webnovel

Sedikit Karma Baik

BAB 4

Angela dan Cindy beranjak dari gerai yang menjual teh susu tadi. Mereka jalan-jalan keliling pusat pembelanjaan itu. Akhirnya mereka tiba di lobby pusat pembelanjaan tersebut. Tepat di lantai empat di atas kedua gadis itu, tampak seorang gadis lain yang meneteskan jutaan air mata dan bersandar pada birai kaca.

"Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini, Jahanam? Kenapa kau berbuat sekeji ini padaku? Kau mencampakkan aku setelah kau menikmati tubuhku. Dan sekarang setelah semua yang terjadi, kau sama sekali tidak mau mengakuiku dan mengakui perbuatanmu padaku! Kau bahkan menyangkal benihmu sendiri, dan menyangkal darah dagingmu sendiri! Terkutuk! Aku takkan memaafkanmu! Bahkan jika aku masuk ke dalam api neraka sekalipun, kau harus ikut dan sama-sama terbakar denganku!"

Mata memandang ke lantai bawah dengan gamang. Begitu tinggi, begitu membuat tubuh bergelugut dan gigi-gigi bergemelutuk. Kaki mengayun dengan gayang, bagai terikat dengan batangan besi ribuan ton. Raut muka mulai kepam, dihantam oleh sakit hati, pengkhianatan, kebencian, dendam, dan kekecewaan yang bertubi-tubi.

"Ini anakmu! Ini adalah anakmu! Kenapa bahkan melihatnya saja kau pun tidak sudi!" terdengar teriakan si gadis. Sedih, marah, kecewa, panik, dan benci semuanya bercampur baur dalam sekali teriakan tersebut.

Si lelaki mendorong si perempuan beserta bayinya dengan kasar. Tangisan bayi kian kuat karena terjatuh bersama-sama ibunya secara tiba-tiba.

"Kau kini tidak lebih dari barang bekas yang sudah aku sentuh! Siapa yang bisa menjamin bahwa setelah aku, kau tidak disentuh orang lain lagi? Siapa yang bisa menjamin dan memastikan anak itu adalah anakku?" tampak tatapan mata si lelaki yang mendelik tajam nan melecehkan.

"Aku hanya melakukannya denganmu! Aku hanya menyerahkan segala kesucian dan kehormatanku padamu! Kau memfitnahku! Kau bukan hanya tidak mau mengakui benih dan darah dagingmu sendiri, tapi kau juga melemparkan aib dan limbah dosa ini ke diriku seorang! Kau memang keparat! Aku takkan melepaskanmu! Aku takkan mendiamkan hal ini begitu saja!"

Si perempuan kembali menerjang ke arah si lelaki dengan membabi buta. Kali ini si lelaki memberikan satu tamparan telak ke wajahnya dengan kasar. Si perempuan dan bayinya jatuh tersungkur ke lantai. Terdengar lagi tangisan si bayi yang semakin keras dengan air mata yang menganak sungai.

"Aku sudah baik padamu, masih tidak tahu untung ya! Meski itu tidak pasti adalah anakku, aku sudah membiayai semua persalinan dan pengobatanmu ketika di rumah sakit. Sekarang pun aku akan bertanggung jawab terhadap biaya hidup anak itu. Kurang apa lagi coba! Jalang! Belum tentu itu adalah anakku, aku sudah mau membiayainya saja sudah syukur! Tidak tahu diri! Malah datang ke sini dan menuntut ini itu!"

Si lelaki berlalu dari hadapan si perempuan begitu saja. Si perempuan mengantar kepergian si lelaki dengan pancaran sinar mata yang penuh dengan kebencian dan dendam yang teramat dalam.

Titik kesadaran si perempuan muda kembali lagi ke alam realita.

Dia kembali melihat ke bawah. Hidup tidaklah berarti lagi. Semuanya sudah sia-sia. Dia sudah meninggalkan anak itu di rumah kedua orang tuanya. Dia tidak tahu-menahu lagi tentang nasib anak itu sekarang. Jika kakek neneknya juga tidak menginginkannya, anak itu mungkin akan berakhir di panti asuhan atau bahkan di jalanan. Dia sama sekali tidak mau tahu apa-apa tentang anak itu lagi!

Di bawah, Angela dan Cindy masih melanjutkan pembicaraan yang sama.

"Jangan-jangan kau sama sekali tidak tertarik pada Qomar karena adanya alasan lain," kata Cindy memandang ke mata Angela lurus-lurus.

"Alasan apa memangnya?"

"Misalnya, kau suka pada malaikat berbaju biru yang kauceritakan padaku itu."

Angela diam tidak bergeming. Dia segera membuang pandangannya ke arah lain.

"Benar kan tebakanku? Katamu mungkin saja malaikat berbaju biru itu adalah laki-laki yang selama ini hadir dalam mimpi-mimpimu. Bisa jadi…"

"Stop! Stop! Kembali ke pertanyaan terakhirku tadi. Jika kau masih belum memberikanku jawaban mengenai reinkarnasi tadi, jangan bicarakan soal malaikat berbaju biru itu denganku," Angela mengulum senyumannya dan hendak berjalan pergi.

Sekonyong-konyong ada sesosok tubuh yang terjun bebas dari lantai empat di atas dengan posisi kepala menghadap ke bawah. Tubuh itu jatuh tepat di hadapan Angela yang hendak berjalan pergi. Dalam waktu yang hanya dua sekian detik, kepala sudah mencapai lantai. Bagian wajah yang mencapai lantai terlebih dahulu. Terdengar bunyi tulang leher dan tulang belakang yang patah dengan cepat. Begitu tubuh itu mengonggok di lantai, bagian wajah sudah rata dengan darah merah segar yang bercucuran dari bagian mata, hidung, mulut, dan telinga. Darah merah segar mulai menggenangi lantai.

"Astaga! Wajahnya! Wajahnya!" Angela spontan mundur beberapa langkah.

Cindy kontan menjerit dengan lengkingan tinggi delapan oktaf sembari bersembunyi di belakang punggung temannya.

Arwah si mati mulai keluar dari tubuhnya yang kini mengonggok di lantai dengan posisi tubuhnya yang setengah telanjang. Sekonyong-konyong arwah itu menerjang ke arah Angela dan kedua tangan yang sedemikian kuat langsung mencekik leher si gadis malang. Angela kontan menempel pada tiang besar yang ada di belakangnya.

"Kau harus mati juga, Wanita Jalang! Kau merebut kekasihku! Kau menginjak-nginjak dan menghancurkan masa depanku! Ikut aku ke neraka, Wanita Jalang!" tampak senyuman mengerikan si arwah dengan kondisi wajahnya yang rata dan berlumuran darah.

"Apa yang terjadi? Astaga! Angela! Angela! Dia kesurupan! Temanku kesurupan! Tolong! Tolong!" jeritan Cindy kembali melengking tinggi dengan tingkat delapan oktaf.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"

Tampak tubuh Angela mulai naik ke atas dan kedua kakinya tidak menginjak tanah lagi. Wajahnya mulai berubah warna menjadi merah gelap. Semua orang yang berkerumun di tempat bunuh diri tersebut mulai mengalihkan perhatian mereka ke seorang gadis muda yang kesurupan. Sayang sekali… Tidak ada yang bisa dilakukan. Siapa pun tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Angela dari cengkeraman kebencian si arwah.

Sekonyong-konyong lagi, Angela mulai melihat kemunculan mendadak si malaikat berbaju biru di sampingnya. Hanya dengan sekali sapuan tangan, arwah yang sedang mencengkeram leher Angela segera terhempas pergi dan menghantam dinding batu pualam. Terdengar teriakan dari si arwah. Kali ini dia menatap sang malaikat dengan sorot matanya yang mendelik tajam.

Tubuh Angela melorot kembali ke bawah dan terjatuh ke dalam pelukan si malaikat berbaju biru.

"Kau penuh dengan energi kebencian yang teramat kuat. Tidak seharusnya kau berada di sini."

Sang malaikat menjentikkan jarinya. Di belakang si arwah muncullah lubang hitam, sama seperti yang dilihat Angela di stasiun tempo hari. Satu per satu partikel pembentuk tubuh si arwah mulai tersedot ke dalam lubang hitam.

"Lepaskan aku, Malaikat Biru! Selama dendamku belum tuntas, aku tetap akan datang menuntut balas! Lepaskan aku!" teriakan si arwah menghilang seiring dengan dirinya yang juga menghilang ke dalam lubang hitam.

Malaikat biru mengayunkan tangannya lagi. Energi warna biru berpendar ke segala arah. Otomatis, orang-orang yang berada di sekeliling melupakan kejadian barusan dan perhatian mereka kembali tertuju ke mayat yang tengah mengonggok di pusat pembelanjaan tersebut.

"Hah? Apa yang terjadi? Kenapa mereka…?" Cindy memandang ke sekelilingnya dengan bingung.

"Aku menghapus ingatan mereka tentang kejadian barusan. Bagaimanapun juga, manusia tidak boleh mengetahui tentang rahasia ilahi yang berada di luar dimensi mereka. Hanya beberapa manusia khusus yang boleh mengetahuinya," kata si baju biru mulai menggendong tubuh Angela yang lemas bagai tubuh tak bertulang.

"Lalu kenapa aku masih ingat dengan kejadian barusan? Dan kenapa aku bisa melihatmu?" tanya Cindy Victoria sedikit takut-takut.

"Kau bisa melihatku karena sekarang aku memang sedang memperlihatkan diriku kepadamu. Aku tidak menghapus ingatanmu karena kau adalah teman dekat Angela dan aku merasa kau bisa dipercaya," kata si baju biru dengan sebersit senyuman cerah.

Begitu gantengnya… Astaga… Dibandingkan dengan malaikat berbaju biru ini, si Qomar tidak ada apa-apanya. Pantasan Angela bisa menolak Qomar mati-matian demi bisa bertemu dan bersama-sama dengan si malaikat berbaju biru ini. Cindy menelan ludahnya berkali-kali karena terpana dengan kegantengan sang malaikat berbaju biru.

"Terima kasih, Baju Biru… Terima kasih sekali… Mungkin kini aku sudah akan menjadi arwah juga jika tadi kau tidak datang menolongku," bisik Angela lirih.

"Sekarang kau percaya bahwasanya selama ini kau memiliki seorang malaikat pelindung di sampingmu?" bisik si baju biru dengan sebersit senyuman cerah lagi pada wajahnya yang ganteng.

Angela hanya mengangguk dan membiarkan air mata haru menetes butir demi butir.

"Boleh aku tahu siapa namamu, Baju Biru? Apakah… Apakah malaikat memiliki nama?"

"Panggil saja aku dengan Baju Biru, Angela. Aku suka dengan nama itu," kata si baju biru masih dengan senyuman cerahnya. Ada… Aku memiliki sebuah nama juga. Tapi aku tidak boleh membocorkan rahasia identitasku sendiri kepadamu, Angela. Kau yang harus cari tahu siapa sesungguhnya aku, untuk bisa mengembalikan aku ke jati diriku yang sebelumnya.

"Menangislah jika kau ingin menangis. Ada aku bersamamu, aku takkan membiarkan siapa pun menyakitimu."

"Aku sangat takut tadi. Aku sungguh takut, Baju Biru…"

Angela mulai meledak dalam tangis sesenggukan. Dia menenggelamkan dirinya semakin dalam ke pelukan sang malaikat berbaju biru.

***

Felisha Aurelia jalan-jalan juga di sebuah pusat pembelanjaan di Siantar bersama-sama dengan Nenek Netty. Felisha Aurelia sedang melihat-lihat tas tangan, sepatu, dompet perempuan, dan baju-baju perempuan yang kebanyakan berwarna hijau. Tentu saja mata Nenek Netty yang peka bisa mengetahui apa gerangan yang sedang bergelitar di kuncup pikiran sang cucu.

"Dari tadi kau melihat-lihat terus barang-barang yang berwarna hijau, Fel. Seingat Nenek, kau bukan penyuka warna hijau," celetuk sang nenek.

"Memang bukan, Nek…" kata Felisha lirih, "Tapi ada seseorang yang aku kenal yang selalu identik dengan warna hijau. Mungkin dengan mengenakan dan memakai barang-barang yang berwarna hijau, aku akan bisa bertemu dengannya lagi."

"Masa lalu itu, Fel… Menurut Nenek sih… Ini menurut Nenek ya… Waktu keberangkatan itu, seharusnya kau melepaskan segalanya dan memandang ke depan. Jika kau terus memandang ke belakang dan tidak bisa melepas, akan ada sebagian dari pikiranmu yang ikut terbawa dan ikut terlahirkan di kehidupan yang selanjutnya. Jadinya yah kondisimu seperti sekarang ini… Asyik bermimpi tentang masa lalumu terus…"

"Entah kenapa aku merasa ada sebagian hal dari masa lalu yang belum mencapai tanda titik, Nek. Masih tanda koma, jadi aku harus menyelesaikannya sampai titik."

"Dan kemudian kau baru bisa melanjutkannya dengan huruf besar yang baru?" Nenek Netty mengajukan pertanyaan retoris ini dengan sebersit senyuman hangat.

"Iya… Aku bersyukur banget masih ada Nenek di sampingku. Nenek beda banget dengan Ayah dan Ibu yang sama sekali tidak percaya dengan segala ceritaku, dan bahkan mereka menganggap aku adalah anak yang kurang waras," senyuman sumbang menghiasi sudut bibir Felisha Aurelia.

Nenek Netty mengelus-elus kepala cucu perempuannya.

"Okelah… Nenek akan selalu mendukung apa yang menjadi keputusan dan pertimbanganmu, Felisha. Tapi, jangan terlalu dipaksakan juga ya… Kita terkadang hanya bisa mengikuti arus. Kita sama sekali tak bisa melawan arus."

"Iya, Nek…" senyuman kecut Felisha Aurelia menghiasi sudut bibirnya lagi.

"Ada yang ingin kau beli, Fel?" tanya si nenek.

Felisha Aurelia akhirnya memilih sepasang anting-anting bentuk bintang warna hijau. Setelah melakukan pembayaran di kasir, mereka keluar dari pusat pembelanjaan tersebut dan segera bergerak ke pelataran parkir.

"Nenek yang nyetir saja, Fel," kata Nenek Netty dengan sebersit senyuman hangat.

"Oke deh, Nek…"

Kadang memang Felisha salut dengan neneknya. Meski sudah berumur 82 tahun, sang nenek masih bisa bawa mobil sendiri, masih sanggup tinggal sendiri tanpa mempekerjakan seorang pembantu pun. Dan hebatnya adalah, setiap kali Felisha datang, rumah Nenek Netty selalu dalam keadaan bersih terawat.

Nenek Netty masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin mobil. Pas saat Felisha mau naik ke dalam mobil, di jalanan yang sudah agak lengang terdengar deru mesin suatu sepeda motor yang melaju dengan cepat sekali. Felisha Aurelia mengerutkan dahinya sejenak. Dia kemudian masuk ke dalam mobil.

"Anak muda zaman sekarang… Terutama yang baru beli sepeda motor…" kata Nenek Netty saat mobil sudah berbaur dengan lalu lintas yang sudah agak sepi.

"Anak muda yang melintas tadi baru saja membeli sepeda motor, Nek?" tanya Felisha sedikit tidak mengerti.

Nenek Netty mengangguk, "Garis hidupnya singkat sekali. Namun, ia masih diberi satu kesempatan. Jika ia tidak mempergunakan kesempatan itu dengan baik, kehidupannya yang sekarang harus berakhir."

Nenek Netty tampak berkonsentrasi terhadap lalu lintas yang ada di depannya. Felisha Aurelia tidak banyak bertanya lagi. Meski demikian, dalam hati ia bergidik ngeri juga memikirkan perkataan sang nenek barusan.

Benar saja… Sang anak muda dengan sepeda motornya yang melintas sangat cepat tadi tidak sempat menghindari seorang gelandangan yang entah muncul dari mana dan menyeberang jalan secara tiba-tiba. Rem mendadak pun terjadi. Sepeda motor sempat menyerempet si gelandangan. Si gelandangan jatuh tersungkur di jalan. Untunglah tidak ada luka berat.

"Jalan itu lihat-lihat dong, Pak! Mau cari mati, jangan di sini! Di rel kereta api sana! Biar matinya lebih cepat dan tidak menyusahkan orang!" terdengar makian si anak muda.

Dia gas sepeda motornya lagi dan segera berlalu dari sana, tanpa menghiraukan si gelandangan yang masih terbaring lemas di jalan. Sepeda motor melaju dengan kencang lagi. Pas di simpang empat depan rumah Nenek Netty, dia melihat lampu lalu lintas sudah berpindah dari hijau ke kuning. Alih-alih melambatkan sepeda motornya, dia malah gas sepeda motor tersebut dengan lebih kuat dan lebih kencang lagi. Sialnya, dari simpang yang berlawanan, datanglah satu truk ukuran sedang, mengangkut sawit yang lumayan banyak. Alhasil, tabrakan tidak terhindarkan lagi.

Felisha Aurelia keluar dari mobilnya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, melihat si anak muda beserta sepeda motornya tercampak jauh dan akhirnya mendarat di jalan lagi. Kali ini, tampak si anak muda sudah terbujur lemas di jalanan, diam dan sama sekali tidak bergerak.

Felisha Aurelia berlari-lari kecil menghampiri si anak muda. Dia tidak berani menyentuh tubuh itu. Tampak darah merah segar sudah mulai menggenang. Dia harus secepatnya mencari pertolongan. Jika terlambat sedikit saja, bisa-bisa nyawa si anak muda tidak tertolong.

"Hah? Aku… Aku sudah mati…! Aku sudah mati…! Tidak! Aku benar-benar sudah mati!" jeritan si anak muda di belakang Felisha terdengar begitu membahana memecah langit malam.

Felisha serta-merta berpaling. Sontak kedua matanya terbelalak lebar melihat arwah si anak muda yang kini berlumuran darah pada kepalanya. Darah tampak menodai jaket abu-abunya yang bagian depan.

"Tidak… Kau belum mati…" terdengar sebuah suara lagi dari arah kiri Felisha Aurelia.

Felisha Aurelia menoleh ke kiri dan ia terpana melihat kehadiran sang malaikat berbaju hijau.

"Kau yakin dia belum mati? Dengan kondisi darah yang sebanyak itu?" tanya Felisha Aurelia menunjuk ke genangan darah yang ada di hadapan mereka.

Si malaikat berbaju hijau menggeleng dengan mantap. "Tidak… Dia belum mati. Dia masih mempunyai sedikit napas kehidupan."

Si malaikat berbaju hijau kemudian berpaling ke anak muda yang kini bagai telur di ujung tanduk, berdiri di batas antara hidup dan mati. "Jika kau bisa minta maaf pada gelandangan yang tadi dan membuatnya tersenyum, kau bisa masuk kembali ke dalam ragamu. Setelah itu, kau akan koma selama tujuh hari. Di hari yang kedelapan kau baru bisa siuman."

"Gelandangan yang tadi?" tampak si anak muda sedikit terperanjat kaget. "Jelas-jelas ia yang salah menyeberang jalan tidak pakai mata! Kok aku yang harus minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanku! Kan dia tidak apa-apa dan bisa berdiri sendiri toh!"

Felisha Aurelia benar-benar terperengah dengan perangai si anak muda. Memang ada beberapa insan di dunia ini yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman, tidak pernah mau mengakui kesalahan dan selalu menganggap diri merekalah yang benar. Meski demikian, dia tidak sampai hati menelantarkan tubuh ini di jalanan, terutama pada jam-jam malam seperti ini. Dia mengeluarkan telepon genggamnya untuk memanggil ambulans.

"Siapa yang benar siapa yang salah sama sekali bukan urusanku, Anak Muda. Yang jelas, untuk bisa kembali ke ragamu, kau membutuhkan sedikit karma baik. Sedikit saja, tidak banyak… Aku sudah memberimu jalan bagaimana memperoleh sedikit karma baik dengan mudah. Pilihan ada di tanganmu sendiri."

Si malaikat berbaju hijau berpaling ke Felisha Aurelia lagi, "Kau sudah menelepon pihak rumah sakit supaya mereka mengirim ambulans ke sini, Fel?"

"Sudah…" Felisha Aurelia sedikit terpana karena ternyata si malaikat berbaju hijau mengetahui namanya.

"Ayo kita pergi dari sini…" kata si baju hijau menggandeng tangan Felisha Aurelia dengan santai. Sejurus kemudian, mereka berlalu dari tempat itu.

Mau tidak mau, si anak muda kembali ke tempat di mana ia menyerempet si gelandangan beberapa menit yang lalu. Tampak si gelandangan berusaha berdiri dengan kakinya yang tertatih-tatih. Sambil berjalan dengan terpincang-pincang, si gelandangan masuk ke sebuah jalan kecil di samping jalan besar tersebut. Si anak muda mengekorinya. Si gelandangan masuk lagi ke sebuah gang kecil dari jalan kecil tersebut. Si anak muda mengekorinya.

"Ayah sudah pulang… Ayah sudah pulang…" jerit dua anak perempuan kecil yang bahagia menyambut kepulangan sang ayah.

"Nasi kemarin enak sekali, Yah. Ayah ambil dari mana?" ujar si anak yang lebih besar. "Hari ini Ayah berhasil ambil nasi apa?"

"Ayah… Ayah perginya lama sekali…" tukas si anak yang lebih kecil.

"Maaf, Nak… Maaf sekali… Tadi sebenarnya ada dua bungkus mi kosong yang diberikan ibu-ibu yang berjualan di jalan besar depan sana. Tapi, waktu pulang Ayah kurang hati-hati. Ayah diserempet sepeda motor. Minya jatuh di jalan, dilindas habis oleh mobil dan kendaraan lain yang lewat," tampak beberapa butir air mata yang gelingsir di pelupuk mata si ayah.

"Ayah tidak kenapa-kenapa kan?" tanya si anak yang lebih besar menunjukkan raut muka khawatir.

"Tidak… Hanya luka kecil sih… Maaf, Nak… Maaf sekali… Malam ini terpaksa kalian tidak makan… Semua kios yang berjualan makanan sekitar sini sudah tutup."

"Sudah, Yah… Yang penting Ayah tidak kenapa-kenapa. Aku yang pergi minta saja. Di ujung jalan depan sana, dekat Siantar Square, masih ada banyak yang berjualan hingga jam tiga pagi nanti. Aku masih muda. Aku kuat jalan sampai sana."

"Malam-malam begini jalan ke sana sendirian bahaya, Nak… Ayah khawatir nanti bisa terjadi sesuatu padamu."

"Tidak apa-apa, Yah… Aku sudah besar. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Ke depannya, aku yang akan jaga Ayah dan Vita."

Si anak yang lebih besar berjalan keluar dari gubuk kecil mereka, yang hanya terbuat dari tripleks bekas, bambu-bambu bekas, dan beberapa lembaran seng bekas.

Tak kuasa si anak muda menahan derasnya air matanya yang mengalir turun, bak anak sungai di musim hujan. Aku dimarahi bosku hari ini karena sedikit kesalahan kecil. Aku merasa diriku ini sungguh tidak berguna, merasa kerjaanku tidak lagi berarti, dan merasa hidup ini tidak lagi berisi. Lantas, bagaimana dengan mereka ini? Mereka yang hanya hidup di hari ini, hanya mengandalkan makan dan minum untuk hari ini, tanpa tahu apa yang menanti mereka di hari esok, tanpa ada kepastian apakah mereka masih bisa melihat mentari pagi dan menghirup embun pagi di hari esok… Atas dasar apa aku harus mengeluh dengan hidupku? Atas dasar apa aku harus merasa tidak puas dengan hidupku yang sekarang?

Kembali terngiang-ngiang perkataan si malaikat berbaju hijau di telinga si anak muda. Yang jelas, untuk bisa kembali ke ragamu, kau membutuhkan sedikit karma baik. Sedikit saja, tidak banyak… Aku sudah memberimu jalan bagaimana memperoleh sedikit karma baik dengan mudah. Pilihan ada di tanganmu sendiri.

Oh, Buddha... Kenapa manusia baru bisa sadar di saat hidupnya sudah di ujung tanduk seperti ini? Kenapa rata-rata manusia baru menyesal dan bertobat setelah mendapatkan teguran keras dan pelajaran hebat? Si anak muda merasa terperengah.

Namun herannya adalah, begitu ia berpikir demikian, ia merasa ia mulai bisa memegang benda-benda yang ada di sekelilingnya. Ia mengelus-elus pelipisnya sendiri. Mengherankan sekali… Darah yang menggenang dan menetes-netes dari sana sudah tidak ada. Si anak muda kemudian mengekori ke mana perginya si anak perempuan gelandangan tadi.

"Aaaiihhh…! Tolong! Tolong!" mendadak terdengar jeritan si anak perempuan gelandangan itu. Si anak muda spontan menerjang ke depan guna melihat apa yang terjadi.

Setengah jam berlalu. Si ayah masih berdiri di depan gubuknya menanti kepulangan anak sulungnya dengan cemas. Penantian demi penantian, akhirnya sosok anak perempuan sulungnya menampakkan diri, berjalan dengan cepat dan terlihat begitu energik dan antusias.

"Dapat nasi goreng pakai telur dadar, Yah… Ada lima bungkus… Tiga bungkus kita makan sekarang. Dua lagi disimpan untuk esok hari. Besok pagi akan aku panaskan dan kita bisa makan lagi," tampak sebersit senyuman cerah si anak perempuan.

"Kenapa bisa ada sebanyak ini, Vika?" tanya si ayah dengan sedikit nada tidak percaya.

"Bang Jericho ini baik sekali, Yah. Dia menyelamatkan aku dari preman-preman di depan jalan besar sana. Dia juga membelikan kita lima bungkus nasi goreng ini, Yah. Aku kasih Vita makan dulu, Yah. Dia pasti sudah lapar karena lama menunggu."

Si Vika pun segera berlalu masuk ke dalam gubuk.

"Terima kasih, Anak Muda… Terima kasih sekali… Terima kasih…" si ayah terus membungkukkan badannya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Maafkan aku untuk kejadian tadi, Pak. Aku… Aku… Aku merasa kacau sekali hari ini. Apa-apa saja yang kukerjakan tidak berhasil dan aku dimarahi bos berkali-kali hari ini. Aku sungguh merasa tidak berguna."

"Bapak juga ingin bilang terima kasih yang sebesar-besarnya lagi, Anak Muda. Salah tidak apa-apa. Jika tidak ada salah, kita selamanya takkan tahu apa yang namanya benar. Asalkan ada niat untuk memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, itulah pembelajaran yang sesungguhnya dari kehidupan ini, Anak Muda," kali ini si ayah menampilkan senyuman kehangatan yang benar-benar hangat.

"Aku juga ingin bilang terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Vika malam ini. Hari ini sungguh aku merasa hidupku kacau dan diriku sangat tidak berguna. Namun, ketika melihat senyuman Bapak sekarang, entah kenapa mendadak aku merasa seperti memperoleh kembali kepercayaan diriku. Setidaknya masih ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menyenangkan orang lain."

Perlahan-lahan bayangan si anak muda mulai memudar. Semakin memudar dan memudar… dan akhirnya menghilang dari pandangan mata. Tetap tampak senyuman si ayah gelandangan yang tidak memudar. Dia percaya memang ada beberapa fenomena ganjil di dunia ini. Dan dia juga percaya ada beberapa fenomena ganjil di dunia ini yang bisa mengajarkan sesuatu yang berharga kepada umat manusia.

Si ayah gelandangan kembali masuk ke dalam gubuknya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Si malaikat berbaju hijau masih bertengger di lantai atas rumah Nenek Netty yang beratapkan langit. Terdengar suara pintu yang dibuka Felisha di belakang si malaikat berbaju hijau. Felisha tampak menghidangkan teh susu rasa green tea untuk si baju hijau. Tampak asap yang masih mengepul halus dari minuman hangat tersebut.

"Nenek sudah tidur?" tanya si baju hijau dengan sebersit senyuman kecut.

"Sudah… Aku bilang kau adalah temanku dari Medan tadi. Aku bilang kita sudah saling mengenal sejak SMP. Begitu Nenek merasa tenang, dia pun dengan cepat terlelap," kata Felisha sedikit cengar-cengir.

"Kau berbohong pada Nenek?" tanya si baju hijau meledak dalam tawa renyahnya.

"Setengah bohong sih…" kata Felisha dengan pandangan menerawang ke langit malam penuh dengan lautan bintang berbias sinar rembulan.

"Kan kita baru berkenalan…"

"Entah kenapa aku merasa aku sudah lama mengenalmu. Dan kita sangat dekat, sangat… sangat… dekat… Kau merasa begitu nggak?"

Si baju hijau meledak dalam tawa renyahnya lagi, "Bisa jadi kau melihatku mirip dengan seseorang yang kaukenal dengan baik, seseorang yang berasal dari masa remaja ataupun masa kecilmu."

"Entahlah… Segalanya serba buram… serba tidak jelas… Boleh aku tahu siapa namamu?" tanya Felisha lagi memandang lekat-lekat ke si baju hijau.

"Panggil saja aku dengan Baju Hijau. Malaikat hanya boleh memiliki nama panggilan, tidak boleh memiliki nama sesungguhnya seperti manusia," kata si baju hijau asal-asalan. Yang jelas, dia tidak boleh membocorkan rahasia identitasnya sendiri kepada gadis muda yang ada di sampingnya sekarang.

Felisha Aurelia hanya mengangguk lembut. Mendadak telepon genggamnya berbunyi. Begitu diangkat, terdengar suara amarah sang ayah di seberang. Raut muka Felisha Aurelia mulai merengut.

"Ngapain saja kau di rumah Nenek sana hah! Hari-hari biasa begini kok bisa ngeluyur ke sana pula! Ini bukan hari Sabtu atau hari Minggu loh, Fel! Kerjaanmu bagaimana? Kan sudah Ayah bilang kau harus pantau terus tuh restoran dan hotel yang Ayah percayakan padamu. Jika tidak, karyawan-karyawatinya bakalan lalai semua dalam melaksanakan tugas. Kau ini bagaimana sih! Jika Ayah bahkan tidak bisa mempercayai anak Ayah sendiri, kepada siapa lagi Ayah harus berharap?"

"Aku naik kereta api yang jam delapan besok pagi, Ayah. Aku sampai di Medan sekitar jam dua belasan begitu. Aku akan langsung masuk kerja sepulangnya dari stasiun besok."

"Apa yang kaupikirkan sebenarnya sih, Fel? Tolong tolong jangan berpikiran yang tidak-tidak! Jangan mengkhayal hal-hal yang sebenarnya tidak ada, Fel! Fokuskan saja pikiranmu pada hal-hal nyata yang ada di hadapanmu!"

"Iya, Ayah. Aku tahu…" Felisha Aurelia langsung memutuskan hubungan komunikasi.

"Ayahmu marah-marah kau lari ke Siantar sini pada hari-hari kerja begini?" tanya si baju hijau dengan sebersit senyuman kecut.

"Begitulah… Dia mempercayakan hotel dan restorannya padaku. Di semester akhir kuliahku begini, aku sudah harus mengurus satu restoran dan satu hotel. Cukup berat sih… Tapi, kadang bisa membantuku melewati hari demi hari, terutama di saat-saat aku mengalami kejadian mengerikan dan sama sekali tidak ada yang percaya dengan semua ceritaku."

"Tapi selama ini semua kejadian mengerikan itu tidak bisa membahayakan dirimu kan?"

"Iya… Hanya saja, kadang aku trauma dengan segala penampakan itu, terutama mereka dengan wujud yang tidak utuh lagi dan wujud mengerikan lainnya. Meski demikian, selama ini mereka sama sekali tidak berbuat hal-hal yang membahayakanku sih…"

Mendadak memori kesadaran Felisha Aurelia berpikir ke satu hal.

"Jangan-jangan memang ada beberapa dari mereka itu yang berbahaya dengan energi dendam dan kebencian yang teramat kuat, tapi selama ini ada kau yang diam-diam melindungiku, jadi aku sama sekali tidak berada dalam bahaya. Iyakah?"

"Kau percaya diri sekali…" si baju hijau spontan membuang pandangannya ke arah lain sembari mengulum senyumannya.

Mendadak Felisha Aurelia meraih tangan sang malaikat dan kemudian ia merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat.

"Terima kasih, Baju Hijau… Terima kasih… Di saat aku merasa diriku begitu tidak berdaya, di saat aku merasa aku hanya sendirian selama ini, kehadiranmu mendadak membuatku merasa tidak sendiri lagi. Selain Nenek, ada seseorang yang lain, yang bisa kuajak berbagi semua keluh kesah dan sedu sedan."

Tanpa disadarinya, setetes air mata mulai gelingsir di pelupuk mata Felisha Aurelia.

"Di saat aku berumur sepuluh tahun, ada sesosok hantu perempuan yang mendadak masuk ke kamarku ketika aku tidur siang. Dengan jeritannya yang melengking tinggi, dia beritahu aku ada korsleting pada kabel kulkas yang ada di lantai bawah. Jika aku tidak segera mencabut stekernya dari stok kontak, akan ada kebakaran besar di rumahku. Aku segera berlari ke lantai bawah. Tapi… Tapi…"

"Tapi kau terlambat. Terjadi kebakaran besar dan kau terjebak dalam dapur dengan kobaran api yang menjilat-jilat di sekelilingmu."

"Aku pingsan setelah itu. Mungkin tidak tahan dengan bau asap yang begitu menyesakkan. Anehnya, ketika aku siuman, aku sudah ada di rumah sakit tanpa luka bakar ataupun luka lecet sedikit pun meski aku terjebak dalam kobaran api hampir satu jam lamanya. Ayah ibuku pun terheran-heran. Mereka tidak menemukanku di puing-puing kebakaran, tapi menemukanku di rumah sakit. Kata si dokter dan suster, ada seorang pria dua puluhan yang membawaku ke sana."

"Kau ingat kejadian itu sampai sekarang?" tanya si baju hijau dengan pandangan menerawang.

"Tentu saja… Trauma itu begitu membekas. Dan aku yakin satu hal…"

"Apa itu?" perasaan si baju hijau mulai deg-degan.

"Kaulah yang menolongku waktu itu, Baju Hijau… Iya kan? Oleh sebab itulah, ketika aku mengucapkan terima kasih padamu sekarang, itu belum terlambat kan?"

Si baju hijau menggeleng ringan. "Kau tidak perlu berterima kasih padaku. Aku takkan membiarkan segala hal yang buruk terjadi padamu. Tidak akan…"

Si baju hijau menyeka ekor mata Felisha Aurelia yang mulai berair. Felisha Aurelia tersenyum lembut sejenak.

"Kadang aku berpikir, mungkin di kehidupanku yang sebelumnya aku telah melakukan satu dosa besar sehingga di kehidupan ini aku dibuat bisa melihat dan berkomunikasi dengan mereka yang dari alam-alam rendah dan harus mengalami berbagai kengerian terkait dengan alam-alam rendah itu. Menurutmu iya nggak?"

"Menurutku, satu dosa besar sih tidak ada… Menurutku, kau pasti hanya punya satu dosa kecil yang berkaitan dengan perasaan cintamu. Kau mencintai seorang pria dengan tulus. Kau menyerahkan hidup dan masa depanmu kepada pria itu. Namun, pria itu sangat bodoh karena tidak cukup berjuang keras demi kebahagiaan kalian. Kau pergi dan tentunya akan meninggalkan bilur-bilur penyesalan di hidup pria itu. Menurutku pasti begitu…"

"Ada di mana pria itu sekarang, Baju Hijau? Kau bisa mencari dan menemukannya?"

"Entahlah… Mungkin belum saatnya bagi dia untuk muncul di hadapanmu," kata si baju hijau berusaha menahan air matanya sendiri yang ingin bergulir turun.

"Tapi, entah kenapa ya dalam mimpi-mimpiku selama ini sepertinya aku sudah berbuat sesuatu yang malah menjerumuskan pria yang aku cintai ke dalam jurang bahaya. Aku bukannya menolongnya, tapi secara tidak sadar aku malah membahayakannya. Di akhir dari kehidupanku di masa lalu, aku sangat menyesal karena aku bahkan tidak memiliki waktu untuk meminta maaf padanya."

"Menurutku lagi, kau pasti punya waktu untuk bilang kau cinta padanya… Baginya, itu sudah lebih dari cukup."

"Kenapa cinta yang sedemikian dalam harus terpisahkan oleh hidup dan mati, Baju Hijau? Kadang aku merasa hidup ini sungguh tidak adil harus memisahkan kedua insan yang saling mencintai. Kenapa takdir tidak mempersatukan mereka saja dalam suatu kebahagiaan yang kekal abadi? Dalam mimpiku itu, aku harus pergi, meninggalkannya untuk selamanya. Aku berusaha untuk menggapai tangannya. Namun sayang sekali, sepasang tangannya itu mendadak menjadi sangat… sangat jauh… Sama sekali tidak terjangkau lagi. Aku hanya bisa menangis dalam kesendirian, menangisi takdirku yang kejam, dan sama sekali tidak tahu lagi kepada siapa aku harus berbagi segala sedu dan sedan tersebut."

"Perpisahan memang menyakitkan, Fel… Sangat menyakitkan… Tapi, aku rasa kau lebih beruntung dalam hal ini."

"Kenapa kau bisa berpendapat begitu?" Felisha Aurelia sedikit mengerutkan dahinya.

"Kau langsung meninggal dan terlahir ke kehidupan yang baru. Meski kau masih membawa sayup-sayup penderitaanmu dari masa lalu, setidaknya kau sudah melupakan 80% penderitaanmu itu. Sementara, bayangkan pria yang mencintaimu itu. Dia bisa saja hidup lama setelah kau pergi meninggalkannya. Dia bisa saja hidup sampai 100 tahun dan baru meninggal pada tahun 2005 lalu. Dia membawa segala derita, segala gundah, segala gulana, dan segala penyesalannya sampai dengan usianya yang mungkin 100 tahun. Sekarang kau lihat… Siapa yang jauh lebih tersiksa?"

Felisha Aurelia tertegun selama beberapa detik. Sedih dan sedan kembali meruak di reluk-reluk hatinya.

"Oleh sebab itulah, tadi aku bertanya padamu apakah kau bisa menemukannya atau tidak."

"Apa yang akan kaukatakan padanya jika kau berhasil bertemu dengannya?"

"Aku akan menebus penderitaannya yang sampai usianya yang 100 tahun itu. Aku akan menebusnya dengan menemaninya, dengan bersama-sama terus dengannya sampai dengan ujung jalan kali ini."

Senyum merekah di bibir malaikat hijau.

"Oke deh… Anggap saja kau masih memiliki hati nurani. Kalau begitu, aku akan membantumu mencarinya."

Senyum juga merekah di bibir Felisha Aurelia. Dia kembali merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat hijau. Kedua-duanya membiarkan perasaan mereka hanyut dan mengikuti arah angin malam yang berhembus. Di langit malam, gemintang ribuan bintang tampak terus berarak – terus bergulir, terus bergelitar.