh? Lu nggak latihan seperti yang gue saranin? Baru sebulan lalu, gue lihat permainan lu dan sekarang makin menurun!” cerca Sandra.

Vander meringis mendengar cercaan sepupunya. “Sori, bukannya gitu Baby, tapi—“

“Mau alasan apa, heum?” Sandra bersedekap sambil menatap tajam ke arah Vander.

Vander menunduk dan menangkupkan kedua bibirnya tak jadi mengeluarkan alasan, karena dia tahu kalau sudah begini alasan apapun yang dia keluarkan hanya berakhir sia-sia. Derby yang melihat Sandra memarahi Vander hanya mengerutkan keningnya. Lalu dia beralih menatap Viole yang cekikikan melihat kembarannya diam tak berkutik, terlihat senang sekali melihat Vander dimarahi oleh Sandra.

“Lu kenapa marah-marah sih? Lu nggak tahu kan kesibukan Vander di sini, dia juga sibuk latihan buat persiapan pertandingan.” Derby mengeluarkan suaranya membela Vander, sahabatnya. Vander menoleh ke arah Derby dengan ringisan pelan. Derby tentunya tak mengerti dengan maksud ringisan itu.

Sandra menatap Derby dengan pandangan tak suka. “Latihan buat pertandingan?” tanya Sandra sambil berdecak.

“Kalau memang dia latihan, performa dia bakal lebih bagus, nggak sebaliknya. Ngerti lu?” Sandra menatap nyalang ke arah Derby.

“Lu—“

“Baby, sori deh, gue bakal lakuin saran lu,” potong Vander agar pertengkaran antara Derby dan Sandra cepat terselesaikan.

Sandra mengalihkan pandangannya dari Derby ke arah Vander. “Lu, tiap pulang sekolah, harus ke rumah gue,” kata Sandra. Vander mengangguk.

“Eh, lu nggak bisa ngatur Vander seenaknya gitu dong, dia juga ada latihan buat persiapan pertandingan,” kata Derby tak terima.

Viole menghela napas melihat perdebatan Sandra dan Derby yang sepertinya tidak akan berakhir dengan cepat. Kemana juga pak Andrean, nggak tahu apa, ada perang dunia ketiga di sini?

“Gini aja deh, kalau nggak ada jadwal latihan di sekolah, Vander ke rumah Sandra aja, atau pulang latihan di sekolah Vander juga bisa langsung ke rumah lu, San. Kan rumah kita sebelahan, jadi gampang, kan?” kata Viole menengahi.

Vander menatap saudara kembarnya dengan tatapan tajam. Viole hanya tersenyum membalas tatapan Vander. “Ya udah lah, toh gue juga bisa ke sana rumah kalau Vander nggak setor tampang ke gue,” kata Sandra sambil tersenyum.

Vander yang melihat senyuman di wajah Sandra bergidik ngeri. Mampus gue, selamat tinggal hidup gue yang nyaman.

Derby tak terlalu ambil pusing selagi Vander masih bisa ikut latihan untuk persiapan pertandingan yang akan dilakukan beberapa minggu lagi karena Vander salah satu pilar di timnya.

Suara peluit panjang di tiup beberapa kali oleh pak Andrean membuat semua siswa-siswi berbondong mendekati summber suara. Pak Andrean berdiri di tengah lapangan sementara di depannya sudah berbaris dengan rapi siswa-siswi di kelas Sandra.

“Bapak minta maaf, untuk pelajaran kali ini sepertinya cukup sampai di sini,” kata pak Andrean yang menimbulkan banyak tanya dari murid-muridnya.

“Saya mendapat panggilan dari bapak Kepala sekolah, jadi saya harus menemui beliau sekarang.” Sandra mengacungkan tangannya berniat bertanya.

“Pengambilan nilai saya dan Viole bagaimana, Pak?” tanya Sandra setelah mendapat izin untuk bertanya.

“Kalian bisa menemui saya nanti sepulang sekolah, di sini. Kalian bisa kembali ke kelas.” Jawaban dari pak Andrean sekaligus menutup pembelajaran hari ini. Semua siswa kemabi ke kelas sesuai yang diperintahkan pak Andrean.

“Sayang banget gue nggak bisa lihat lu hancurin Viole, Baby.” Setelah mengatakan hal itu, Vander tersenyum miring ke arah Viole.

***