webnovel

Perjanjian

"Gue musti ngapain?" tanyaku bingung. 

"Rapat sama salah satu klien kita!" sahut Bang Sayuti cepat. 

Aku menghela napas panjang. Well, aku baru saja kembali dari latihan berat yang melelahkan bersama Brian, dan setibanya di rumah, hal pertama yang kutemukan adalah Bang Sayuti yang sudah menungguku dengan setumpuk berkas di tangannya. 

"Bukannya tugas bos itu cuman ngasih perintah ya, gue tinggal nyuruh lo mewakili gue buat rapat kerjasama itu, 'kan?" aku menatap Bang Sayuti dengan tatapan tajam. 

Bang Sayuti menggelengkan kepalanya pelan lalu menunjukkan smirk menyebalkan ke arahku. 

"Lo masih belum jadi bos sepenuhnya, my brother! Dan sebelum lo bener-bener jadi bos, lo harus tahu dulu cara kerja kita! Gue tahu lo capek, kalau boleh jujur, gue juga capek, tapi ini perintah bokap lo!"

Ah, jadi ini perintah ayah?

"Ngomong-ngomong gimana kabar dia? Gue denger dia kemarin masuk rumah sakit lagi? Udah tua banyak tingkah, harusnya dia istirahat dan serahin aja semua kerjaan sama yang lain." aku menggerutu. 

Bang Sayuti menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di sofa. 

"Belakangan ini bokap lo bersikap lebih waspada. Dia nggak mau mempercayai siapa pun termasuk gue! Mungkin dia khawatir kalau ada pengkhianat di antara kami," ucap Sayuti pelan. 

Oh, wah! Ada apa dengan pria tua itu?

"Bukannya kalian kerja buat Elang Hitam cukup lama? Kenapa tiba-tiba dia nggak mau percaya sama kalian?" tanyaku penasaran. Aku pun duduk bersebrangan dengan Bang Sayuti. 

"Gue rasa karena dia khawatir akan berakhir sama seperti Elang Putih. Orang kepercayaan mereka kerjasama dengan Elang Harpy buat ambil alih Elang Putih." cerita Bang Sayuti. 

Hum, ya. Cukup masuk akal. Dia sudah tua dan sakit-sakitan, tentu saja dia merasa khawatir tentang hal itu. Kasihan sekali. Menjadi dia tentu tidak mudah. 

***

Aku memakai setelan jas, seperti permintaan Bang Sayuti sebelumnya. Duduk berseberangan dengan seseorang yang kuperkirakan seumuran dengan Bang Sayuti. Kupikir klien kami ini sudah tua, tapi ternyata aku salah. Dia masih cukup muda. 

Dia adalah orang kepercayaan dari sebuah organisasi bernama Blackstone.

Oraganisasi sampah yang lebih tepat disebut gankster.

"Harga ini terlalu tinggi untuk pasaran Indonesia, lo tahu itu, 'kan? Jadi, gue minta turunin lagi harganya!"

Aku hanya tersenyum sinis menanggapi ucapan Satria--perwakilan dari Blackstone.

"Lo tahu gimana kualitas barang kita, 'kan? Cukup lucu denger lo minta buat nurunin harga! Dan lo juga pasti tahu, nggak mudah buat nyimpen barang di negara ini!" Aku berujar tegas.

"Target pasar kami bukan hanya orang kaya, jadi akan sangat bagus kalau lo mau turunin harganya dikit!" Satria masih mencoba.

"Ah, si brengsek ini! Lo pikir gue nggak tahu, kalau kalian oplas lagi ni barang sebelum kalian edarin?! Dengan apa yang kalian lakukan itu, gue yakin kalian dapet keuntungan yang cukup besar!"

Satria tampak terkejut mendengar ucapanku barusan.

"Nggak usah kaget! Tentu gue tahu, lo pikir bisa ngelabuhin Elang Hitam? Dasar brengsek! You have no choice, tanda tangani saja surat perjanjian kerjasama ini!" seruku malas.

Bayangan kasur yang empuk, dengan lagu ballad yang berputar memenuhi kamar, terus berputar-putar di otakku.

Satria berpikir sejenak, dengan helaan napas berat, ia menandatangani surat perjanjian itu.

"Terakhir kali, kalian telat masok barang! Gue harap nggak akan ada lagi keterlambatan kayak kemaren!" Satria menatapku tajam.

Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.

"Kita udah atur strategi buat mempermudah pengiriman barang, jadi lo nggak perlu khawatir!" sahutku dengan santai.

Satria mengangguk pelan, lalu segera membereskan semua berkas, dan meninggalkan kami.

"Oke, good job! Meski sejujurnya gue juga baru tahu kalau mereka oplas barangnya!" seru Bang Sayuti setelah Satria benar-benar meninggalkan tempat ini.

Aku terkekeh pelan, lalu menyandarkan tubuhku pada sofa.

"Gue tahu dari Bagus. Dia denger kabar itu dari mendiang abangnya!"

"Kapan dia ngasih tahu lo?"

"Sepuluh menit yang lalu!"

Bang Sayuti langsung memicingkan matanya menatapku penuh selidik.

"Wow, kalian cepat! Lumayan juga! Ayo kita cari makan! Perut gue udah keroncongan dari tadi!" Bang Sayuti menatapku dengan penuh semangat.

Serius, apa hanya makanan yang ada di pikiran pria itu? Apa dia tidak takut jika semua makanan itu akan menumpuk di perutnya?

Oh, membayangkannya saja sudah membuat tubuhku merasa berat.

"Gue tahu tempat yang jual makanan enak dan cewek cantik! Mau ke sana?"

Aku langsung melemparkan semua berkas itu pada Bang Satuti dan bergegas meninggalkannya.

Untuk saat ini, aku sama sekali tidak tertarik dengan makhluk berwujud wanita.

Aku hanya ingin fokus pada tujuanku untuk memperkuat diri.

Aku pun bergegas menuju apartemenku, dan tidur.

Sesaat setelah mataku terpejam, terdengar suara pintu yang terbuka dari luar.

Aku sangat yakin kalau dia bukan Bang Sayuti karena tentu saja ia tidak akan mau melewatkan jam makannya.

Aku bangun dari tidurku, lalu bergegas keluar dari kamar.

Helaan napas panjang keluar begitu kulihat seseorang yang tak asing rebahan dengan santainya di sofa ruang tamuku.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku kesal.

Well, ini bukan jam berkunjung. Mataku sudah terasa sangat berat.

"Gue diusir nyokap dari rumah karena gabung sama Elang Hitam." seru Bagus dengan santainya.

Bedebah!

"Terus?"

"Gue tinggal di sini! Bukannya udah jadi kewajiban bos buat ngasih perlindungan anak buahnya?"

"Kebalik, bego!" geramku.

"Intinya, lo harus tanggung jawab sebagai bos! Tampung gue di sini!" Bagus mengerjapkan sebelah matanya ke arahku.

Astaga, ini melelahkan.

"Gue dapet kunci apartment lo dari Sayuti, jadi gak usah bingung!" seru Bagus lagi.

Sialan!

"Di sini cuman ada satu kamar! Lo boleh tinggal sesuka lo, tapi jangan ganggu gue!" Aku berujar pelan.

"Siap, Bos! By the way, gimana pertemuan lo sama Satria tadi?" Bagus menegakkan tubuhnya, lalu duduk menghadap ke arahku.

Aku berjalan enggan duduk di hadapan pria itu.

"Gue naekin harga, dan dia nggak punya pilihan lain selain setuju. Mereka terlalu serakah. Memuakkan!"

Bagus terkekeh pelan mendengarkan ceritaku.

"Tentu dia setuju! Cuma Elang Hitam yang bisa kasih dia barang bagus!" sahut Bagus sambil menangguk pelan.

"Karena itu gue berani naikin harga! Sebenernya bokap cuman nyuruh gue tanda tanganin kontrak kerja sama itu, tapi waktu lo kasih tahu soal mereka, gue langsung naikin harga!"

"Terserah! Apa pun yang lo lakuin, gue akan selalu ada di belakang lo!"

"Gue tahu!" sahutku cepat.

Bagus menghela napas panjang, lalu kembali merebahkan tubuhnya di sofa.

"Kebanyakan anggota blackstone itu brengsek! Mereka suka memperkosa, dan membegal wanita! Sungguh, kalau ada kesempatan, gue mau habisi mereka!" geram Bagus.

Aku hanya tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya pelan.

"Itu bukan jatah kita! Fokus aja sama tujuan kita," ucapku pelan.

"Tentu!"

"Ah, jangan lupa, besok kita harus berlatih menggunakan senjata!" Aku mengingatkan Bagus.

"Apa kita akan berlatih menembak kepala orang?"

Aku melemparkan bantal di sampingku ke arah Bagus.

"Kenapa lo terobsesi dengan kepala orang?"

"Karena terdengar keren!"