webnovel

Sebuah Rencana: Siapa yang Lebih Pintar?

BAB 20

Tanah Deli, pertengahan Oktober 1932

Akhirnya, malam bagi tiga sahabat The Amazing Boys untuk mengeksekusi rencana mereka datang juga.

Tanah Simalungun sangat ramai malam ini karena sang jenderal petinggi Belanda mengadakan pesta besar-besaran dan mengundang hampir semua rakyat Tanah Simalungun. The Amazing Boys sampai juga di Tanah Simalungun satu jam sebelum pesta dimulai. Anak-anak buah dan anggota-anggota 3P yang lain juga sudah tiba di Tanah Simalungun satu jam sebelum pesta dimulai dan sudah mengawasi bank milik si jenderal Belanda dari kejauhan. Sejak awal bank itu sudah dikepung oleh anak-anak buah The Amazing Boys dan anggota-anggota 3P dari kejauhan. Begitu waktunya tiba, mereka akan bergerak bersama-sama dan menyerang bank tersebut dari sepuluh arah yang berbeda.

"Selamat datang di pestaku ini, The Amazing Boys… Suatu kehormatan, tiga jenius bisa datang dan menghadiri pestaku ini…" kata Jenderal Ambrose dengan sebersit senyuman sinis. Memang dia sengaja mengundang tiga sahabat The Amazing Boys ke pestanya untuk menunjukkan pengaruhnya dan jumlah kekayaan yang dimilikinya sehingga bisa mengadakan pesta yang sebesar ini.

"Heran… Kenapa pesta sebesar ini tidak diadakan saja di Tanah Deli sana? Kan di sana bisa lebih banyak tamu yang hadir…" komentar Boy Eddy melarikan pandangan matanya ke seisi pesta.

Tampak ada banyak makanan, minuman beralkohol, segala jenis minuman ringan, segala jenis makanan ringan dan aneka makanan luar negeri lainnya. Tampak ada banyak tarian dan banyak pemain musik yang diundang ke pesta. Tampak juga banyak ketua adat, para tokoh masyarakat, para pengusaha, dan para tokoh berpengaruh lainnya yang berasal dari Tanah Deli, Tanah Perbaungan dan Tanah Simalungun.

"Sesekali boleh dong mengadakan pesta di luar dari Tanah Deli. Hasil panen dari sini juga tak kalah banyak dengan hasil-hasil panen yang berasal dari Tanah Deli loh… Semacam perayaan hasil panen begitulah…" komentar Jenderal Ambrose sembari sedikit meringis.

Tampak Jacky Fernandi berdiri agak jauh dari keramaian, menggenggam segelas jus strawberry dan berdiri berhadap-hadapan dengan Bu Olivia Pangdani.

"Ivana tidak datang, Jack?" tanya Bu Olivia dengan sorot mata dingin.

"Tidak… Begitu mendengar dia bakalan bertemu dengan Ibu di sini, dia memilih tidak datang. Lagipula, dia lagi berbadan dua sekarang. Aku tidak ingin dia terlalu lelah menempuh perjalanan jauh."

Bu Olivia melebarkan sepasang matanya. "Ivana sudah hamil? Kalian akan segera punya anak?"

Jacky Fernandi hanya mengangguk cepat.

"Bagus deh… Akhirnya aku akan punya cucu… Aku akan segera jadi nenek…"

"Yang jadi kakeknya siapa? Ayah James atau si Jenderal Ambrose ini?" terdengar nada sinis dalam pertanyaan Jacky Fernandi.

Bu Olivia Pangdani hanya merapatkan kembali sepasang bibirnya.

"Aku heran… Bagaimana Bu Olivia bisa menghadiri pesta ini dan menemani Jenderal Ambrose itu dengan begitu santai dan sama sekali tidak takut ketahuan?" Jacky Fernandi sedikit menyipitkan kedua bola matanya.

"Kan ini di Tanah Simalungun, bukan di Tanah Deli, Jack…" senyuman sinis nan santai menghiasi sepasang bibir Bu Olivia Pangdani.

"Apa alasan yang Bu Olivia berikan kepada Pak James memangnya?"

"Bilang aku ingin menghadiri perkumpulan arisanku di Tanah Simalungun ini loh… Aku naik kereta api dari stasiun kok. Aku tidak naik mobil Ambrose," jawab Bu Olivia Pangdani dengan nada santai.

Jacky Fernandi mengangguk santai juga. "Oke… Oke… Anggap saja Bu Olivia Pangdani ini adalah wanita yang benar-benar hebat – bisa menginjak dua perahu sekaligus."

Mendadak ada satu anak buah yang mendekati Jenderal Ambrose dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Sepasang mata si jenderal langsung membelalak lebar. Emosi mulai naik. Wajah mulai merah padam. Gigi-gigi mulai bergemelutuk dengan urat-urat di lehernya yang mulai tampak jelas.

"Kurang ajar mereka! Mereka berani menggelar demonstrasi di sini! Hadang mereka di pintu masuk! Jangan biarkan mereka masuk ke sini! Jika ada yang berani melawan dan berbuat macam-macam, tembak dan matikan di tempat saja!"

Si anak buah mengangguk dan segera berlalu.

"Ada apa memangnya, Jenderal?" tanya Kenny Herry dengan sebersit senyuman sinis. "Di pestamu ini, seharusnya kau tersenyum dan bersenang-senang dong. Kok malah bermuram durja?"

"Ada yang menggelar demonstrasi di luar gerbangku sana malam-malam begini! Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kalian bukan?" tampak gigi-gigi Jenderal Ambrose yang masih bergemelutuk.

"Wow… Kami sangat hebat sekali ya dalam pandangan mata Jenderal Ambrose," sahut Boy Eddy meneguk segelas teh hijau kesayangannya. Jelas terdengar nada sinis dalam suaranya.

"Dengan adanya demonstrasi ini, pestaku menjadi terganggu. Mau dikemanakan mukaku ini! Awas jika sampai ketahuan siapa dalangnya!" masih tampak pandangan mata Jenderal Ambrose yang menyala-nyala ke tiga sahabat The Amazing Boys.

"Ada apa, Brose?" tanya Bu Olivia Pangdani tampak berjalan mendekati pasangan selingkuhannya.

"Di luar gerbang sana, mendadak entah dari mana datangnya serombongan massa yang berdemonstrasi! Entah perbuatan siapa ini! Awas jika sampai ketahuan olehku siapa dalangnya!"

Bu Olivia Pangdani kontan berpaling ke tiga sahabat The Amazing Boys. Tiga sahabat terlihat menikmati makanan dan minuman mereka dengan lahap. Bu Olivia terus menatap mereka bertiga dengan sorot mata dingin.

"Bagaimana kalau kau tangkap salah satu dari para demonstran itu dan ancam dia sampai dia mengatakan siapa dalang di balik demonstrasi malam ini, Brose?" Bu Olivia memberikan semacam saran yang mengancam ketiga sahabat The Amazing Boys. Meski demikian, tiga sahabat The Amazing Boys masih tampak tenang, santai, dan tak bergeming.

"Tidak bisa loh, Olivia… Dengan menangkap salah satu dari mereka secara paksa, kita hanya akan menciptakan keributan massa. Bisa-bisa, mereka justru akan ribut besar dan menerjang masuk ke dalam sini. Aku tidak ingin kehilangan mukaku di hadapan tamu-tamuku malam ini." Jenderal Ambrose kembali menatap tiga sahabat The Amazing Boys. Tampak tiga sahabat The Amazing Boys masih menikmati makanan dan minuman mereka dengan lahap.

Salah satu anak buah Jenderal Ambrose yang lain masuk ke dalam dan membisikkan laporan kepada Jenderal Ambrose lagi.

"Jenderal… Mereka mulai membakar ban di jalan depan sana dan memaksa untuk masuk ke sini. Apa yang harus kami lakukan?"

Kemarahan dan emosi Jenderal Ambrose mulai memuncak. Dia tahu jelas dalang dari semua demonstrasi ini adalah tiga sahabat The Amazing Boys yang kini berdiri di hadapannya. Namun, dia sama sekali tidak memiliki bukti yang bisa mengaitkan tiga sahabat The Amazing Boys ke demonstrasi yang sedang terjadi di depan. Dia hanya bisa memendam emosinya sendiri. Awas saja jika nanti aku berhasil menemukan bukti keterlibatan kalian ya! Awas saja! Aku akan membuat kalian menyesali apa yang telah kalian perbuat!

"Lepaskan tembakan peringatan ke udara! Jika ada yang berani berbuat macam-macam, tembak saja di tempat! Kali ini mereka tidak main-main! Tapi aku juga tidak main-main! Kerahkan seluruh polisi dan petugas keamanan yang ada di Tanah Simalungun ini! Perketat penjagaan di gerbang depan sana! Jangan sampai mereka masuk!" suara Jenderal Ambrose berdentum. Beberapa tamu bahkan mengalihkan perhatian mereka ke arahnya.

"Tenangkan dirimu, Brose… Tenangkan dirimu… Nanti kau tidak bisa menikmati pesta ini. Pesta ini jadi sia-sia nantinya. Biarkan saja mereka berdemonstrasi di luar. Dengan memperketat penjagaan kita, mereka takkan bisa menerjang sampai ke sini. Mereka takkan mendapatkan apa-apa," kata Bu Olivia sembari terus menatap ke tiga sahabat The Amazing Boys dengan sorot mata sinis.

Rio Augusto melihat Jacky Fernandi juga berada di kerumunan pesta. Dia tidak membuang-buang waktu lagi dan segera menghampiri rival cintanya itu.

"Ada angin apa yang membawa Jacky Fernandi Yiandra ke sini malam ini?" Rio Augusto tampak tersenyum sinis.

��Sesekali aku boleh kan menghirup udara segar di luar? Hitung-hitung menambah pengalaman dan aku bisa belajar banyak hal dari suatu kekalahan," Jacky Fernandi juga tampak tersenyum sinis.

Rio Augusto langsung mencengkeram kerah baju Jacky Fernandi.

"Kembalikan Ivana padaku! Aku yang duluan mengenalnya! Seharusnya dia menjadi istriku sekarang dan mengandung anakku, bukan anakmu!"

Tentu saja berita kehamilan Ivana sudah sampai ke telinga Rio Augusto. Jacky Fernandi tampak tersenyum santai. Informasi tentang Ivana ke Rio Augusto rupanya cepat juga.

Jacky Fernandi menepiskan cengkeraman tangan Rio Augusto pada kerah bajunya dengan santai.

"Aku sangat mencintai Ivana! Aku tidak mungkin merelakannya kepadamu! Lagipula, sejak awal Ivana memang tidak memiliki perasaan yang sama terhadapmu, Rio! Jangan bertindak bodoh! Ivana adalah milikku! Sekarang dia tengah mengandung anak kami! Itu adalah bukti cinta kami berdua! Aku takkan membiarkan kau menghancurkan kebahagiaan kami! Kau mengerti kan?" nada suara Jacky Fernandi memang santai, namun sarat akan ketegasan dan keseriusannya.

Rio Augusto masih menatap sang rival cintanya dengan sorot matanya yang menyala-nyala. "Cepat atau lambat aku pasti akan mendapatkan Ivana kembali. Kita lihat saja nanti…!"

Terry Liandy juga melihat Boy Eddy sedang meneguk segelas teh hijau di bagian samping rumah besar yang terdapat sebuah kolam renang yang luas nan besar. Terry Liandy berjalan menghampiri Boy Eddy dari belakang.

"Oh, Boy Eddy yang terkenal dengan sindiran politik dan teguran kerasnya dalam masyarakat bisa memunculkan diri di sini. Sungguh suatu kesempatan langka bagiku untuk bisa bertemu dengan sang sastrawan jenius dari Tanah Deli di sini," terdengar suara Terry Liandy di belakang Boy Eddy.

Boy Eddy berpaling dan tersenyum sinis kepada rival cintanya itu.

"Ada yang bisa aku bantu, Terry Liandy?" tanya Boy Eddy dengan sedikit sorot mata menantang.

"Sudah naik derajatmu rupanya. Baju, celana, ikat pinggang, dan bahkan jam tangan sudah merek mahal." Terry Liandy mengelus-elus kerah baju Boy Eddy sejenak.

"Aku tentu saja tidak bisa membedakan mana merek mahal dan mana merek murah. Aku hanya pakai barang-barang yang dibelikan oleh Valencia untukku, Terry. Sorry jika aku mengecewakanmu," kata Boy Eddy dengan sebersit senyuman sinis menghiasi sudut bibirnya.

Mendadak Terry Liandy langsung mencengkeram kerah baju Boy Eddy dengan sinar mata tajam.

"Aku takkan menyerah begitu saja. Aku teman masa kecil Valencia. Kami sudah dekat sejak kami kecil. Dia akan menjadi istriku. Nikmatilah kebersamaan kalian selagi ada. Karena cepat atau lambat, aku akan menariknya pulang dan kami akan segera menikah!"

Boy Eddy menepiskan cengkeraman tangan Terry Liandy pada kerah bajunya.

"Ada seorang temanku yang juga memiliki seorang teman masa kecilnya. Namun sayang sekali… Dia sama sekali tidak mencintai teman masa kecilnya itu. Dia mencintai pasangan hidupnya yang sekarang. Jadi, seperti yang kau bisa lihat�� Tidak selalu teman masa kecil bisa menjadi pasangan hidup kita. Aku heran… Dengan persyaratanmu ini, kenapa kau bersikukuh menginginkan Valenciaku? Kan di luar sana masih ada banyak gadis yang mengantre untuk menjadi istrimu… Ada-ada saja…"

"Aku ingin Valencia saja… Aku sangat mencintainya… Kami sudah lama bersama… Aku tak percaya kenangan kami tidak bisa mengalahkan kenanganmu bersamanya yang hanya sebentar. Aku akan menariknya pulang dan kami akan segera menikah! Aku tidak main-main, Boy Eddy!" suara Terry Liandy sudah terdengar rendah dan berat.

"Aku juga tidak main-main! Aku juga sangat mencintai dan menginginkan Valencia! Barang siapa yang mau mengusik kebahagiaan kami, dia akan berurusan denganku! Aku takkan bermurah hati lagi seperti dulu! Cobalah dan kau akan melihat apa-apa saja yang bisa kulakukan!"

Boy Eddy menatap rival cintanya dengan sorot matanya yang mendelik tajam.

Terry Liandy dan Rio Augusto bergerak menjauh dan masuk kembali ke rumah besar. Sejurus kemudian, Kenny Herry mulai mencari-cari kedua sahabatnya. Akhirnya ia menemukan Boy Eddy dekat dengan kolam renang dan menemukan Jacky Fernandi di taman belakang Jenderal Ambrose Vanderbilt.

"Sudah saatnya kita cabut, Boy, Jack… Perampokan bank sudah selesai. Dalam waktu hanya lima belas menit, anggota-anggota 3P kita sudah berhasil menguras seluruh isi bank, tanpa adanya kekerasan dan tanpa ada jatuh korban. Mereka kini sudah mundur kembali ke Tanah Deli," bisik Kenny Herry.

"Oh ya…? Gampang sekali si Ambrose Vanderbilt ini terkecoh rupanya… Oke deh kalau begitu… Kita juga harus secepatnya mundur dari sini…" ujar Boy Eddy.

"Aku juga tidak menyangka dia bakalan tertipu semudah itu. Iya… Kita sudah harus mundur dari sini," sahut Jacky Fernandi. "Sejak tadi ia memang sudah mencurigai kita yang mendalangi demonstrasi di luar. Hanya saja, dia tidak berani bertindak macam-macam terhadap kita karena tidak ada bukti."

Ketiga sahabat The Amazing Boys tampak mengundurkan diri perlahan-lahan dan akhirnya menghilang dari pandangan mata tanpa sepengetahuan yang lain. Sejurus kemudian, salah satu anak buah Jenderal Ambrose menghampiri Jenderal Ambrose lagi dan memberikan laporan mengenai kondisi banknya sekarang.

"Apa! Tidak! Tidak! Kau pasti bercanda!" teriak Jenderal Ambrose di ruangan kerja dalam rumah besarnya. Dia meneguk segelas arak guna menenangkan emosinya yang sudah berkecamuk nan bergejolak.

Terdengar Jenderal Ambrose Vanderbilt menggebrak meja. Sang anak buah yang berdiri di hadapannya tentu saja terperanjat kaget.

"Aku bilang kerahkan semua polisi dan petugas keamanan yang ada di Tanah Simalungun ini, bukan berarti petugas-petugas yang berjaga-jaga di depan bankku itu juga kalian tarik! Kenapa sih kalian bisa segoblok dan seidiot itu! Habis sudah seluruh harta dan kekayaan yang aku simpan dalam bank itu! Di mana ketiga sahabat The Amazing Boys itu! Ada di mana mereka! Bawa mereka ke sini dan mereka harus menjelaskan kepadaku apa sesungguhnya yang telah mereka perbuat pada bankku!" terdengar suara Jenderal Ambrose yang berdentum.

Si anak buah keluar. Sejurus kemudian, ia masuk lagi dan memberikan laporannya dengan raut wajah takut-takut dan harap-harap cemas.

"Jenderal… Jenderal… Tiga sahabat The Amazing Boys sudah tidak tampak di keramaian pesta di luar."

"Apa kau bilang!" Jenderal Ambrose meninggikan nada suaranya dan menggebrak meja lagi.

"Tidak tampak lagi, Jenderal… Kata satpam penjaga gerbang depan, ketiganya sudah pulang naik mobil mereka sendiri kira-kira lima belas menit lalu."

"Bagaimana dengan demonstrasi di depan? Masih terus berlanjut?" Jenderal Ambrose tampak menyipitkan kedua matanya.

"Tidak lagi berlanjut, Jenderal… Mendadak semuanya bubar dan menghilang entah ke mana…" si anak buah melapor.

Jenderal Ambrose mencampakkan vas bunga yang ada di atas mejanya ke dinding ruangan kerjanya. Tampak gigi-gigi Jenderal Ambrose yang bergemeretak. Vas bunga tampak pecah berkeping-keping di lantai.

"Memang sejak awal mereka sudah merencanakan untuk merampok bankku. Demonstrasi di depan hanya akal-akalan mereka untuk mengelabuiku. Mereka memang pintar… Ketiga anak muda itu telah berhasil memperdayaiku dengan menggelar demonstrasi abal-abal di gerbang depan. Mereka pasti belum jauh… Mereka belum jauh… Aku akan mengejar mereka dan mengancam ketiga anak muda sialan itu untuk mengembalikan semua uang dan kekayaanku yang telah mereka ambil."

Jenderal Ambrose Vanderbilt berjalan ke sudut ruangan kerjanya. Dia memikul sebuah senapan laras panjang dan bergegas keluar. Dia memanggil beberapa anak buahnya yang berjaga di depan untuk mengikutinya naik ke mobilnya. Salah satu anak buahnya tampak mengemudikan mobilnya keluar dari areal pekarangan rumahnya yang sangat luas.

Olivia Pangdani, Dedrick de Groot, dan Terry Liandy hanya bisa mengikuti perginya mobil Jenderal Ambrose dengan kerutan yang dalam di dahi mereka.

Jenderal Ambrose memerintahkan kepada anak buahnya untuk menambah kecepatan pada mobilnya. Tampak mobil Jenderal Ambrose dengan atap terbuka melaju dengan kencang di jalanan malam yang mulai sepi. Sepuluh menit berlalu… Akhirnya dari dalam mobil, Jenderal Ambrose bisa melihat sebuah mobil di depannya.

"Sepertinya itu mobil mereka, Jenderal," tukas salah satu anak buah Jenderal Ambrose.

"Dekati mereka!" teriak Jenderal Ambrose.

"Sepertinya ada mobil yang mengekori kita dari belakang, Ken…" kata Jacky Fernandi. Kebetulan pada waktu itu yang mengemudikan mobil adalah Kenny Herry.

"Sepertinya mobil itu aku kenal…" kata Kenny Herry sembari mengerutkan dahinya. Dari kaca spion, Kenny Herry bisa melihat dengan jelas model dan warna mobil yang mengekori mereka.

Boy Eddy langsung berpaling ke belakang dan ia bisa melihat Jenderal Ambrose sudah berdiri dan membidikkan senapannya ke mobil mereka. Boy Eddy mulai berteriak.

"Hati-hati, Ken, Jack…! Jenderal Ambrose ada dalam mobil di belakang kita itu! Dia sedang membidikkan senapannya ke mobil kita!"

Tiga tembakan beruntun dilepaskan. Kenny Herry mengarahkan mobilnya ke kiri dan ke kanan guna menghindari tembakan tersebut. Boy Eddy terpaksa harus membungkukkan kepalanya beberapa kali guna menghindarkan kepalanya dari peluru nyasar. Satu tembakan dilepaskan lagi dan kaca belakang mobil The Amazing Boys terkena peluru lagi. Kaca langsung pecah dan pecahan-pecahannya jatuh menghujani diri Boy Eddy yang duduk di jok belakang.

"Shit! Shit! Jenderal Ambrose itu benar-benar ingin membunuh kita! Dia benar-benar tidak terima kita telah menguras habis isi banknya, Jack, Ken…!"

"Ada beberapa senapan di bawah jok yang kaududuki itu, Boy… Ambil dua… Jack, Boy… Kalian bisa memberikan sedikit perlawanan bukan? Aku akan berkonsentrasi pada jalanan yang ada di depanku…" kata Kenny Herry berusaha bersikap santai nan tenang ketika situasi sudah menggawat di depannya.

"Oke…" Jacky Fernandi dan Boy Eddy menjawab berbarengan.

Keduanya mulai menggenggam senapan masing-masing. Jacky Fernandi dan Boy Eddy juga melepaskan beberapa tembakan ke mobil jenderal Belanda yang ada di belakang. Beberapa anak buah si jenderal juga balas melepaskan tembakan beberapa kali. Tampak Boy Eddy dan Jacky Fernandi sedikit merunduk. Kenny Herry juga meminggirkan sedikit mobilnya guna menghindari peluru-peluru nyasar.

Jacky Fernandi dan Boy Eddy melepaskan beberapa tembakan mereka lagi. Tembak-menembak sungguh tidak terhindarkan lagi. Beberapa kali Kenny Herry terus banting setir ke kiri dan ke kanan. Untunglah jalanan di perbatasan daerah tersebut sangat sepi di waktu menjelang jam-jam sembilan malam begitu, sehingga dia tidak perlu mencemaskan bakalan ada mobil atau kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan.

"Arahkan pada ban mobil mereka, Jack!" teriak Boy Eddy dengan sedikit wajah beringasnya.

"Mengerti… Dengan terus tembak-menembak seperti ini, takkan ada selesainya. Kita harus mematahkan perlawanan dan serangan mereka," sahut Jacky Fernandi.

Jenderal Ambrose dan beberapa anak buahnya melepaskan tembakan-tembakan mereka lagi. Kembali Jacky Fernandi dan Boy Eddy membungkukkan kepala dan badan mereka guna menghindari peluru-peluru yang nyasar. Jenderal Ambrose dan beberapa anak buahnya terus melepaskan tembakan-tembakan mereka. Dua peluru nyasar berhasil hinggap pada bahu Boy Eddy dan Jacky Fernandi. Terdengar keduanya memekik halus. Darah merah segar mulai menetes-netes pada jok mobil Kenny Herry.

"Jack! Boy! Kalian tidak apa-apa?" teriak Kenny Herry mulai diselimuti kepanikan.

"Jangan khawatirkan kami! Jangan sempat kepanikan menguasaimu!" timpal Boy Eddy dengan sebersit senyuman menenangkan.

"Nanti kemudimu menjadi oleng dan tamatlah kita bertiga di sini! Aku tidak ingin mati konyol di sini ya, Ken… Anakku belum lahir ya…" kata Jacky Fernandi dengan sebersit senyuman santainya.

Kenny Herry berusaha menetralisir kepanikannya dan berusaha memusatkan kembali konsentrasinya ke jalanan yang ada di depannya.

"Oke… Saatnya kita membalas, Boy…" tukas Jacky Fernandi membidikkan kembali senapannya ke arah ban depan mobil Jenderal Ambrose.

"Kali ini jangan salah sasaran lagi ya, Jack…" sambung Boy Eddy juga membidikkan kembali senapannya ke arah ban depan mobil Jenderal Ambrose.

"Percepat lagi mobil ini, Tolol!" tangan si jenderal melayang ke kepala si anak buah yang sedang mengemudikan mobil. "Aku ingin mencapai mobil di depan sana! Aku ingin mereka membayar apa yang telah mereka perbuat pada bankku! Aku ingin mereka membayarnya dengan nyawa mereka!"

Jacky Fernandi dan Boy Eddy melepaskan empat kali tembakan berturut-turut. Dua peluru pertama mengenai dua ban mobil Jenderal Ambrose bagian depan. Dua peluru lagi kebetulan sekali hinggap pada dahi si anak buah yang sedang mengemudikan mobil.

Jenderal Ambrose terhenyak seketika.

"Ambil alih mobil ini! Tolol kau! Dia sudah mati!" kata Jenderal Ambrose menepuk kepala anak buahnya yang lain. Jenderal Ambrose menendang si anak buah yang sudah mati. Mayat si anak buah terhempas keluar dari mobil. Mayat itu tampak terbujur kaku di tepian jalan dengan sepasang bola matanya yang membelalak lebar.

Semuanya sudah terlambat. Mobil dengan ban yang kempes mulai oleng dan tidak bisa melaju dengan mulus lagi. Si anak buah yang ingin berpindah ke tempat duduk di belakang kemudi, terguncang oleh olengnya mobil. Si anak buah juga terhempas keluar dan kepalanya langsung membentur pagar jalan. Tampak tubuh itu terbujur kaku di jalanan di belakang mobil Jenderal Ambrose dan sama sekali tidak bergeming lagi.

Mobil Jenderal Ambrose nyasar sampai ke lahan perkebunan yang ada di sisi jalan. Ada bagian yang menyerupai jurang dengan kedalaman lima belas meter dalam lahan perkebunan. Mobil itu meluncur tepat ke dalam jurang. Teriakan Jenderal Ambrose lenyap seketika seiring dengan ledakan yang terjadi dan kobaran api yang menjilat-jilat.

Mendengar suara ledakan dan melihat nyala si jago merah yang menjilat-jilat di belakang mereka, Kenny Herry menepikan dan memberhentikan mobilnya sejenak.

"Mobilnya meledak, Jack, Ken…" Boy Eddy merasa sedikit terperengah. Dia memandangi kobaran api di hadapannya dengan sepasang matanya yang sedikit membesar.

"Kita berhasil… Tapi… Tapi…" Jacky Fernandi tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Kenny Herry dan Boy Eddy mengarahkan pandangan mata mereka ke Jacky Fernandi sekarang.

"Kita akan diburu oleh orang-orang Belanda jika ketahuan kitalah dalang di balik tewasnya si Jenderal Ambrose Vanderbilt ini."

"Takkan ada yang tahu… Semuanya sudah tewas… Dan di jalanan ini hanya ada mobil kita… Sudah jam segini, takkan ada yang melalui jalan lintas seperti ini lagi. Ayo kita balik saja sekarang. Kita akan mengobati luka kalian berdua dulu…"

"Jangan di Tanah Deli, Ken… Di Tanah Perbaungan ada beberapa klinik yang buka sampai malam jika aku tidak salah ingat. Kita ke sana saja. Aku tidak ingin luka-lukaku dan Jacky ini memancing perhatian dokter-dokter yang ada di Tanah Deli," celetuk Boy Eddy.

Kenny Herry mengangguk mengiyakan.

Jacky Fernandi terus memegangi bahunya. Darah mengucur kian banyak. Sakit mulai berdenyut-denyut menguasai urat sarafnya. Jacky Fernandi hanya bisa memegangi lukanya sembari memicingkan kedua matanya menahan sakit. Dia tidak ingin Kenny Herry dan Boy Eddy mengkhawatirkan keadaannya. Dia hanya bisa diam dan memendam kesakitannya di dalam hati.

"Astaganaga! Ken! Kau terkena peluru juga!" teriak Boy Eddy.

Kembali Jacky Fernandi membuka kedua matanya. Pada pinggang kiri Kenny Herry memang jok mobil tampak hancur sebagian dan baju Kenny Herry di bagian itu mulai terkena noda darah warna merah gelap. Kenny Herry hanya bisa tersenyum santai. Sejak tadi ia memang diam saja dan memaksakan dirinya untuk terus mengemudi karena dia tidak ingin kedua sahabatnya mencemaskan dirinya.

"Tidak apa-apa… Kalian saja bisa bertahan… Aku juga harus bertahan…" kata Kenny Herry sembari tersenyum santai dan mengedipkan sebelah matanya.

Boy Eddy dan Jacky Fernandi hanya bisa menganggukkan kepala mereka. Mereka memegangi luka masing-masing dalam diam karena luka semakin berdenyut-denyut.

Kenny Herry menambah kecepatan pada mobilnya. Luka pada pinggangnya semakin berdenyut dan menggigit. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia ingin segera tiba di Tanah Perbaungan dan membaringkan dirinya di dalam klinik yang ada. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi. Sesekali Kenny Herry masih harus memperlambat mobilnya karena kondisi jalan yang masih belum begitu bagus.

Satu jam berlalu… Akhirnya tiga sahabat The Amazing Boys tiba di Tanah Perbaungan. Tiga sahabat merasa waktu mereka berlalu dengan begitu cepat. Ketiganya tampak saling menggenggam tangan satu sama lain ketika mereka dibaringkan ke tempat tidur klinik. Jacky menggenggam tangan Kenny dan Kenny tampak menggenggam tangan Boy. Ketika mereka bertiga didorong ke tiga kamar yang berbeda, mau tidak mau genggaman tangan ketiganya terlepas dan akhirnya mereka terpisahkan.

Obat bius disuntikkan… Meski tidak bius total, itu juga cukup membuat ketiga sahabat The Amazing Boys terlelap dalam alam mimpi masing-masing. Mereka mendapatkan perawatan dalam tiga kamar yang berbeda. Tiga peluru berhasil dikeluarkan dan mereka dibiarkan beristirahat sampai pagi. Mereka terus terlelap sampai pagi.

Mata dibuka, sinar matahari sudah menerobos masuk ke kamar rawat inap masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Terlihat suster masuk ke kamar masing-masing mengantarkan sarapan pagi.

"Sus… Mana kedua temanku?" tanya Boy Eddy mulai menyadari kedua sahabatnya tak ada di sampingnya.

"Mereka ada di kamar masing-masing…" jawab si suster.

"Sus… Bisa minta tolong…?" tanya Kenny Herry.

"Apa itu…?" tanya si suster lagi.

"Aku ingin kami bertiga ditempatkan dalam satu kamar yang sama. Bisa kan?" tukas Jacky Fernandi.

Si suster menganggukkan kepalanya. "Tentu saja bisa… Sebenarnya masing-masing satu kamar kan lebih nyaman. Tapi, kalau kalian ingin ditempatkan dalam satu kamar yang sama, oke sih… Tidak masalah… Kalian bertiga bersahabat sangat baik ya… Masing-masing dari kalian meminta secara bersamaan ingin ditempatkan dalam satu kamar yang sama pagi ini. Tidak ada deh sahabat yang seperti kalian bertiga…"

Si suster tersenyum ramah sembari meninggalkan kamar The Amazing Boys. The Amazing Boys hanya bisa melemparkan sebersit senyuman kecut.

Akhirnya tempat tidur Boy Eddy dan Kenny Herry didorong ke kamar Jacky Fernandi karena kamar Jacky Fernandi adalah kamar yang terluas di antara kamar-kamar mereka bertiga. Tampak tiga sahabat The Amazing Boys saling menatap satu sama lain dengan sinar mata penuh arti. Tampak ketiganya saling tersenyum dan akhirnya mereka meledak dalam tawa renyah mereka secara berbarengan.

"Bagaimana luka kalian berdua?" tanya Kenny Herry.

"Luka kami lebih ringan daripada lukamu, Ken…" Jacky Fernandi tersenyum ringan.

"Luka kami hanya di bahu dan sebentar saja sudah sembuh. Lukamu kan di pinggang. Dokter bilang apa mengenai lukamu itu?" tanya Boy Eddy.

"Tidak terkena organ dalam kok… Hanya terkena lapisan lemak luarnya… Tuhan masih menyayangiku, Boy, Jack… Tidak usah khawatir… Dan masih ada Belinda juga, masih ada anak kami, dan yang paling penting adalah… masih ada kalian berdua yang sangat menyayangiku. Aku tidak bisa pergi secepat itu. Raja Akhirat pasti akan menyuruhku kembali…" Kenny Herry sedikit berkelakar.

Jacky Fernandi hanya tersenyum ringan. Boy Eddy terlihat sedikit meringis.

"Aku tidak bilang apa-apa pada Valencia loh… Kalian jangan bilang apa-apa ya padanya…" celetuk Boy Eddy mulai terpikir ke putri pujaan hatinya.

"Aku juga… Aku tidak ingin membuat Ivana khawatir…"

"Aku juga… Aku memang memutuskan untuk tidak menceritakan soal kejadian kemarin malam kepada Belinda."

Kembali tiga sahabat The Amazing Boys terlihat meringis dan saling tersenyum satu sama lain.

"Kita sudah melewati satu pengalaman hidup dan mati bersama-sama, Jack, Ken…" celetuk Boy Eddy secara tiba-tiba. Jacky Fernandi dan Kenny Herry menatapnya dengan sedikit bingung.

"Ada apa memangnya?" Kenny Herry sedikit menaikkan alisnya.

"Dalam momen ketika ambang-ambang maut hampir menjamahku, aku merasa aku begitu tidak berdaya, begitu takut, dan begitu ngeri. Aku merasa aku mungkin akan sendirian lagi. Aku takkan bisa bertemu dengan Valencia lagi, tak bisa bertemu dengan kalian berdua lagi, dan tak bisa bertemu dengan anggota-anggota 3P yang lain lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku begitu takut pada kesendirian." Tak terasa, air mata mulai menggenang di pelupuk mata Boy Eddy.

Tangan Jacky Fernandi dan Kenny Herry secara otomatis naik dan menyeka ekor mata Boy Eddy.

"Masih ada kami… Kami takkan membiarkanmu sendirian. Aku juga takut. Tapi, aku yakin kalian berdua tetap ada di sana untukku." Jacky Fernandi tampak tersenyum imut nan menenangkan.

"Iya… Saat aku merasa bagian pinggangku mulai terasa nyeri tak terperikan, aku mulai sadar aku sudah terkena satu peluru. Aku juga takut, ngeri dan ingin mengakhiri semuanya saja. Namun, aku sadar, Boy, Jack… Aku tidaklah sendirian. Kalian berdua ada bersamaku. Oleh karena itu, aku tidak boleh berhenti. Aku harus tetap mengemudikan mobil itu. Aku tidak boleh menyerah… Karena aku yakin kalian berdua juga takkan menyerah. Iya kan?"

"Boleh… Boleh… Boleh… aku memeluk kalian berdua tidak?" Boy Eddy kembali menyeka ekor matanya yang basah nan berair.

"Kenapa nggak?" Kenny Herry merentangkan kedua tangannya.

"Pelukan tidak hanya untuk orang yang berpacaran bukan? Pelukan juga boleh untuk orang tua dan anak, untuk sesama saudara, dan untuk sesama sahabat seperti kita…" sahut Jacky Fernandi juga merentangkan kedua tangannya.

Boy Eddy juga merentangkan kedua tangannya. Pelukan persahabatan di antara tiga sahabat The Amazing Boys pun terjadi.

Kata-kata sama sekali tidak diperlukan lagi. Kadang tindakan nyata memang berbicara dengan lebih keras daripada hanya sekadar kata-kata. Masing-masing merasakan degup jantung dan hawa hangat dari dua tubuh yang lain. Masing-masing merasakan detak cinta dan denyut persahabatan dari dua tubuh yang lain.

Tiga sahabat The Amazing Boys mempererat pelukan mereka terhadap satu sama lain. Masing-masing memicingkan sejenak mata masing-masing. Tampak tiga tetesan air mata bergulir turun dari ekor mata masing-masing.

Haru menggelincir di puncak sanubari dan rangkup pikiran The Amazing Boys.