webnovel

Pembalasan

"Curang lo Bams!" teriak Brian saat aku melemparkan pasir yang sebelumnya kugenggam ke arah mata para preman itu. 

"Kita ini mafia, ingat? Kita bisa menggunakan segala macam cara untuk meraih tujuan kita!" seruku cepat sambil melayangkan serangan demi serangan kepada para preman tua tersebut. 

Bagus menggelengkan kepalanya pelan, lalu membantuku menghajar mereka. 

Aku tidak mengerti bagaimana bisa mereka menjadi preman jika mereka saja selemah ini. Mereka langsung tumbang begitu kami mulai menyerang. Sungguh, ini tidak menyenangkan. 

Aku dan Bagus saling menatap satu sama lain. Padahal kami sudah mempersiapkan diri untuk pertarungan sengit yang menguras tenaga. Tapi mereka terlalu lemah. Sangat mengecewakan. 

"Kita apain nih mereka?" tanya Bagus bingung. 

Aku menggelengkan kepala pelan, lalu mengambil tali yang tergeletak di sudut ruangan. 

"Kita iket dulu aja, sambil mikir mau kita apain mereka. Sialan, gue pikir mereka cukup kuat, tapi ternyata terlalu lemah. Mengecewakan!" Aku berujar pelan sambil memberikan tali tersebut pada Bagus. 

menghela napas berat melihat para preman yang tengah tergeletak tak berdaya di tanah tersebut.

"Beraninya sama cewek doang! Payah memang!" gerutu Bagus sambil mengikat mereka satu per satu. 

Setelah selesai mengikat mereka, Bagus mengambilkanku kursi untuk duduk, dan membawa mereka ke hadapanku, sementara gadis yang kami tolong itu langsung bersembunyi di belakangku. 

"Oke, sekarang bantu gue mikir! Harus kita apakan ini orang bertiga!" seruku pelan. 

Bagus mengangguk pelan, sementara para preman itu berteriak meminta pengampunan. 

"Tolong ampuni saya, saya punya istri dan anak," rengek salah seorang dari mereka. 

Dan rengekan itu membuatku semakin kesal. 

"Lo punya istri, punya anak juga, masih tega nyakitin cewek, di mana nurani lo?!" geram Bagus. 

Ah, ucapannya sangat mewakili isi hatiku. 

"Ampuni saya," rengeknya lagi. 

"Sebagai seorang pria, kita itu harus mau mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita! Bukan begitu?" ucapku pelan. 

"Betul!" seru Bagus dengan cepat.

"Dan, atas semua perbuatan mereka, hukuman apa yang cocok?" tanyaku bingung.

"Jangan laporkan kami ke kantor polisi!" seru salah seorang dari mereka.

Polisi?

"No, nggak akan! Terlalu mudah untuk kalian kalau dipenjara!" sahutku pelan.

Mereka terdiam bingung, dan saling bertukar pandangan.

"Bakar hidup-hidup aja!" usul Bagus.

Mendengar ucapan Bagus, ketiga preman itu kembali berteriak meminta ampunan.

Berisik, menyebalkan.

"Jangan, kita kan nggak bawa bensin, repot!" Aku berujar pelan, lalu menggelengkan kepalaku.

"Kita patahin aja semua tulangnya, terus kita gantung?! Gimana?" seru Bagus dengan antusias.

Aku tahu Bagus hanya menggertak. Dia tentu tidak mau repot-repot melakukan hal seperti itu.

Sekali lagi mereka berteriak histeris memohon ampunan pada kami.

"Ssst! Berisik!" sentakku, membuat mereka langsung menutup mulut mereka rapat-rapat.

"Heh, lo maunya mereka gue apain?" tanyaku pada gadis yang sedari tadi bersembunyi di belakang punggungku.

"Kebiri!" seru gadis itu tanpa banyak berpikir.

Ah, tentu!

Gadis itu pasti sangat dendam karena telah dilecehkan oleh mereka.

"Lo pernah ngebiri orang, Bams?" tanya Bagus bingung.

Aku pun menggelengkan kepalaku pelan sebagai respon atas pertanyaan Bagus.

"Menurut lo, kalau kita potong habis punya mereka, mereka bakal mati nggak?" tanya Bagus sambil menatap mereka satu per satu.

Sekali lagi aku menggeleng pelan.

"Kita ambil satu aja buat percobaan!" usulku.

Bagus menyeringai, ia lalu mengangguk pelan, dan segera keluar dari gudang tersebut.

Dia pasti keluar untuk mencari sesuatu yang tajam. 

"G-gimana kalau mereka m-mati?" tanya gadis di belakangku dengan terbata-bata.

Ia pasti cukup terkejut.

"Ya berarti udah takdir mereka mati. Lagian, nggak ada ruginya juga dunia kehilangan manusia sampah seperti mereka. Jadi, anggap aja kita lagi bersih-bersih!" Aku mengedipkan sebelah mataku setelah mengatakan hal itu.

Gadis itu terdiam dengan mata terbelalak.

Tak lama, Bagus pun kembali ke gudang, bersama beberapa pria.

"Kebetulan mereka lewat!" seru Bagus pelan.

Aku mengangguk pelan begitu menyadari bahwa mereka adalah anggota dari Elang Hitam.

"Well, kalau gitu kita nggak perlu mengotori tangan kita! Biar mereka aja yang eksekusi. Sekarang, kita bisa balik dan tidur!"

Aku cukup bersemangat membayangkan kasurku yang empuk.

"Tunggu, Bos! Ini cewek mau kita taruh mana?" tanya Bagus bingung.

Taruh mana? Sialan, dia ini manusia dan bukannya barang. Ada apa dengan bahasa Bagus?

"Balikin dia ke keluarganya," ucapku pelan.

"Jangan!" sela gadis itu.

"Kenapa jangan?" tanyaku bingung.

Bagus menggeplak belakang kepalaku setelah aku bertanya.

"Kalo kita balikin ke sana, dia bisa di culik dan di buang ibu tirinya lagi!" seru Bagus sambil menatapku tajam.

Ah, ya! Benar juga! Ibu tirinya sangat kejam.

"Aku bisa melakukan banyak hal, melakukan pekerjaan rumah, dan sebagainya. Tolong jangan tinggalkan aku, atau mengirimku kembali ke sana!" Gadis itu memohon sambil berlutut.

Oh, tidak. Kenapa dia harus berlutut?

"Jadiin aja dia pembantu di apartment lo! Kan lumayan, kita nggak perlu bersih-bersih rumah! Juga nggak perlu delivery makanan karena dia bisa masakin!" bisik Bagus dengan semangat.

"Heh, tolol! Lo tahu gue cuman punya satu kamar, 'kan?!" geramku.

Bagus pun merengut kesal, lalu mengalihkan pandangannya.

"Aku mau tidur di mana aja, di gudang, di dapur, di mana aja aku mau!" sela gadis itu lagi.

Demi apa pun! Ada apa dengan gadis ini?

"Oke! Lo ikut kita!" seru Bagus sambil menarik tangan gadis itu, dan menggandengnya keluar dari gudang.

Sial! Dia pasti tahu bahwa aku akan terus menolak gadis itu.

Aku pun mengalihkan pandanganku pada anggota Elang Hitam, dan preman itu.

"Kebiri dia! Gue nggak tahu gimana caranya, terserah kalian aja! Dan ingat, jangan kasih tahu Bang Sayuti soal hal ini! Gue males cerita ke dia!"

Setelah memberi perintah, aku pun beranjak pergi meninggalkan gudang tersebut.

***

"Itu gudang! Kalau lo mau tidur di situ ya terserah! Udah gue bilang sebelumnya kan, kalau gue ini nggak punya cukup ruang!"

Aku menatap gadis itu lurus-lurus.

Ia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.

"Nanti gue bantu bersihin, dan jadiin itu kamar yang layak huni, sekarang mending lo mandi aja! Habis itu kita makan!" Bagus memberikan handuk dan bajunya untuk gadis itu, lalu menunjukkan kamar mandinya.

"Lo kenapa baik banget sama cewek itu? Kita kan baru kenal sama dia!" Aku menatap Bagus penuh selidik.

"Dari dulu, nyokap selalu berpesan untuk melindungi kaum wanita. Karena mereka itu lemah!" jelas Bagus.

Klise!

"Terserah! Tapi pastiin ini terakhir kalinya lo ngelakuin ini! Gue nggak mau apartemen gue ini jadi tempat penampungan para wanita lemah!" Aku memberi penekanan pada setiap ucapanku.

Bagus pun tersenyum lebar, lalu mengangguk mantap.

"Gue mau tidur, jangan diganggu! Lo kalo mau makan, apa bersih-bersih kamar, ya terserah! Jangan ganggu gue!"

Setelah mengatakan itu, aku pun masuk ke dalam kamarku, dan segera melemparkan tubuhku ke kasur.