14 14. Gao Yoo Joon

Yeona menginjak trotoar keluar taksi.

Dia kagum memandang gedung bertingkat tiga membelah langit cerah. Gedung putih berbentuk leter 'U' tempat tinggalnya selama beberapa bulan ke depan.

Gedung Balai Pelatihan Changuk Boseong, begitu tulisan di atas gapura.

Yeona berlari kecil menuju gedung karena nyaris terlambat mengikuti tes, tetapi suara gebrakan dari arah belakang membuatnya kaget, berhenti berlari.

Supir taksi menengadahkan tangan pada Yeona. "Nona, bayar ongkos taksi sepuluh ribu won!"

Yeona lupa membayar ongkos. Dia menghampiri taksi, menaruh jam tangan ke atas kap depan taksi. "Maaf, bayar pakai itu saja, ya. Harganya lebih dari dua ratus ribu won."

Jam tangan hitam tua, dulu dibelikan ayah untuknya ketika ulang tahun. Sekarang tidak berarti apapun bagi Yeona.

"Aku mau uang!" Supir taksi menaruh jam tangan ke kap taksi. "Ayo Nona, bayar."

"Uangku hilang. Ayolah, Tuan bisa menjual jam seharga dua ratus ribu won. Jual lima puluh ribu juga laku."

"Ah kau ini. Cantik - cantik tapi miskin. Hei Nona, kalau tidak punya uang seharusnya jangan naik taksi!" Supir merampas jam tangan.

"Terus bagaimana, apa maumu? Aku hanya bisa membayar pakai jam. Masih kurang? Bagaimana kalau sepatu? Tas?"

"Kau kira aku pembeli barang bekas? Aku mau uang! Kalau tidak bayar, aku lapor polisi!"

"Jangan Tuan, jangan lapor polisi." Yeona memelas. Dia sedang terburu - buru, jika berurusan dengan polisi, bisa panjang masalah.

Mau apa pula supir taksi memandangi Yeona sambil menggosok dagu. Senyumnya memuakkan. "Bagaimana kalau Nona membayar dengan menjadi istriku?"

Mata Yeona nyaris jatuh. Menjijikkan sekali pria satu ini. Harga Yeona hanya sebatas ongkos taksi? Murah sekali ….

"Bagaimana Nona?"

"Bagaimana apanya? Sepuluh ribu won, mau menikahiku? Mimpi! Kembalikan jamku, sini."

"Eits, tidak bisa."

Yeona berdebat panjang lebar dengan supir biadab. Mereka tidak sadar ada mobil mewah hendak masuk ke lahan depan balai.

Suara klakson mobil sport mewah mengagetkan mereka. Seorang gadis judes manis menengok dari jendela pintu depan mobil.

"Minggir! Kami mau masuk!"

"Suruh gadis ini membayar ongkos taksi, baru aku pergi," sahut supir taksi.

"Hei nona, bayar dia, dan enyah dari sini!" sentak gadis judes.

"Aku tidak punya uang. Bisa pinjami aku uang?" Yeona tanya.

"Wah, cantik - cantik, ngemis."

"Berapa?" Pemuda tampan keluar dari mobil mendekati Yeona.

Rambut bergelombang kekuningan mirip mie rebus. Wajah imut menggemaskan bak wajah bocah tanpa dosa, tetapi sorot mata sipitnya menyimpan kenakalan misterius. Semua gadis di trotoar terkagum - kagum pada pemuda kurus jangkung dalam kemeja satin branded. Yeona menerka dia seumuran dengannya.

Para gadis di trotoar berbisik-bisik.

"Bukankah dia Gao Yoo Joon?"

"Aigo, kamu benar! Dia aktor muda yang katanya hendak berperan menjadi pangeran itu, kan?"

"Calon pemeran Hwarang, bukan pangeran!"

Yoo Joon berdiri di sebelah Yeona. Matanya tidak berhenti menebar pesona pada gadis itu.

"Ada masalah apa, nona?" tanya pemuda pemilik bibir tipis merah muda. Cara berdirinya sombong.

"Supir taksi memerasku," sahut Yeona.

"Dia tidak punya uang untuk bayar taksi," timpal supir. "Padahal cuma empat puluh ribu won."

"Empat puluh ribu?" Yeona menunjuk wajah supir. "Katamu sepuluh ribu–"

"Lima puluh ribu won, cukup?" Yoo Joon menaruh uang ke atap taksi sambil tersenyum ramah.

"Cukup, Tuan." Supir merebut cepat uang sebelum Yeona merebutnya.

"Hei supir, ongkos taksimu sepuluh ribu won, kan?! Kembalikan empat puluh ribu won pada pemuda itu dan jamku mana?"

Supir tertawa kecil masuk ke taksi, memacu mobil sambil melambai. "Terima kasih, Tuan!"

"Kurang ajar, dasar supir korup!" sentak Yeona, jengah pada supir. "Hais, menyebalkan sekali!"

"Kamu berhutang lima puluh ribu won padaku, Nona," bisik Yoo Joon.

Yeona berbalik memandang pemuda sok ganteng di depannya sambil mengelus telinga. "Tidak sopan. Berani sekali kamu berbisik di telingaku?"

"Kamu baru aku tolong dan sekarang membentakku?" Wajah tirus Yoo Joon mendekati wajah Yeona. "Hutang, bayar, ingat."

Wajah Yeona memerah buah pear. Dia mendorong Yoo Joon hingga nyaris jatuh ke belakang. "Jangan kurang ajar, kau. Hanya lima puluh ribu, kan? Akan kubayar!"

Yoo Joon menengadahkan tangan. "Bayar."

"Nanti."

"Kapan?"

"Nanti!" Yeona berbalik melangkah cepat menuju gedung balai. Kurang ajar! Dia paling benci tipe pria seperti Yoo Joon, sok ganteng, sok berkuasa, kekanak - kanakan.

Suara klakson mobil mengusik dari belakang. Mobil mewah melambat di sebelah Yeona. Lagi - lagi Yoo Joon mengganggu.

"Lima puluh ribu won, Nona. Jangan lupa." Sok ganteng dia mengedipkan satu mata, lalu memacu kencang mobilnya.

"Pemuda kurang ajar. Aku tidak meminta uangnya, kan? Lagipula baru jadi artis saja sudah berlagak!"

Sesampainya di ruang depan gedung balai Yeona mengambil nomor antrian. Dia masuk ke auditorium, lalu dibuat kagum oleh suasana ruang remang elegan.

Panggung berdiri megah di salah satu sisi ruang. Di hadapan panggung berjajar sofa-sofa tersusun memanjang. Posisi sofa paling depan lebih pendek dari belakang, begitu terus hingga sofa paling belakang. Susunan sofa mirip tempat duduk dalam studio bioskop.

Dia duduk di salah satu sofa deret tengah sambil memperhatikan para peserta yang satu persatu maju ke panggung untuk menyanyi.

"Halo, boleh tahu namamu, Nona?" tegur gadis ramah, menghampiri Yeona. Dia memeluk i-pad di dada.

"Namaku Kang Yeona."

Gadis berambut hitam berpotongan model bob memeriksa sesuatu di i-pad. Wajah lonjong cantiknya cemberut. "Maaf Nona, namamu tidak terdaftar. Bagaimana?"

"Kakak Ok, biarkan dia ikut. Kasihan, jauh - jauh naik taksi, pulang tanpa mencoba." Yoo Joon melangkah santai menghampiri mereka. Lagi - lagi kedipan satu mata membuat Yeona muak.

"Tapi Yoo Joon, dia tidak terdaftar. Bagaimana kalau Kak Chung-hee tahu?" tanya Ok.

"Kalau Kakak diam, dia tidak bakal tahu."

"Hei bodoh, kenapa kamu membela gadis itu?" tanya gadis judes, di sebelah Yoo Joon. "Kak Ok, usir saja dia!"

Yeona tidak bisa berkata-kata. Dia tahu dirinya termasuk golongan ilegal. Andai ada giok, pasti bisa masuk tanpa ikut tes.

"Beri dia kesempatan, mungkin gadis ini punya kemampuan." Yoo Joon menjadi dewa penolong, tetapi Yeona tidak yakin dia melakukan ini secara cuma - cuma.

Yoo Joon lanjut berucap, "Biaya pendaftaran biar aku yang tanggung." Dia menyikut lengan Yeona. "Psst, ayo memohon pada kakak Ok."

Yeona bangkit, membungkuk pada Ok. "Saya mohon, ijinkan saya ikut tes."

Lama Yeona membungkuk, hingga Ok memberi jawaban. "Baiklah, silahkan duduk Nona Yeona. Semoga berhasil."

Selesai mencatat, Ok meninggalkan mereka bertiga pergi untuk memeriksa peserta lain yang baru datang.

Lagi - lagi Yoo Joon mensejajarkan mukanya dengan Yeona. "hutangmu banyak, loh." Dia terkekeh nakal, pergi duduk di sofa paling depan.

"Hmmp! Beruntung Yoo Joon memberimu kesempatan." Gadis judes mengikuti pemuda busuk.

"Ja In, sini!" panggil Yoo Joon pada gadis judes.

Fix, gadis menyebalkan itu pasti fans berat Yoo Joon! batin Yeona, kembali duduk. Terlepas dari masalah tadi, dia terhipnotis kagum oleh peserta tes.

Mereka sangat hebat, tampan dan cantik, juga pandai menyanyi. Apa Yeona mampu bersaing dengan mereka?

Andai dia tidak memberi handphone pada nenek, dia bisa mengabari beliau untuk menjelaskan pada mereka supaya Yeona bisa masuk tanpa ikut tes.

Ah tidak, jika dipikir lagi, cara seperti itu curang. Yeona bertekad mencoba masuk memakai usaha sendiri. Jika gagal, berarti dia tidak pantas berada di balai pelatihan ini.

Dia menghirup aroma hutan pinus di sapu tangan putih pemberian pemuda misterius untuk menenangkan diri. Entah kenapa aroma pada saputangan tidak asing. Aroma yang dahulu menemaninya selama satu malam.

"Yeona, giliranmu! Segera naik ke panggung!"

****

avataravatar
Next chapter