webnovel

Kenzo?

Untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini, aku mengelus dada. Ruang tamu apatemenku lebih terihat seperti sebuah gudang daripada sebuah ruang untuk menerima tamu.

Bagus hanya menepuk pelan pundakku lalu tersenyum tanpa dosa.

"Heh, gue izinin lo tinggal di sini, bukan berarti lo bisa ngacak-ngacak rumah gue seenaknya! Rapi dikit dong, brengsek!" gerutuku.

Bagus merebahkan tubuhnya di sofa, lalu tersenyum lebar ke arahku.

"Halah, santai aja kali Bams, orang lo juga nggak pernah nerima tamu kecuali Sayuti. Jadi ini ruang nggak guna-guna banget kan sebenernya!" sahut Bagus dengan santainya.

Tidak ada gunanya, dia bilang?

"Sebelum lo gue usir, mending lo rapiin ini tempat! Kalau perlu, lo kasih pengharum ruangan biar wangi!" Aku menatap Bagus kesal.

Bagus sendiri hanya terus tersenyum sebagai respon dari ucapanku.

"No! Lo nggak bisa usir gue, Bambang! Kalau lo usir gue, lo akan tinggal di sini berdua sama Sofia dong? Wah... bahaya kan, ya?"

Bagus menatapku dengan tatapan licik sekarang.

Tapi, benar apa yang ia katakan, akan sangat canggung jika aku hanya tinggal berdua saja dengan Sofia.

"Nggak mau tahu gue! Bersihin ni tempat!" Aku melemparkan sebuah bantal yang tergeletak tak jauh dari tempatku kea rah Bagus, yang kebetulan tepat sekali mendarat di atas kepalanya.

Rasakan!

Aku pun melangkah gontai meninggalkan ruang tamu untuk menuju dapur. Setelah kehadiran Sofia di rumah ini, napsu makanku jadi meningkat. Entah mengapa aku selalu merasa lapar.

Aku tidak berbohong, masakan gadis itu sama seperti masakan ibuku. Cita rasa yang selalu kurindukan.

Ibuku memang orang Jerman, akan tetapi, terlalu lama di Indonesia membuat belajar banyak masakan khas Indonesia.

"Em, Bams..." panggil Sofia yang baru saja memasuki dapur.

"Ada apa?"

Sofia terlihat gelisah. Ia lalu duduk di bangku meja makan. Gadis itu menatapku ragu.

"Kalo ada yang mau dimongin, ngomong aja!" aku menatapnya tajam.

Sofia menghela napas panjang, lalu mendongak menatapku.

"Gini, perempuan itu punya kebutuhan sendiri, kamu tentu paham kan, dan aku enggak mau ngemis ke kamu. Udah kamu kasih tempat tinggal aja udah untung banget. Tapi, aku juga butuh. Jadi... boleh nggak kalau aku cari kerjaan di luar? Aku janji kok akan masak tepat waktu. Aku nggak akan ngebiarin kamu dan Bagus kelaparan!"

Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Sofia. Gadis itu terlalu sopan.

Sejujurnya aku bisa saja memenuhi semua kebutuhannya. Tapi aku yakin, hal itu akan membuat Sofia merasa tidak nyaman.

"Ya udah kalau lo mau kerja, nggak masalah selama ada makanan yang bisa dimakan di rumah! Tapi emangnya lo mau kerja apa? Gue rasa umur kita nggak beda jauh! Asal lo tahu aja, nyari pekerjaan buat orang seumuran kita itu nggak gampang!" Aku memperingatkannya.

Sofia terdiam. Ia pasti tidak memikirkan hal ini sebelumnya.

"Bagaimana dengan pelayan took? Pelayan kafe? Atau karyawan di took baju?" Tanya Sofia ragu.

"Ini posisinya lo nggak pegang ijasah SMA Sof, lo nggak akan di terima semudah itu!"

Sofia merengut, ia terlihat sangat bersedih.

"Gimana kalau dia bantuin penjaga kantin buat jualan? Gue cukup sebel karena harus nunggu setiap kali mau jajan!" usul Bagus yang entah sejak kapan berdiri di belakangku itu.

"Apa bleh?" Tanya Sofia dengan penuh semangat.

"Bos Bambang akan mengaturnya! Santai saja!" Bagus melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.

Sialan!

"Serius Bams?" Sofia menatapku dengan mata berbinar-binar.

Jadi...

Mau tidak mau aku mengiyakan ucapan Bagus barusan.

"Bagaimana dengan gajinya? Aku nggak minta gaji yang besar kok, asal cukup buat menuhi kebutuhanku, aku udah terima!" seru Sofia dengan cepat.

"Emang apa sih keperluan lo? Lo di sini, jadi gue yang tanggung biaya hidup lo!"

Sofia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Perempuan itu punya kebutuhan yang nggak bisa diberitahukan kepada laki-laki," ucap Sofia malu-malu.

***

"Kenapa sih Bang?" tanyaku ketika memasuki gudang.

Aku cukup terkejut mendengar Bang Sayuti teriak-teriak dengan penuh emosi di dalam gudang.

"Ada tikus membawa lari barang kita!" sahut Bang Sayuti stelah melirik sekilas ke arahku.

"Anggota Elang Hitam?" tanyaku sambil duduk di salah satu kursi yang ada di sana.

"Bukan. Inilah kegoblokan mereka yang bikin gue murka. Mereka bahkan nggak tahu siapa yang udah ambil tuh barang!" Bang Sayuti terlihat sangat marah.

"Nggak ada CCTV?" Tanya Bagus.

"No, belum dipasang karena ini gudang baru." sahut Bang Sayuti dengan amarah tertahan.

Aku melirik kea rah para anggota Elang Hitam yang sudah babak belur di tangan Bang Sayuti.

"Wajah mereka udah nggak berbentuk tuh! Kasihan," ucapku lalu menghampiri Bang Sayuti dan menepuk pelan pundaknya.

"Kasihan? No! Mereka masih beruntung karena nggak gue bakar hidup-hidup!"

Aku menghela napas panjang mendengar ucapan Bang Sayuti.

"Gue masih berbaik hati buat ngasih kalian kesempatan! Bawa itu curut ke hadapan gue, kalau enggak, lo semua bakal gue bakar hidup-hidup!"

Setelah Bang Sayuti selesai mengucapkan hal itu, mereka pun segera beranjak pergi meninggalkan gudang.

"Bang, santai dikit Bang! Lo mau kena darah tinggi, terus jantungan? Lo juga bisa kelihatan cepet tua kalau marah-marah terus kayak gini!" Aku mengusap-usap pelan punggung Bang Sayuti.

"Bener tuh Bang! Santai dikit! Lo boleh marah, tapi jangan terlalu menggebu-gebu gitu! Lo belum nikah by the way! Kalo muka lo menua, nggak akan ada cewek yang mau sama lo!" imbuh Bagus.

Bang Sayuti menghela napas panjang, lalu melirik kea rah kami. Dia terlihat sedikit lebih tenang.

"Udah, lo berdua ke sini ada perlu apa?" Tanya Bang Sayuti sambil berjalan pelan menuju meja, dan meminum segelas air yang tersedia di sana.

"Bang, gue denger aka nada rapat penting sama para petinggi kelompok Elang, apa Elang Harpy juga akan hadir?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.

Bang Sayuti menoleh ke arahku dan menatapku tajam.

"Tentu mereka akan hadir. Kehadiran mereka cukup penting untuk rapat nanti! Tapi, jangan mimpi lo bisa ikut menghadiri rapat itu. Seperti yang lo tahu, hanya para tetua dan petinggi kelompok Elang aja yang bisa hadir!" Bang Sayuti mengalihkan pandangannya dariku setelah mengatakan hal itu.

"Ayolah, gue ini anaknya pimpinan Elang Hitam. Seperti yang lo bilang sebelumnya, gue dipersiapkan buat gantiin bokap, kan?"

Bang Sayuti tertawa sinis, dia lalu menghampiriku, lalu menggeplak keras punggungku.

Tentu saja itu sakit! Si gendut brengsek!

"Denger ya Bams, sekalipun bokap lo mati sekarang, lo tetap nggak akan diizinkan hadir di rapat itu, sebelum lo dapet izin dari KENZO!"

KENZO? Sial, apa lagi itu?

"Tetua dari tiga kelompok Elang? Mereka masih hidup? Gue dengar mereka bahkan udah nggak bisa berdiri, dan hanya bisa duduk manis di kursi roda?!" sela Bagus.

Sial! Dari mana Bagus bisa tahu semua itu?

Bang Sayuti mengangguk pelan.

"Bisa dibilang mereka penasehat dari kelompok Elang! Tentu saja mereka masih hidup! Gue rasa, mereka telah melakukan banyak sekali hal keji, hingga Tuhan menghukum mereka dengan hidup lebih lama. Well, manusia seusia mereka seharusnya sudah terkubur di dalam tanah." Bang Sayuti berujar kesal.

"Jadi, gue harus dapet pengakuan dari mereka dulu?"

Bang Sayuti mengangguk menanggapi ucapanku.

"Well, itu nggak mudah!" seru Bang Sayuti.

Memangnya, seperti apa mereka itu?