webnovel

Tiga Gadis

Saat kami sedang berlatih, tiga orang gadis menghampiri kami. Mereka menghentikan sesi latihan saat ini karena ingin meminta bantuan yang sangat mendesak.

Salah seorang dari mereka adalah anggota Pencak Silat yang kuikuti. Sesama anggota perguruan, dia ingin meminta pelatihku, dan kami untuk membantunya menyelamatkan teman-temannya yang kini berada di gudang tua milik Blackstone.

Sial! Kenapa harus gudang itu? Dari apa yang kuingat, gudang itu adalah tempat mereka menyimpan narkoba dari kami.

"Ini sesuatu yang sangat serius, kamu tentu tahu kalau mereka bukan seseorang yang bisa dihadapi dengan sembarangan, kan?!" seru Mas Handy—Pelatih kami.

Gadis yang sebelumnya memperkenalkan diri bernama Naya itu menghela napas panjang sebelum mulai mengutarakan maksudnya dengan lebih detail.

"Kami adalah anak SMA yang membentuk sebuah kemlompok untuk memberantas Blackstone karena mereka telah begitu banyak melukai keluarga kami. Salah satunya pembunuhan yang terjadi beberapa tahun yang lalu pada kakak dari teman kami. Ketua mereka selalu menyimpan berkas kejahatan yang telah mereka lakukan, salah satunya pembunuhan tersebut. Jadi, kami menyusun sebuah rencana untuk masuk ke gudang di mana berkas-berkas itu berada. Tapi sepertinya kami terlalu gegabah. Seperti yang Mas bilang, mereka itu bukan lawan yang mudah untuk ditaklukan. Oleh karena itu, saya meminta bantuan Mas untuk menemani saya dan membantu jika saja ada hal buruk yang terjadi kepada mereka." Naya menatap Mas Handy penuh harap.

Mas Handy langsung terdiam, dan menatap gadis itu iba.

"Mas, ini masalahnya sangat mendesak. Teman-teman saya bisa terluka di sana." Seru Naya panik.

Mas Handy menggelengkan kepalanya pelan.

"Maaf, Mbak.Bukan saya tidak mau membantu, hanya saja ini sudah menjadi perintah dari pengurus perguruan, agar para anggota tidak melibatkan diri dengan Blackstone dengan gegabah." Mas Handy menjelaskan.

Ketiga gadis itu terlihat sedih dan panik. Mereka terlihat sangat putus asa.

Sungguh, aku jadi tidak tega melihat gadis itu.

"Mas, kalau kita melepas seragam kita, dan membantu mereka bukan sebagai anggota perguruan, dan hanya sebagai teman, bagaimana?" usulku.

Bukan hanya Mas Handy, akan tetapi Bagus juga tampak terkejut mendengar ucapanku barusan. Aku tahu, sekejam-kejamnya aku, aku tidak pernah tega melihat perempuan berseih, dan bahkan ketakutan seperti ini. Mungkin ini feel dari kehilangan ibuku.

Well, aku juga harus masuk ke gudang itu untuk melihat apakah barang kami itu aman.

"Nah, kalau gitu gimana?" Tanya salah seorang dari mereka yang tak kutahu namanya.

Mas Handy berpikir sejenak, namun kemudian ia setuju dengan usul yang kuberikan.

Setelahnya kami semua bergegas menuju gudang yang Naya maksud. Padahal tempat ini sudah sangat tersembunyi, bagaimana bisa anak SMA seperti Naya dan teman-temannya bisa mengetahui lokasi gudang ini. Sial! Blackstone payah!

"Ini udah larut malam, gue takut kita udah telat, dan sesuatu yang buruk bisa terjadi sama mereka," seru salah satu gadis itu dengan panic. Terlihat sangat jelas dari wajahnya jika ia snagat khawatir.

"Ca, tenang! Nggak ada hal buruk yang akan terjadi! Mereka nggak selemah itu!" seru Naya sambil menepuk pelan lengan gadis itu.

Disaat Naya dan gadis itu mengobrol, perhatianku malah tertuju pada gadis lainnya yang hanya terdiam sedari tadi. Gadis berwajah oriental yang sangat mempesona. Cantik, dan terlihat anggun.

"Hei," panggilku pelan pada gadis itu.

"Ya?" sahut gadis itu bingung.

"Berapa umur lo?" tanyaku tanpa berpikir.

Gadis itu terdiam. Mungkin ia bingung mendengar pertanyaanku. Seharusnya aku menanyakan siapa namanya, bukan umurnya. Bodohnya aku.

"Delapan belas!" sahutnya pelan.

Okay, mereka seumuran denganku dan Bagus.

"Oh, okey!" sahutku.

Setelahnya gadis itu hanya terdiam dan terus berjalan. Dia terlihat pendiam dan sedikit aneh.

Kami terus berjalan, karena tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menuju gudang tersebut.

"Lo kenapa Bams?" bisik Bagus.

"Gue? Kenapa emangnya?" tanyaku bingung.

"Lo nanyain umur cewek tiba-tiba tuh buat apa?!" balasnya.

Ah sial, Bagus mendengar obrolan kami.

"Jangan sampai gue potong kuping lo karena banyak nguping pembicaraan orang ya!" aku melayangkan tatapan mautku pada Bagus.

"Gue nggak bermaksud nguping, masalahnya lo kalo ngomong cukup kenceng sampai gue bisa dengar, kampret!" sahut Bagus kesal.

Ah, ya! Dia benar juga.

Kami pun akhirnya sampai di dekat markas Blackstone tersebut. Terdengar suara keributan yang cukup keras dari dalam sana. Sepertinya keadaan sedang tidak baik. Rencana mereka pasti tidak berjalan sesuai dengan rencana mereka.

Kami pun memasuki markas tersebut. Sejujurnya aku cukup terkejut melihat kondisi markas tersebut.

Saat Naya mengatakan mereka membentuk sebuah kelompok untuk melawan Blackstone, kupikir hanya sejumlah orang dari sekolahan yang sama dengannya. Siapa sangka kelompok Naya itu cukup banyak, bahkan mungkin lebih banyak dari anggota Blackstone yang ada di sini.

Keadaan sepertinya cukup imbang, karena banyak dari anggota Blackstone, dan juga kelompok Naya yang terluka.

Ketiga gadis, dan juga anggota perguruan yang ikut, langsung berlari masuk untuk membantu melawan Blackstone, sementara aku langsung membalikkan badan untuk meminta saran dari Bagus.

"Tenang Bos, gue udah hubungin salah satu anak buah kepercayaannya Sayuti. Mereka akan tiba sebentar lagi." Seru Bagus sambil tersenyum lebar.

"Gue nggak nyangka Blackstone bisa kecolongan seperti ini." Gerutuku kesal.

"Ya, mereka payah. Meskipun kelompok Naya itu hanya mencari berkas pembunuhan itu, kalau mereka mengetahui ada narkoba di sini, akan cukup berbahaya untuk kita. Kita bisa rugi besar, Bos!" Bagus menghela napas berat, lalu melirik ke arahku.

Aku pun berjalan cepat menghampiri si gadis pendiam yang kutahu berumur delapan belas tahun tersebut. Dia terlihat cukup kualahan melawan beberapa anggota Blackstone tersebut.

Brengsek, bagaimana bisa para pria itu mengeroyok seorang gadis? Keterlaluan.

Dan gadis itu... dia cukup keren karena bisa melawan mereka dengan baik. Oh, wait! Sepertinya wajahnya itu tidak asing bagiku. Aku yakin pernah melihat gadis itu sebelumnya.

Aku langsung melompat dan menendang salah satu anggota Blackstone tersebut untuk membantu gadis itu. Dia hanya menatapku bingung.

Aku menarik gadis itu ke belakang punggungku dan mulai melawan para berandalan Blackstone itu seorang diri.

Sungguh, ini adalah pertempuran yang cukup melelahkan, hingga para pria berjas lengkap dengan senjatanya memasuki gerbang.

Aku tidak paham mengapa Bang Sayuti dan anggota yang lainnya mengenakan setelan jas berwarna hitam yang sama.

Ada apa dengan si gendut itu?

Mereka mulai menembaki langit hingga membuat semua orang berjongkok karena takut tertembak.

"Jangan ada yang berani bergerak, atau kalian akan tertembak!" teriak Sayuti kesal.

Suasana hati pria itu sedang tidak baik sepertinya.

Salah satu anggota Blackstone bergeser dari tempatnya, dan tentu saja anggota Elang Hitam langsung menembak mati pria itu.

Ya, itu sebagai peringatan kepada yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.

"Gerak dikit aja, kalian mati!" teriak Bang Sayut sekali lagi.

Bagus yang tengah duduk tak jauh dari tempatku berada, hanya terdiam sambil menggaruk tumit kakinya.

Aku mendekati gadis itu, lalu berjongkok di sebelahnya.

"Besok kalau umur lo 25 tahun, gue akan nyari lo!" setelah mengatakan itu padanya, aku pun beranjak menghampiri Bang Sayuti.

"Heran gue, bisa-bisanya info keberadaan gudang mereka bocor! Kampret!" Bang Sayuti menggerutu.

"Sabar Bang!" Aku berbisik pelan, lalu menepuk pundaknya.