1 Si Kenari Rajawali

Semuanya berawal dari sini.

Dari kehadirannya yang sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa bahkan untuk anak di kelasnya. Dia tidak punya teman. Apalagi kekasih.

Ghania Wening atau yang disapa akrab Nia.

Musim Panas lalu dia diundang ke acara olahraga oleh seniornya yang kini sudah lulus. Dia tidak tahu bagaimana seniornya yang begitu populer bisa mengajak dia?

Namun, Ghania ternyata ikut jatuh hati dengan kegiatan tersebut dan ingin berkontribusi lebih jauh dalam klub olahraga di sekolahnya, dan dia memilih Voli sebagai kegiatan yang menarik.

Padahal banyak nona-nona bangsawan yang memilih menonton Golf yang dipercaya sebagai kegiatan yang lebih elegan dibanding berkeringat dan saling memukul bola berusaha memasuki area lawan.

Saking jarangnya anak perempuan yang suka Voli, gadis itu ngacir ke area putra dan jadi anggota yang mengurus club disela-sela waktunya, manager.

Tapi ya yang namanya kalau masuk anggota club yang ternyata ramai pendukung, dan harus—mau tidak mau dekat dengan anggota laki-laki populer, Ghania jadi bulan-bulanan nona bangsawan.

Walau akhirnya mereka langsung mundur saat tahu nama belakangnya Wening.

Tapi tetap saja, dia jadi punya panggilan khusus.

Bunga kenari Rajawali. Katanya itu pas untuk dia yang 'cantik' tapi murah.

Ini berhasil memperburuk masanya di Akademi menengah atas. Dan liburan ini lumayan membantunya jauh dari mereka, walau tidak mengubah sepenuhnya.

Kini sudah musim Semi saja. Liburannya yang cukup singkat. Untuk caturwulan baru ini, Ghania tidak punya banyak harapan.

"Apa kau bisa baik-baik saja tanpa mamah?" pertanyaan itu jadi kalimat sapa pertama pagi Ghania dari sang Ibu, Nyonya Wening.

Sang Ibu berdiri mengantarnya untuk hari ini. Dengan set formal yang dia pakai, kali ini berwarna silver. Terlihat elegan dan pantas untuk kedudukannya sebagai Baroness.

Ghania mengangguk. Ekspresi wajahnya terlihat menyedihkan. Ini adalah hari dimana dia akan pergi dan meninggalkan wilayah perbatasan ke pusat kota, Akademi Rajawali.

Setidaknya dalam satu semester dia akan pergi, lumayan lama karena akan menunggu yang musim panas di bulan Juli. Dan ini masih musim Semi. Tahun ajaran baru dimulai dari bulan April lagian, saat Cherry tumbuh.

Dia ingin mengatakan sesuatu.

Bahwa... dia tidak mau pergi.

Bahwa...

"Bacalah dokumen yang mamah berikan kalau kamu punya waktu. Dan sebelum menandatanganinya hubungi mamah. Mengerti?"

"Baik, mah."

Setelah selesai mengatakan itu, wanita itu memandang anaknya yang dibantu membereskan barang-barang. Tangannya mengambil ponsel, memastikan kalau anak gadisnya tidak memperhatikan.

"Dia sudah pergi ke Rajawali," bisik sang Ibu disusul dengan helaan nafas lega yang membuat Ghania meremat roknya saat naik.

Dia mendengarnya.

Dia selalu mendengar dan bertingkah seperti tidak mendengar apa-apa setelahnya. Dia selalu tahu tapi pura-pura tidak tahu.

Selalu begitu...

Selalu saja begitu....

"Nona..."

Apa jadinya ya kalau dia membiarkan orang tahu kalau dia tahu?

Atau apa yang akan terjadi kalau saja dia mengambil tindakan berbeda?

"Nona?"

Bagaimana kalau...

"NONA! NONA WENING! APA ANDA BAIK-BAIK SAJA?"

Ghania membelalakan matanya lebar-lebar. Terkejut dengan seruan dari sang supir dan juga apa yang tadi tengah dia pikirkan.

Apa ini?

Kenapa... tiba-tiba sekali dia berpikir begitu?

"Nona Wening, senang bertemu dengan anda. Saya Rinjani Adinata, pemimpin sementara Duchy Sejuta Kehidupan. Saya minta maaf atas kehadiran saya yang tiba-tiba."

Lebih kaget lagi dengan kehadiran sosok di depannya. Sejak kapan... wanita itu di situ?

Siapa tadi namanya?

"Rinjani Adina—"

"Putri! Mohon maafkan ketidaksopanan saya ini!" Ghania reflek membungkuk.

Yang boleh memakai nama Rinjani dan Adinata biasanya hanya bangsawan terpandang, dan kalau... digabung. Itu nama dari seorang Duchess sementara yang memimpin Wilayah Sejuta Kehidupan.

Dan dia sedang berbincang dengan orangnya langsung?!

"Nona... bisa berhenti melakukan tindakan itu."

Gadis itu memperbaiki ekspresinya dan kembali menatap sang Duchess, Rinjani.

Senyuman wanita itu terpantul dalam kaca mobil, tidak yakin maksudnya. Yang pasti, dia penasaran.

"Jadi, maksud kedatangan saya ke sini adalah membagikan undangan perjamuan penutupan musim Semi di kediaman kami."

Ghania mengedipkan matanya yang terasa kering karena harus menatap kaca.

"Ah... yang pasti. Nona harus menaati dress code kami, putih."

Ghania ingin menjawab sebelum bayangan dan tubuh wanita itu resmi hilang. Sihir teleportasi. Semua Duke punya kebebasan tersebut.

"Apa nona akan datang?"

"... Menurutmu, apa respon mamah terhadap undangan seperti ini?"

"... Nyonya?"

Ghania mengangguk.

Sang supir diam. Berhenti ketika sudah sampai di kereta cepat dengan logo Rajawali besar di depannya.

Ghania pikir pertanyaan itu tidak akan mungkin di jawab oleh sang supir.

Tapi sambil menurunkan barang milik sang Nona, dia berceletuk.

"Nyonya tidak akan datang."

"Eh?" Ghania terlalu cepat bereaksi membuat sang supir tertawa pelan.

"Nona, pada dasarnya ssmua bangsawan itu... ingin menonjol. Namun undangan dengan dress code warna putih untuk orang yang lebih muda adalah undangan pernikahan."

Ghania bingung.

Memangnya...

apa hubungannya warna putih dengan undangan pernikahan?

"Maksudmu Nyonya Rinjani ingin menikahiku?" tanya Ghania kelewat polos menoleh pada sang Supir yang sudah selesai mengangkat barang.

".... Bisa dalam artian tersebut juga, Nona. Tapi yang saya prediksi dari ucapan Nyonya Duchess Adinata adalah dia ingin nona menikah dengan kenalan atau kerabatnya."

"Tapi bukankah itu terlalu mencurigakan?" tanyanya sekali lagi, akhirnya keluar dari mobil menenteng tasnya.

Sang supir mengangguk. "Maka, Nyonya tidak akan datang ke acara tersebut. Apa nona mau saya mengirimkan pesan khusus kepada Nyonya?"

Ghania menggeleng.

"Tidak...."

"Baik, kalau begitu. Hati-hati Nona."

"Hati-hati...."

Nyonya Rinjani Adinata.

Kapan wanita itu meletakan surat undangan resmi di dalam tasnya?

avataravatar
Next chapter