webnovel

BARBIE GIRL - My Girlfriend Is a Doll

Air mataku terus mengalir tiada henti, tak sanggup lagi bagi diriku untuk kembali berlari, karena adanya goresan luka pada lutut sebelah kiri. Setelah aku menyadari bahwa diriku tersandung batu, kini aku mencoba untuk bangkit dan mulai berjalan dengan sisa tenaga yang masih kumiliki. Desahan nafasku kian terdengar mengusik indra pendengaranku, membuat sesak dadaku, hingga membuat tubuh merasa letih untuk terus melanjutkan perjalanan panjangku. Rasa lelah itu kian menghantui di setiap langkahku, hingga membuat diriku kembali dan terjatuh. Kini aku hanya dapat duduk bersimpuh, meratapi hilangnya semua impianku.

AKINA_SENSEI · Teen
Not enough ratings
20 Chs

CHAPTER 6 - Lara Hatiku, Menusuk Jantungku

Semuanya telah tiada, terkubur bersama kenangan indah bersamanya. Meski pun itu sakit kurasa, namun kutahu bahwa ia adalah lelaki yang kucinta. Selamat jalan, Kyosuke.

Ketika aku membuka sepasang mata, langit-langit menyambut. Selimut—bercorak rumit dengan dominasi warna—biru tampak terlihat acak-acakan, bahkan hingga tergeser hampir jatuh. Pandanganku masih samar, dan kepalaku sedikit terasa pusing. Tubuhku masih terasa dingin, mungkin karena efek setelah terguyur hujan tadi malam.

Setelah menghela nafas, aku pun berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ranjang. Cukup beberapa langkah bagiku untuk sampai ke jendela berlapis kaca.

Sebelah tanganku menyingkap tirai berwarnakan kelabu, membiarkan sinar mentari menerpah wajahku, memberikan sentuhan hangat pada tubuhku.

Berada dibalik jendela berlapis kaca, terlihatlah beberapa orang yang nampak menjalankan aktifitasnya. Mereka berlalu-lalang di bahu jalan, dan diriku hanya mampu untuk menatapnya dari kejauhan.

Sebagian besar di antara mereka adalah gadis remaja yang masih mengenakan seragam sekolah, dengan rangsel yang menempel pada punggungnya.

Aku melamun, dan pikiranku menerawang ke dalam masa lalu yang silam. Jika di pikir-pikir, sudah dua hari diriku berada di dalam kamar tanpa melakukan banyak kegiatan. Ada suatu hal yang tengah aku ingat—entah mengapa ingatan itu tiba-tiba muncul beberapa hari ini.

-Flashback-

Seorang lelaki dengan rambut hitam terbaring lemas di atas ranjang. Tubuhnya terlihat lemah dengan bibir yang terlihat putih memucat. "Kau tahu apa yang membedakanmu dengan orang lain?" Suara itu lelaki itu terdengar lemah.

Jemari tangannya terlihat kurus, sudah seminggu lelaki itu terbaring lemah di atas ranjang dengan selimut tipis bercorak kelabu yang menutupi tubuhnya.

Aku terdiam, lalu menunduk. Lelaki itu memaksa senyum sembari mengangkat tangan dinginnya pada daguku, hingga tatapan mata kami kembali bertemu. "Banyak orang yang mengatakan bahwa fisik itu tidaklah penting, tapi apa yang ada di dalam hatimulah yang terpenting."

"Kakak telah mengajarkan segala hal kepadaku, membuatku mengerti tentang adanya belas kasih untuk saling menyayangi, dan bukan menunjukan kesombongan yang tiada arti."

Lelaki itu tersenyum padaku. Sebelah tangannya mencengkram erat dada kirinya, menahan rasa sakit yang kian memberontak dalam tubuhnya. Meski demikian, dirinya sama sekali tidak menunjukan reaksi kesakitan saat kami saling bertatapan.

"Chelsea, suatu saat nanti kau akan mengerti akan pahitnya kehidupan ini. Namun," seketika ia mengeryit, meremas dada kiri dengan kuat, "Arrgk!"

Aku terbelalak. "Kakak!"

Kyosuke memaksa senyum, melepaskan cengkraman jemari pada dada kirinya.

"Chelsea, dalam sebuah pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Namun, perpisahan yang sangat indah adalah ketika kita bergenggaman tangan, dan berjanji bahwa kita akan selalu berdua selamanya," ujarnya kepadaku.

"Apa yang sudah Kakak bicarakan, tentu saja aku akan selalu ada di sampingmu karena aku menyayangimu."

"Jika... Jarak kita semakin jauh dan waktu memisahkan kita. Aku berjanji bahwa namamu akan tetap kukenang dalam sanubariku," lirihnya kepadaku.

Ucapannya seakan menusuk jauh kedalam lubuk hatiku yang telah lama membeku. Ucapan itu bukanlah drama mega Korea, bukan juga sinetron Indonesia. Melainkan, sebuah ungkapan perasaan hati seorang Kakak yang tak rela meninggalkan Adiknya.

"Bila nafasku terlepas maka genggamlah erat tanganku. Adikku, apapun yang terjadi, tetaplah hidup untukku dan jangan pernah kau lupakan aku." Ucapnya seakan terdengar lirih olehku.

Antara suka, luka dan duka kian menjadi satu dalam lubuk hati yang telah membeku, membongkar takbir mimpi di masa lalu, hanya untuk menambah lara hatiku.

Tanganku mulai gemetar. "Kakak, aku mohon jangan tinggalkan aku. Kakak, aku sayang Kakak..."

Seketika itu aku menggelengkan kepala. Diriku menggigit bibir bagian bawah, seraya menggengam rapat telapak tangannya. Aku tak kuasa untuk tetap menahan lajunya air mata yang terus bercucuran membasahi pipiku.

Mulutnya sedikit terbuka, tapi seakan tiada tenaga bagi dirinya untuk mengeluarkan suara. Kyosuke berusaha dengan sisa kekuatan yang di milikinya, guna merabah pipi yang telah di banjiri oleh air mata.

"Chelsea, kapan pun kau membutuhkanku, aku akan selalu ada untukmu. Menunggumu dari kejauhan,  menunggumu kembali menjadi seperti dulu! Menjadi sepasang Kakak Adik yang saling memahami. Seperti rembulan dan bintang yang tak pernah terpisahkan."

Aku menyentuh telapak tangannya, merasakan sentuhan hangat meski itu untuk yang terakhir kalinya. "Kau telah membohongi kami dengan topeng kepalsuan. Mengapa kaulakukan itu, mengapa... Kau adalah orang yang selalu mengajariku akan adanya arti dari sebuah kejujuran. Namun kenapa... Kenapa kau harus menyembunyikan penyakitmu pada kami, Kak. Kenapa... Hiks!"

"Karena tugas seorang Kakak adalah untuk menjaga Adiknya," lelaki itu mulai terisak saat pandangan kedua insan saling bertemu dalam jarak yang begitu dekat, "Dan karena adanya ikatan cinta dalam keluarga, yang selalu membuatku bahagia tanpa peduli akan rasa sakit yang ada."

"Kyosuke! Kau jahat! Kau telah membohongi kami semua. Kau sudah membohongi Ayah," timpahku.

"Semua itu kulakukan karema aku tulus menyayangimu, tetapi jika memang sudah waktunya, maka aku pasti akan pergi pada saatnya. Selamat tinggal, Adik—ku."

Perlahan ia menutup matanya. Dan pada saat itulah ia yang mulai menghembuskan nafas terakhirnya.

Bertahun-tahun ia menyembunyikan penyakitnya dariku. Dan selama itulah ia selalu tersenyum dan merasa bahwa dirinya baik-baik saja di depan mata Ayahku. Kyosuke, mengapa kau tinggalkan kami. Seandainya penyakit jantung itu tidak merenggut nyawamu, mungkin kita masih bisa menjalani hidup bersama, dalam keluarga kecil tanpa adanya seorang Ibu di rumah kita.

-Flashback-

Pandangan mataku kian melesik kesepenjuruh ruangan, dan mendapati adanya sekumpulan buku tebal yang tertata rapi di atas meja kamar. Diriku membalikan tubuh dan mulai beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Hanya beberapa langkah dan kini aku telah berada di depan pintu utama.

Pada akhirnya waktu hanya akan memberikan dua jawaban, antara kebahagiaan dan kesedihan. Dan itulah arti sebenarnya dari sebuah kehidupan.

Aku berjalan dengan kekosongan disetiap sudut mata memandang, melalui jalanan Aiwa yang penuh hiruk pikuk kendaraan. Aku berjalan seorang diri dengan menundukan kepala, menyembunyikan wajah dengan tudung jaket kelabu saat angin dingin berhembus kencang.

Aku berjalan ditengah keputus asaan, menendangi kerikil kecil dengan sepatu yang tengah aku kenakan. Namum, siapa yang peduli dengan apa yang telah kurasakan. Semuanya telah tiada, karena Tuhan telah merenggut kebagiaan yang sekian lamanya kunantikan. Dan untuk apa aku di reinkarnasikan bila ingatan itu terasa amat menyakitkan.

Kemana aku pergi, tidak akan ada yang mengerti. Dan apa tujuan dari hidupku ini, aku pun tak pernah peduli. Yang kutahu hanyalah melangkah maju, menikmati kesendirian di akhir hidupku. Maafkan aku, Yoshihiro Akina.

Rindu ini telah menahanku pada kesunyian yang dingin dan kekal, seperti jarum jam yang berdetak di dasar malam yang tak berbintang, yang memberontak pada kesunyian malam yang mencekam. Kerinduan kepada seorang kekasih yang membakar warna-warni bunga di musim semi, yang diakusisi dari angin kemarau pada hujan. Seperti ketabahan dan keraguan yang mengusik sepertiga nyawa yang fanna, mengajakku bercakap kepada sepotong jantung yang hidup dalam raga.