webnovel

Selamat Bergabung dengan Elang Hitam

Di atas sana, Bagus melepas kemejanya dan melemparkannya ke luar ring.  Bagi seorang siswa SMA, memiliki tubuh kekar seperti itu tentu bukan hal yang mudah.  Aku sudah bisa membayangkan betapa kerasnya Bagus berusaha menjadi kuat.

Paul melayangkan pukulan pertama di wajah Bagus.  Paul adalah salah satu petarung terbaik kami. Namun, meski dipukul cukup keras, Bagus sama sekali tidak terlihat kesakitan.  Sebaliknya, dia tersenyum miring dan membuka tangannya lebar-lebar agar Paul memberinya pukulan lagi.

Paul yang terlihat kesal langsung memberikan pukulan bertubi-tubi pada Bagus.

Dan tidak ada!

Pria itu sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan Paul.

Gila.

Paul meloncat, lalu meninju wajah Bagus, melihatnya seperti itu, aku teringat Takiya Genji dari film crowd zero, itulah serangan utamanya untuk mengenai musuh.  Dan seperti Rindaman, Bagus sama sekali tidak terluka oleh pukulan Paul.  Paul mencoba menendangnya berkali-kali, tetapi Bagus dengan cepat menangkis dan memberi Paul Tendangan Dorong untuk memberinya jarak.

Bagus menyeringai lalu memukul wajah Paul dengan tinjunya hingga Paul tersandung ke belakang.  Paul jatuh ke lantai karena tidak bisa menjaga keseimbangannya.

Aku menoleh ke arah Bang Sayuti yang sekarang berdiri di sampingku.

"Itu cukup bagus!"  Sayuti berseru sambil terus menonton pertandingan di atas sana.

"Dia yang terkuat di SMA Elang Hitan!" sahutku pelan.

Bukankah lebih bagus jika Bagus bisa menjadi orang kepercayaanku?  Dia masih muda, kuat, dan cerdas.  Ah, yang penting dia tidak banyak bicara.

Bang Sayuti dan aku melihat kembali ke atas ring.  Di sana, Paul berdiri dan menarik napas dalam-dalam.  Sepertinya dia akan mengeluarkan semua kekuatannya.  Wajahnya merah dan tangannya mengepal.

Baiklah, mari kita lihat bagaimana Paul akan melawan pria SMA seperti Bagus.

Paul memberikan Bagus Jab, Hook, dan Strike berulang kali, tetapi Bagus selalu bisa memblokir serangan Paul.

Paul pun menggunakan segala cara yang ada, horizontal, vertical elbow, serta berbagai teknik penguncian yang telah ia coba, sayangnya tidak ada satupun serangannya yang mampu merobohkan pertahanan Bagus, hingga akhirnya Paul mulai lelah dan serangannya melemah.  Bagus memanfaatkan kecerobohan Paul untuk melakukan kuncian Twister.

Bagus meraih Paul, membawa kepala pria itu ke satu sisi bahunya, sementara tubuh bagian bawah lainnya ke sisi lain.

Aku pernah melihat kuncian seperti itu dilakukan oleh petarung MMA di UFC.  Sial, sekarang aku melihatnya langsung di depan mataku, itu membuatku merinding seketika.

Jika Paul tidak segera menyerah, itu akan berakibat fatal.

Tak lama kemudian, Paul menyerah dan Bagus melepaskan tubuh Paul dengan melemparkannya ke lantai.

Pertandingan yang menarik.

Aku bertepuk tangan keras ketika Bagus keluar dari arena tinju dengan sedikit pincang.  Setelah pertarungan yang cukup melelahkan tadi, pria itu akhirnya bisa mengalahkan lawannya.

Serius, seseorang seperti Bagus lebih baik bergabung dengan tim petinju profesional daripada bergabung dengan mafia, seperti kami.  Sangat buruk.

"Bukannya seharusnya kalian melatih gue menembak kepala orang? Kenapa meminta gue buat membuang energi seperti ini?"  Bagus mengeluh.

Aku menggelengkan kepalaku perlahan sambil menunjukkan senyum lebarku kepada anggota baru kami itu.

"Yah, kita nggak selalu menggunakan senjata saat bertugas! Jadi kemampuan bertarung itu cukup penting," jawabku santai.

Bagus memelototiku lalu membuang muka.

Sial, dia seharusnya lebih baik padaku.

"Yah, karena lo udah lulus tes pertama, lo bisa bergabung dengan kelompok kami. Tapi ingat, gue masih ngawasin lo! Jadi jangan lengah!"  seru Bang Sayuti sebelum akhirnya meninggalkan kami.

"Apa yang harus gue lakuin di Elang Hitam?"  Bagus bertanya terus terang.

Aku menarik napas dalam-dalam.  Aku, yang bahkan hanya melihat dari kejauhan, merasa cukup lelah.  Apa dia tidak ingin istirahat sebentar?

"Sembuhkan dulu kaki lo! Apa lo nggak capek? Santai saja Bro! Kita masih punya banyak waktu!"

"Salah satu hal yang paling gue benci adalah membuang-buang waktu."  Bagus memelototiku.

"Ayo! Tenang saja. Luangkan waktu lo untuk menyembuhkan kaki lo itu dulu! Lagipula, nggak banyak yang bisa dilakukan sekarang. Bang Sayuti akan mengurus semuanya, dan begitu kaki lo sembuh, gue akan membuat lo terus mengeluh tentang tugas yang nggak ada habisnya! Jadi  luangkan waktu lo," kataku sambil menepuk pelan bahu Bagus.

"Terserah!"  Ucap Bagus lalu melewatiku dan duduk di bangku di belakangku.

Aku mengikuti pria itu dan duduk di sebelahnya.

"Hei, gue penasaran. Lo bisa bertarung seperti itu, gimana lo latihannya?"

"Sebelumnya, gue pernah ikut pelatihan Pencak Silat!"  Bagus berkata tanpa basa-basi.

"Pencak silat? Bukankah gerakannya sangat berbeda dengan tinju, dan lain-lain? Gerakan lo itu nggak terlihat seperti gerakan pencak silat!"  protesku.

Bagus meneguk air dari botol mineral yang sekarang ada di tangannya.  Pria itu kemudian menoleh ke arahku dengan seringai yang sangat menyebalkan.

"Pencak silat itu fleksibel. Lo bisa menggunakan gerakan dasar sesuai dengan situasi yang lo hadapi! Gue nggak bisa menggunakan jurus pencak silat yang rumit saat bertarung sama Paul barusan!"  Bagus menjelaskan.

Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.

Haruskah aku berlatih pencak silat juga?

"Lo latihan di mana? Gue mau ikut juga!"

"Lo bosnya! Lo nggak perlu repot dengan pelatihan seperti itu! Lo hanya perlu mengeluarkan perintah, dan gue yang akan melakukan eksekusi!"

Wow!  Pidato Bagus terdengar sangat keren!  Seorang bos tidak perlu repot dengan latihan tempur, yang perlu dia lakukan hanyalah menggunakan otaknya seperti ayahku.

Tapi, itu bukan gayaku.  Bahkan jika aku bisa menghabisi seseorang hanya dengan satu perintah, aku masih harus mengasah kemampuan bertarungku.

Dunia mafia tidak semudah itu, ada kalanya aku harus bertarung dengan kedua tangan dan kakiku sendiri.

Terutama untuk menghabisi si pria bertato kucing, dan bosnya.

"Nggak, gue nggak mau jadi bos seperti itu! Bukannya akan lebih menyenangkan kalau kita bisa membunuh seseorang dengan tangan kita sendiri?!"  Aku berbicara perlahan.

Aku bisa melihat senyum sinis Bagus.

"Psikopat," gumam Bagus yang sayangnya tidak begitu pelan sehingga aku bisa mendengarnya.

"Yah, sayangnya... Di masa depan, lo akan selalu terlibat dengan psikopat seperti gue ini, jadi biasakan diri lo!"  Aku menatap Bagus kesal.

"Bukan masalah besar! Apa pun itu, gue akan lakukan! Gue siap dengan semua tugas dari lo! Tapi, yang perlu lo ingat, gue punya aturan sendiri dalam menjalankan tugas!"  kata Bagus.

Pria itu memelototiku.

"Bukankah seharusnya gue yang ngasih aturan?!" protesku.

"Aturan dari lo, gue akan lakukan! Dan aturan dari gue, lo harus ngerti!"  katanya tegas.

"Oke, apa itu?"

"Pekerjaan apa pun yang gue lakukan, gue nggak ingin menyakiti wanita dan anak-anak! Jadi, sebelum lo memberi gue tugas, lo harus ingat itu!"

Mendengar prinsip Bagus menghangatkan hatiku.

Ada juga kebenaran dalam apa yang dia katakan.  Tidak manusiawi jika kita menyakiti wanita dan anak-anak.

Seperti yang mereka lakukan pada ibuku.

Sial!  Wanita polos seperti ibuku harus terluka karena manusia barbar seperti mereka.

Banci!

"Setuju! Gue terima aturan dari lo! Nah, perut gue lapar, mau nasi goreng?"

"Tentu!"