webnovel

Sekutu atau Musuh

Aku mampir di salah satu warung nasi goreng langgananku waktu SMP, dan beruntung penjualnya masih sama.

Aku segera masuk dan memesan satu porsi nasi goreng seafood, dan segelas es teh, memikirkan pria kucing itu membuat perutku meronta meminta asupan.

Ada seorang gadis duduk dengan tenang tak jauh dari tempatku, gadis cantik dengan rambut terurai panjang, dan mata indah sebening kristal. Apa yang kulihat? Abaikan! Belum sampai nasi goreng itu sampai ke tanganku, tiga orang pria berbadan kekar masuk ke warung dan mengobrak-abrik warung, mereka menggunakan tato berbentuk ombak  berwarna hitam yang sama di leher mereka.

"Serahin duit lo!" seru salah seorang dari mereka yang menuju gerobak dan memaksa penjual membuka laci uangnya, satu di antaranya mengambil nasi goreng yang seharusnya untukku, lalu mengunyahnya kasar, dan yang satu lagi berdiri di hadapan gadis cantik yang duduk tak jauh dariku itu dengan smirk menjijikan yang sudah bisa kutebak apa artinya.

"Woi, serahin duit lo! Kalau nggak, abang bawa ke tempat abang aja gimana?" kalimat itu ditujukan untuk gadis cantik itu.

Ingin rasanya aku memuntahkan semua yang ada di dalam perutku. Ini memuakkan, tidakkah dia malu memalak gadis manis seperti dia?

"Bang, berantem aja yok kita! Duit gue mepet, dan gue gak sudi ikut lo!" kata gadis itu dengan ketus. 

Good job, cantik!

Ah, aku terlalu kesal, memikirkan Elang Hitam saja sudah menguras tenaga, ini lagi para preman tidak tahu diri yang cuma tahu minta.

"Gedhe juga nyali lo, anak mana lo ha?" sentak preman itu.

"Jadinya mau berantem apa enggak?" 

Gadis itu pasti sudah gila karena mengatakan itu. Harusnya, sebagai remaja yang normal, ia lari dan mencari bantuan, bukannya malah menantang preman itu.

Brak!

Aku cukup terkejut saat seseorang di antara mereka terpental dan menubruk meja, dari arah gerobak, berdirilah sesosok mahluk yang membuatku langsung tersenyum lebar.

Bagus!

Yokshi, sepertinya akan menyenangkan jika berteman dengan pria itu.

"Gue ambil dua, lo atasin yang satunya." kata Bagus dengan santainya.

"Kalo gue bisa ngalahin ni orang, lo musti bantuin gue maksa Sayuti buat nerima gue di Elang Hitam," imbuh Bagus dengan sangat serius.

Kenapa?

Bagus terlihat sangat membenci Elang Hitam, ayah, dan Bang Say. Jadi, kenapa dia ingin bergabung?

"Gimana woi!" seru Bagus yang langsung membuyarkan lamunanku.

"Gampang!" sahutku asal.

Setelahnya, kami semua terlibat dalam perkelahian yang cukup menguras waktu dan tenaga. Si ombak hitam ini sangat bar-bar, bahkan dua di antaranya membawa benda tajam.

Tanganku sampai terasa kebas setelah melayangkan beberapa bogem mentah ke arah pria di hadapanku.

Dia terlihat masih cukup muda, tapi otot-otot kekarnya itu bukanlah sebuah lelucon.

Kepalaku berdenyut nyeri saat pria itu berhasil meninju pipiku. Pandanganku jadi kabur seketika. Tapi, secepat mungkin aku mendapat kesadaranku, dan membalas tinjunya sekencang yang kubisa.

Dua dari mereka sudah tak berdaya, jadi mereka semua memilih kabur.

Aku melihat pemilik warung yang masih berdiri di pojokan dengan tangan yang gemetaran. Beliau sudah sepuh, jadi tentu merasa takut dan terkejut. Berbeda halnya dengan gadis cantik yang masih duduk dengan tenang tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya. Jujur itu aneh.

"Maaf, Pak. Meja kursinya jadi rusak, nanti saya bantu perbaiki!" kata Bagus sambil menuntun bapak itu duduk di kursi.

Bagus sendiri mendapatkan luka cukup banyak, sudut bibirnya sedikit sobek dan mengeluarkan sedikit darah, kedua pipinya lebam, dan punggung tangannya tergores dengan apa hingga lecet seperti itu.

"Nggak apa-apa, Dek, terima kasih sudah nolongin bapak, mereka memang sering kemari untuk mengambil uang bapak."

"Kok nggak pindah aja sih, Pak?" tanya Bagus.

"Bapak sudah tua, sekarang ini susah cari tempat buat jualan, persaingannya terlalu banyak."

"Gimana kalau mereka nanti balik lagi, Pak?" samberku.

"Ya paling, nanti bapak kasih apa yang mereka mau."

Dasar preman tidak punya otak, orang tua saja dirampok. Sudah tidak punya otak, tidak punya akhlak pula.

Sejujurnya, aku paling benci pada orang-orang seperti mereka. Terserah jika mereka memang mau berbuat kejahatan, tapi pada orang tua? Serius, apa tidak ada orang yang tua di rumah mereka?

"Kalian duduklah, akan bapak buatkaj nasi goreng untuk kalian."

Bapak itu langsung beranjak meninggalkan kami dan menuju gerobaknya.

Setelahnya, gadis cantik tadi menghampiriku, dia lalu menatap dalam manik mataku, sambil tersenyum tipis. 

"Lo keren, thanks udah singkirin mereka, kalau kita ketemu lagi lain waktu, gue traktir!" Setelah mengatakan itu, ia langsung meninggalkanku, menaruh uang seratus ribuan di gerobak penjual nasi goreng, dan bergegas pergi.

Gadis yang sungguh menarik.

Bagus berpindah duduk untuk berhadap muka denganku. Baiklah, mari kita luruskan.

"Gue tahu lo enggak suka sama Elang Hitam, jadi kenapa lo mau gabung sama mereka?" tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

"Gue nggak mau, tapi gue harus. Lo nggak perlu tahu apa alasan gue, toh gak ada sangkut pautnya juga sama lo!"

"Apa pun yang menyangkut Elang Hitam, itu jadi urusan gue!" sahutku datar.

Bagus menatapku tajam, aku bukanlah tipe orang yang suka, ataupun pandai menebak pikiran orang, jadi aku sama sekali tidak mempunyai gambaran, kira-kira apa yang tengah Bagus pikirkan sekarang.

"Lo mau ambil alih jabatan bokap lo?"  tanya Bagus dengan suara berat.

Ini yang tidak kumengerti. Bagaimana Bagus bisa mengetahui banyak hal mengenai Elang Hitam? Siapa dia?

"Seperti yang lo tahu sebelumnya, gue lagi ngincer orang Elang Harpy, jadi tentu gue butuh Elang Hitam buat memudahkan jalan gue. Dan lo sendiri? Lo kelihatannya tahu banyak soal kami, siapa lo sebenernya?"

Kami sama-sama terdiam, melemparkan pandangan ke satu sama lain, tanpa sepatah kata pun.

"Dimakan dulu nasi gorengnya!"

Suara si bapak penjual nasi goreng, langsung memecah keheningan di antara kami.

"Nasi goreng seafood, dan es teh manis." kata si bapak, lalu beranjak meninggalkan kami.

"Gue laper," celetuk Bagus, lalu mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

Ya, terserahlah. Aku sendiri juga lapar.

Aku pun melakukan hal yang sama, mulai menikmati nasi goreng seafood yang tersaji di hadapanku.

Rasanya tidak berubah, masih sama enaknya seperti dulu.

Kami pun menyantap makanan kami dalam diam. Memangnya, apa lagi yang harus kami bicarakan?

Setelah menyantap nasi goreng tersebut, Bagus tiba-tiba menanyakan sebuah pertanyaan yang langsung membuat mood-ku hancur seketika.

"Kenapa lo mau bunuh orang?"

Mendengar pertanyaan itu, membuat gambaran kejadian pembunuhan kala itu kembali berputar-putar di benakku. Dan sungguh, itu membuat dadaku terasa sesak dan panas.

"Lo nggak perlu jawab kalau emang nggak mau," ucap Bagus sambil menatapku lurus-lurus.

"Gue mau bales dendam!"

Kening Bagus langsung berkerut mendengar jawabanku. Dan itu lucu. Tawaku langsung pecah begitu saja.

"Gue kenyang, balik dulu gue!" Aku segera beranjak meninggalkan Bagus dan meninggalkan selembar uang seratus ribu di gerobak karena kulihat si bapak penjual sedang sibuk melayani tamu yang baru datang.

Pria bertato kucing, seorang wanita, dan satu pria dengan rambut panjang.

Hanya itu yang kuingat. Bagaimana caranya agar aku bisa menemukan mereka? Bagaimana jika mereka bukanlah anggota Elang Harpy? Akan sangat membuang waktu jika aku mengambil jalan yang salah. Sial!

Langkahku terhenti saat ponsel di sakuku bergetar, saat ku ambil benda tersebut, nama Bang Sayuti muncul di layar.

"Kenapa, Bang?" tanyaku begitu telepon tersambung.

"Gue nggak tahu ini berguna apa nggak, ya udah sih dengerin aja!" sahut Bang Sayuti di seberang sana.

"Ya udah, apa?"

"Al datang ke Indonesia, tepat sehari sebelum nyokap lo meninggal!"