webnovel

Lapar

Bagus bahwa aku masih asik dengan permainan sementara aku lebih suka tidur. Kelelahan yang aku rasakan hari ini karena harus menghadapi seseorang yang keras kepala, belum lagi ayah tahu jika aku membunuh.

Aku pikir tidak ada yang akan memberi tahu ayah jika hari ini aku membunuh seorang client, tetapi bagaimana semua orang yang bekerja dengan aku dapat bekerja dengan ayah juga. Jadi aku hanya bisa menyerah ketika ayah tahu.

"Woy.. berisik," kataku sambil melempar bantal ke Bagus.

"Dari tadi gue diam, Bambang, kalau lo ada masalah, tolong jangan bawa-bawa gue! Di sana, kembali ke markas, ada banyak tas yang bisa lo hancurkan."

"Gila."

Aku sangat kesal, memang Bagus sudah lama diam tapi suara dari layar televisi yang menampilkan gambar game membuat banyak kebisingan.

Sudah lama anak ini sewenang-wenang denganku, aku tidak lagi dihargai.

Perutku keroncongan, sejak pulang dari gudang belum makan apa-apa, bahkan delivery order yang dipesan Bagus sudah dimakannya. Dia tidak mengampuni aku sama sekali.

"Gus, makanan yang lo pesan sudah habis?" Aku bertanya untuk memastikan.

"Sudah lama, lo mau? Kalau lo mau, biar gue pesan lagi."

"Nggak perlu. Mandi sana! Kita akan mencari sesuatu untuk dimakan di luar."

"Ada Sofia, kita akan menyuruh anak itu memasak saja. Oke, saranku sepertinya nggak berhasil."

Aku menunggu Bagus untuk mandi sambil memainkan permainan yang dimainkan oleh Bagus tadi. Asyik sih, tapi sayangnya aku bukan maniak game jadi aku hanya bermain saat bosan saja.

Berbeda dengan Bagus yang rela menghabiskan waktunya di depan komputer atau ponsel untuk bermain game.

"Bambang, gue pinjam baju Lo," teriak Bagus dari kamar mandi.

Tak terhitung lagi berapa baju yang sering ia bawa pulang, setiap kali menginap ia tidak pernah membawa baju ganti dengan alasan 'Aku juga laki-laki jadi tidak perlu membawa baju ganti.'

"Apakah lo sedang mandi atau bermeditasi?" Aku bertanya dari luar.

"Sabar, gue masih memanggil alam."

Malas menunggu lama di kamar, aku bergegas membersihkan sampah buatan Bagus. Jika aku tidak membersihkannya maka sampah ini akan tetap berada di tempatnya.

Setelah bersih-bersih semua aku turun ke bawah, menyiapkan motor untuk mencari makan. Sore hari mau makan bakso di depan komplek perumahan kemarin.

"Bambang, mau kemana lagi? Lo baru pulang," tanya Sofia.

"Mau keluar cari bakso, mau ikut?"

"Tidak apa-apa? Aku bisa ikut denganmu jika aku bisa."

"Ya, lo bisa, maaf melihatmu sendirian di rumah."

"Oke, tunggu aku 5 menit lagi," katanya, bergegas ke kamar untuk berganti pakaian.

Saat ini aku hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek yang dipadukan dengan slol jepit. Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian jadi begini saja.

Sofia sudah siap dengan pakaian, dia mengenakan T-shirt dengan celana panjang dan juga slol jepit, penampilannya tidak jauh berbeda denganku. Sedangkan Bagus belum turun dari lantai atas sejak itu.

"Bagaimana kalau kita pergi dengan mobil atau sepeda motor?" Aku bertanya pada Sofia.

"Ayo naik motor saja, aku ingin menghirup udara malam," jelasnya.

Bagus ternyata persiapannya lebih lama seperti ini, bahkan Sofia yang perempuan tidak terlalu ribet seperti Bagus.

Lihatlah gayanya sudah seperti pria yang akan datang ke rumah pacarnya, dan semua yang dia kenakan adalah milikku.

Ya Tuhan. Aku hanya tidak sering memakai pakaian seperti itu dan mengapa dia begitu mudah memakainya.

"Sudah?" Aku bertanya untuk memastikan.

"Baiklah, ayo masuk ke mobil, kan?"

"Kita naik motor, Sofia ingin menghirup udara malam.

"Hah? Sofia bersama kita?"

"Kenapa? Lo keberatan kalau aku ikut, Bambang tidak keberatan kalau aku ikut," kata Sofia singkat.

Aku tidak ingin ada pertengkaran antara Sofia dan Bagus, jadi aku meraih tangan Sofia untuk mengikutiku. Adapun Bagus, aku tidak peduli dengannya, karena kami sudah lama menunggunya.

Aku membawa motor RX king, tidak terlalu mencolok sehingga sangat pas dengan baju yang aku pakai. Kami berdua pergi duluan dan meninggalkan Bagus sendirian.

Berkendara di sore hari sangat memakan waktu karena bertepatan dengan jam kerja, sehingga kami harus mengantri karena padatnya kendaraan.

Bersyukur Sofia menyuruh kami naik motor kalau bisa naik mobil sampai malam.

"Bambang itu warung bakso," tunjuk Sofia.

"Tidak di sana, aku akan mengajakmu makan bakso yang sangat lezat tapi sedikit lebih jauh."

"Hah... Tidak semua bakso itu sama."

"Lo diam saja," kataku, mempercepat sepeda motorku.

Aku bisa melihat di kaca spion bahwa Sofia sedang mengencangkan sweter yang dia kenakan, aku tidak tahu apakah aku mengemudi terlalu cepat.

Dalam waktu satu jam kami sudah sampai di warung bakso yang pernah aku kunjungi bersama Putri. Kalian masih ingat bukan putri cantik yang kita selamatkan dari para preman.

Syukurlah, toko ini tidak tutup sehingga aku bisa menikmati bakso dan memberi kesan yang baik di Sofia.

"Tokonya sangat ramai," kata Sofia dengan takjub.

"Ya, terakhir kali aku ke sini, toko ini cukup sepi."

"Masuk!" bawa aku.

"Tunggu, Bagus tidak terlihat."

"Biarkan dia sendiri, ketika dia datang aku akan menelepon," aku menjelaskan, menarik tangan Sofia ke dalam.

Sungguh pemlongan yang luar biasa, karena setiap sudut warung ini sudah ditempati orang dan yang tersisa hanyalah kursi paling belakang.

Awalnya aku ragu untuk membawa Sofia ke sana tetapi dia bersikeras. "Kenapa berhenti? Ayo, Bambang, mari kita duduk di sana, aku sudah lapar."

Pada akhirnya Sofia dan aku duduk di pojok belakang toko, seperti orang yang tidak kami lihat sampai seorang pramusaji mendekati kami.

"Apa yang Lo inginkan, Tuan dan Nyonya?"

"Satu mie ayam bakso dan satunya lagi bakso kosong," Sofia memberitahunya.

Mataku mengamati gadis yang menjadi pelayan di depanku saat ini, wajahnya familiar. Aku pikir aku mengenalnya.

Sebelum sempat bertanya, tiba-tiba ponselku berdering, dan nama Bagus muncul di layar ponselku.

'Lo ada di mana?' tanya Bagus lewat telepon.

"Masuk saja, kita di pojok belakang," jelasku, langsung mematikan telepon.

Aku masih penasaran dengan gadis itu, kenapa aku lemah dalam mengingat wajah seseorang? Jika ini masalahnya, itu akan sulit.

"Kalian berdua gila, saatnya mencari tempat di sudut seperti ini!" Bagus memarahi.

"Lihat ke depan, ada tempat kosong lain atau nggak," kataku sambil memutar kepala Bagus ke depan.

Bagus mengangguk mengerti, alasan mereka duduk di belakang karena bagian depan penuh.

"Gue lihat Putri," Bagus memberitahu.

Aku pun langsung mengikuti arah pandang Bagus, dan menemukan sosok itu di sana. Ya, Putri.

Aku menghela napas panjang. Haruskah aku menemuinya? Atau tidak usah saja?

"Kita cari tempat lain?" tanyaku pada Bagus.

"Gila lo! Putri itu Bos!"