webnovel

Teman

"Lo nyembunyiin sesuatu dari gue ya, Bams?" 

Aku langsung mendongakkan kepalaku mendengar suara Bagus dari arah pintu. 

"Lo cukup peka, ya?!" sahutku pelan. 

Bagus menghela napas panjang sambil berjalan menghampiriku. Pria itu lalu duduk di kursi yang berada di bawah jendela. 

"Gue nggak ada urusan sama masalah kelompok Elang! Lo tahu apa tujuan gue gabung sama Elang Hitam kan, dan well, gue udah ngomong sebelumnya sama lo! Lo bisa andalin gue untuk apa pun. Lo boss gue!"

Aku langsung tersenyum mendengarkan ucapan Bagus. Ucapannya terdengar tulus. Tapi entahlah, rasanya sulit bagi Bambang untuk mempercayai siapa pun. 

"Tahu nggak, lihat lo diem kayak gini bikin gue gelisah. Gue nggak tahu apa yang ada di pikiran lo, jadi gue nggak bisa bantu apa pun!" gerutu Bagus. 

Aku hanya menanggapi ucapan Bagus dengan senyuman tipis. 

"Ada beberapa hal yang bikin gue pusing belakangan ini." ungkapku.

"Apa?"

Aku pun merebahkan tubuhku, dan memejamkan mata rapat-rapat. 

"TG yang sebelumnya menemui kita, dia membantu keluarga Bimo, sepupu gue yang meninggal karena dibunuh. Jadi, TG bawa pelaku pembunuhan itu ke rumah Bimo agar si pembunuh meminta maaf kepada keluarga Bimo. Well, kita tahu sendiri, kan? TG itu ingin menghancurkan Elang Hitam, jadi aneh aja rasanya kalo mereka bantuin Bimo yang notabennya anggota Elang Hitam."

Bagus mengernyit bingung mendengar ceritaku. 

"Gak beres nih Bams, gimana kalau kita iyain aja tawaran mereka buat kerja sama? Well, kita bisa tahu seperti apa mereka, apa yang mereka rencanakan sebenernya." usul Bagus. 

Berpura-pura menjadi sekutu mereka?

"Apa itu nggak terlalu merepotkan? Well, ada banyak hal juga yang harus gue lakuin, gue nggak mau aja buang-buang waktu untuk masalah remeh!"

Bagus menggelengkan kepalanya cepat begitu aku selesai berbicara.

"Lo jangan suka ngeremehin hal kayak gini Bams. Semakin banyak mata-mata yang masuk ke kelompok kita, semakin dekat pula kita dengan kehancuran." seru Bagus dengan mata berapi-api. 

Ah ya, benar juga. Sedikit pun aku tidak boleh lengah. Atau aku tidak akan pernah mampu menjadi pemimpin Elang Hitam. 

"Well, cuman itu yang lo pikirin? Gue yakin ada hal lain yang lo pikirin selain masalah TG ini!" desak Bagus.

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Jujur aku tidak yakin harus menceritakan ini kepada Bagus atau tidak. Tapi... saat ini, memang hanya Bagus yang kumiliki. 

"Lo tahu apa yang mereka cari di kamar nyokap gue?" seruku pelan. 

"Sesuatu yang bisa menghancurkan kelompok Elang?" tanya Bagus. 

"Ya! Sesuatu itu tersipan dalam pemantik api berlogo Naga berwarna emas!"

Bagus terdiam menatapku tanpa ekpresi. Ya, aku tahu, dia pasti cukup terkejut. 

"Gue harus dapetin pemantik api itu, apa pun yang terjadi! Kalau gue punya tuh barang, bisa aja gue ketemu sama orang yang udah bunuh nyokap gue. Si pria bertato kucing!"

Bagus berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. 

"Kalau mereka tahu barang itu ada di lo, mereka mungkin akan mengirim orang yang sama yang bunuh nyokap lo. Tapi, ada konsekuensi lain yang harus lo tanggung. Lo harus melawan begitu banyak musuh, karena gue yakin, bukan hanya mereka aja yang ngincer tuh barang! Kelompok Elang lain, dan para pejabat terkait pasti ngirim orang buat habisin lo!" Bagus menatapku dalam.

Ya, aku tahu. Hal itu pasti terjadi. 

"Karena itu, sebelum kita dapetin tuh barang, gue berencana bikin tim gue sendiri, tim yang berisi orang-orang kepercayaan gue, yang bisa atasi segala masalah yang mungkin akan gue hadapin." Aku berujar pelan. 

Bagus tersenyum miring. Ia lalu menghampiriku, dan menatapku tajam. 

"Untuk yang satu itu, gue bisa bantu. Abang gue itu cukup cerewet. Dia selalu nyeritain anggota-anggota Elang Hitam yang dia kenal ke gue. Well, dari info yang gue dapet, kita bisa dengan mudah nemuin orang-orang yang lo butuhin itu."

Aku langsung membuka mataku lebar-lebar. Ucapan Bagus membuat mood-ku yang sebelumnya buruk, jadi membaik seketika.

"Lo yakin?" tanyaku dengan mata membulat sempurna.

"Lo pernah lihat gue main-main?" sahut Bagus sambil melotot tajam.

"Sering!"

"Brengsek! Kalau masalah penting, gak mungkinlah gue maen-maen! Kampret lo!"

Aku tertawa begitu keras mendengar makian Bagus. Dia sangat lucu saat kesal seperti itu. Alisnya terangkat, bibirnya mengerucut, dan matanya melotot tajam.

"Malah ketawa, kampret lo!" geram Bagus.

"Udah, nggak usah emosi! Mending sekarang kita makan. Kayaknya Sofia udah sibuk sedari tadi di dapur!"

Aku langsung beranjak keluar kamar setelah mengatakan itu. Dan tentu saja, Bagus mengekor.

Di dapur, Sofia sedang membuat kue bolu, aromanya sungguh membuat perutku keroncongan. Manis dan menggungah selera.

"Kebetulan kalian ke sini, aku baru coba bikin bolu! Harusnya sih enak!" seru Sofia sambil memotong bolu menjadi beberapa bagian.

"Tangan lo itu kayaknya ajaib deh Sof, semua yang lo masak pasti enak!" seru Bagus sambil duduk di kursi meja makan.

"Lo lihat youtube aja Sof, banyak resep kue enak," ucapku pelan.

"Kan aku nggak punya handphone, besok aja kalau kalian senggang, aku pinjam handphone-nya."

Oh tidak! Kenapa aku melupakan yang satu itu?

"Jangan khawatir Sof, Bos Bambang kan banyak duitnya, habis ini kita beli handphone buat lo!" seru Bagus tepat sebelum aku mengatakan sesuatu.

"Jangan! Jangan repot-repot Bams!" Sofia setengah berteriak.

"Udah, nggak usah sungkan! Bambang uangnya banyak!" sela Bagus sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

"Iya, lagian kalau lo sering masak enak, yang seneng juga gue! Entar kita ke mall, beli handphone sama baju buat lo! Sebel gue lihat lo pakai baju itu-itu terus," ucapku pelan.

"Sama skincare sekalian! Kan kalau Sofia bening, mata kita juga yang termanjakan!" sela Bagus.

Si brengsek itu!

"Boleh sama pakaian dalam nggak?" Tanya Sofia ragu.

"Astaga Sofia! Kayak gitu pakai nanya! Yang bener dong lo! Nggak sekalian lo minta kita buat pilihin model celana dalem lo?!" teriak Bagus kesal.

"Kan siapa tahu nggak boleh!" sahut Sofia dengan lugunya.

"Lo nggak sekalian minta di beliin pembalut?" tanya Bagus lagi.

"Enggak, itu aku beli dari sisa uang belanja!" sahut Sofia pelan.

"Stop! Kasih aja bolunya ke gue dan kita akhiri pembicaraan seputar pakaian dalam dan pembalut! Brengsek lo berdua!" seruku kesal.

"Ya habisnya ni cewek aneh banget Bams, pakai nanya kayak gitu! Kan terpancing emosi gue!"

"Ya kan takutnya aku udah dikasih banyak barang, nggak boleh beli yang itu lagi!" sela Sofia.

"Kan udah gue bilang, Bambang itu duitnya banyak!"

"Tapi aku nggak enak hati kalau habisin uang dia!"

"Duit Bambang nggak akan habis sekalipun lo borong semua baju yang ada di toko!"

"Tapi aku harus tahu diri dong, masa aku yang bukan siapa-siapanya dia mau habisin uang dia!"

"Woi!" sentakku, membuat kedua orang di hadapanku itu terdiam dengan mulut terkatup rapat.

"Ini kapan gue bisa makan bolunya? Banyak bacot lo berdua! Lo juga, Sofia! Tenang aja, gue beliin semua yang lo mau! Nggak usah banyak mikir!" Aku merengut kesal dan melotot menatap kedua manusia menyebalkan itu.