webnovel

Menyebalkan

"Bos, gimana sekarang? Mereka udah mengetahui terlalu banyak tentang tempat ini dan barang kita!" seru salah seorang dari anggota Elang Hitam yang belakangan kuketahui bernama Rey.

"Habisi aja semua. Jangan sisakan satu pun. Bakar tempat ini bersama mereka!" seru Bang Sayuti setelah menghela napas berat.

Saat semua pria ber jas hitam mengarahkan pistol mereka kepada Blackstone dan kelompok Naya, aku pun berteriak dengan kencang.

"Tahan! Jangan sembarangan!" teriakku cepat.

Bang Sayuti melirik enggan ke arahku, lalu melotot tajam.

"Gus, tanyain sama Bos lo coba, maunya gimana!" seru Bang Sayuti pada Bagus yang baru saja berjalan menghampiri kami.

"Lo kenapa Bams?" Bagus menggelengkan kepalanya pelan.

"Untuk kali ini aja, biar mereka pergi." Aku menatap penuh harap ke arah Bagus.

"Jangan mengada-ngada ya lo! Mereka udah tahu banyak! Kalau mereka buka suara, repot kita!" geram Bagus.

"Lo berani bantah ucapan gue? Di sini ada cewek cantik Gus, jadi lepasin aja! Lo boleh lakuin apa pun sesuka lo sama Blackstone yang gak berguna ini! Tapi biarin yang lain pergi!"

Tatapan mata kami bertemu, dan Bagus merengut kesal.

"Anjing, sejak kapan lo peduli sama cewek cantik?!" umpat Bang Sayuti kesal. 

"Tugas cowok itu buat ngelindungin cewek, 'kan? Well, cewek-cewek disana sama kelompoknya itu nggak ada masalah sama kita! Satu-satunya masalah di sini itu Blackstone yang gak becus jagain markas!" Aku tahu apa yang kulakukan ini salah, akan tetapi aku tidak tega jika gadis cantik itu dibakar hidup-hidup oleh Bang Sayuti.

"Mereka udah tahu banyak hal tentang tempat ini! Kalau lo mau cewek cantik, gue bisa kasih yang lebih cantik!" Bang Sayuti menatapku tajam.

Ah, ini menyebalkan. Bukan karena cewek cantik, tapi aku tahu mereka orang baik, gadis-gadis itu dan kelompoknya bukan orang jahat, meski kami terkenal keji, bukan berarti kami bisa menghabisi orang-orang baik sesuka hati kami.

"Lepaskan mereka! Ini perintah gue!"

No debat!

Bang Sayuti harusnya tahu jika kali ini aku tidak ingin dibantah dengan alasan apa pun.

Aku tidak peduli jika dia menembak mati siapa pun, atau menghabisi siapa pun, tapi aku sungguh tidak bisa jika harus melihat begitu banyak orang baik dihabisi tepat di depan mataku seperti ini.

Bang Sayuti terdiam, dengan sangat terpaksa, ia pun memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan senjata mereka. 

"Siapa ketua kalian? Maju!" seru  Bang Sayuti dengan raut wajah kesal. Ia tampak sangat kesal terhadap perintahku. Tapi terserahlah.

Seorang pria yang tidak terlalu tua maju menghampiri kami.

"Gue denger, lo dapetin berkas-berkas itu? Serahin semua ke gue!" pinta Bang Sayuti.

Mendengar perintah Bang Sayuti, pria tua itu menggelengkan kepalanya pelan. 

Dasar bodoh!

"Lebih baik kami mati kalau harus menyerahkannya! Kita ke sini mempertaruhkan nyawa untuk ini, jadi jangan harap kami menyerahkannya begitu saja!" tukas pria itu.

"Heh, Pak Tua! Lo lihat anak-anak itu! Mereka masih muda, lo mau mereka mati muda, apa gimana? Nggak punya nurani lo ha?" seru Bang Sayuti dengan kesal. 

Bukankah dia pria yang sama yang ingin membakar mereka semua? Sekarang dia mengatkan sesuatu tentang nurani? Bang Sayuti memang susah ditebak.

"Gini, gue nggak mau ribet. Gue tahu apa yang lo cari! Berkas pembunuhan beberapa tahun lalu kan? Lo bisa ambil itu, dan serahin sisanya ke gue! Setelahnya lo bisa pergi dan tutup mulut soal narkoba dan lainnya! Itu pilihan terbaik lo! Kalau lo masih nolak, gue bakar lo semua hidup-hidup! Ngerti lo? Gue tahu lo semua kuat, tapi gak akan sanggup juga lawan pistol, dan api, tolol!" Bang Sayuti berteriak tepat di hadapan pria itu.

"Bang, nggak sopan lo sama orang tua!" bisikku.

"Diam lo! Kalau bukan karena lo, udah beres ini masalah!" sentak Bang Sayuti.

Aku hanya tersenyum tanpa di samping Bang Sayuti. Ia lalu menatap lurus ke arah manik mataku. Dan itu mengerikan. 

Pria tua itu terdiam. Sekarang ia pasti menyadari bahwa nyawa mereka lebih penting daripada berkas-berkas itu.

"Baik, kalau begitu aku akan memberikan berkas lainnya, dan berjanji akan menutup mulut rapat-rapat masalah ini." seru Pak Tua itu yang langsung membuatku tersenyum lega.

Syukurlah. Pilihan bijak. Jika tidak, aku tidak akan bisa menahan Bang Sayuti untuk tidak menghabisi mereka semua.

"Oke!"

Pak Tua itu lalu memerintahkan seseorang untuk membawa berkas-berkas itu ke hadapan Bang Sayuti.

"Tapi... Bukankah kalian mafia? Apa aku bisa mempercayai kalian? Bagaimana jika kalian membunuh kami semua setelah mendapatkan berkasnya?" Pak Tua itu menahan berkasnya sebelum sampai di tangan Bang Sayuti.

"Udahlah Pak, jangan banyak omong! Anda nggak punya banyak pilihan!" sentakku sebelum Bang Sayuti merasa kesal.

Sudah untung Bang Sayuti mau membebaskan mereka, tapi mereka tidak mau mempercayai kami.

"Gue nggak akan butuh itu berkas setelah membunuh kalian! Iya, kan?" Setelah Bang Sayuti mengatakan itu, semua anggota Elang Hitam langsung mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya pada Pak Tua itu.

Sudah kuduga, Bang Sayuti pasti tersinggung dengan ucapan Pak Tua itu.

Aku menoleh ke arah Bagus untuk meminta bantuan pada pria itu.

"Kalau kami mau menghabisi kalian, akan kami lakukan sejak tadi! Pikirkan itu!" bisik Bagus di dekat Pak Tua itu.

Sepertinya ucapan Bagus barusan berguna juga. Terbukti dengan Pak Tua itu yang langsung memberikan semua berkasnya pada Bang Sayuti.

"Kalian bisa pergi!" Aku memberitahunya dengan pelan.

Setelahnya, ia pun membawa semua kelompok Naya untuk pergi meninggalkan tempat ini.

"Lo juga ada baiknya pergi! Ngerepotin aja lo jadi orang!" Bang Sayuti menatapku sinis.

Aku tersenyum lebar, lalu memberi isyarat pada Bagus untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan pria itu kepada Blackstone setelah itu.

Sesampainya kami di luar, Mas Handy sudah menunggu kami di bawah pohon.

Ia menghampiri kami dengan tatapan penuh tanya.

"Bisa kalian jelaskan, apa itu tadi? Well, kalian mengenal para mafia itu? Ah, tidak! Kalian mungkin lebih dari sekedar mengenal mereka! Apa kalian adalah bagian dari mereka?"

Diberondongi pertanyaan seperti itu, aku dan Bagus hanya bisa terdiam sambil menatap satu sama lain.

"Iya, kami bagian dari mereka!" Aku mengaku.

Bagaimana pun, ia adalah pelatihku. Jadi, aku harus menghormatinya dengan memberitahu tahu apa yang sebenarnya.

"Kalian tahu? Sulit untuk mempercayainya! Aku bahkan menjadi ragu untuk tetap melatih kalian atau tidak!"

"Semua keputusan ada di tangan Anda! Hanya... Kami harap Anda akan mempertimbangkan untuk tetap melatih kami.

"Pencak silat bukan hanya tentang melatih kemampuan untuk bertarung! Tapi untuk mendidik manusia untuk berbudi luhur! Kalian tahu itu, 'kan?" Mas Handy menatapku tajam.

Ya, aku tahu. Ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari selain ilmu bertarungnya.

"Tolong pertimbangkan dengan baik,"