webnovel

Menceritakan Mimpi

BAB 2

Malam sudah meladung di kota Medan dan kota Binjai.

Sesudah melalui beberapa tahap perkenalan, tiga wanita muda kembali meneruskan rencana dan kegiatan masing-masing di lain-lain tempat. Angela dan Carvany ke Binjai. Angela pulang ke rumahnya di Binjai. Carvany bermalam di rumah Angela malam itu. Sementara itu, Felisha menginap di sebuah hotel di Medan dulu. Rencananya siang keesokan harinya dia akan naik kereta api ke rumah neneknya di Siantar.

"Siapa teman kita yang cantik ini?" sambut Bu Erica Thema dengan sebersit senyuman hangat.

"Ini Carvany, Yah, Bu. Dia adalah seorang wakil kepala sekolah SD di satu sekolah national plus di Medan," kata Angela memperkenalkan.

"Sekolah mana itu kalau Ayah boleh tahu?" tanya Pak Riansin Thema.

"Sekolah Oliver Plus, Pak," jawab Carvany.

"Oh, yang di Cemara Asri itu?" tanya Bu Erica. "Kebetulan Ibu juga ada satu teman SMA dulu yang kini sudah menikah dan tinggal di Cemara Asri."

"Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa berkenalan dengan Carvany ini, Gel? Jelas bidang kerjaan kalian berbeda toh…" kata Pak Riansin sedikit menurunkan kacamatanya.

Bu Erica masuk sebentar ke dapur dan keluar lagi menghidangkan segelas susu cokelat hangat untuk Carvany. "Silakan diminum, Carvany…"

"Makasih, Bu…" kata Carvany sambil tersenyum hangat. Dia meneguk susu cokelat tersebut dan kemudian tampak bertukar pandang sejenak dengan Angela.

"Begini, Yah… Kami berkenalan di stasiun tadi sore waktu sama-sama naik kereta pulang ke Binjai sini," kata Angela sedikit terbata-bata.

"Kami saling berkenalan karena kami memiliki… memiliki… memiliki kemampuan yang sama…" Carvany akhirnya membantu Angela menyelesaikan kalimatnya.

Pak Riansin memandangi kedua gadis muda di hadapannya lurus-lurus. "Kemampuan bisa melihat makhluk tak kasat mata?"

"Begitulah, Pak…" kata Carvany berusaha tersenyum senetral mungkin.

Suami istri Thema saling bertukar pandang sejenak. Akhirnya keduanya tersenyum. Pak Riansin yang duluan angkat bicara,

"Kami senang kau mau berteman dengan Angela, Carvany. Selain Cindy Kosim itu, dia sudah tidak punya teman dekat lain lagi."

"Ya, tadi di kereta api Angela juga sudah cerita, Pak."

"Banyak teman yang menjauhinya karena kemampuan Angela yang tidak biasa itu, Carvany. Sejak kecil dia sudah memiliki kemampuan seperti itu," sahut Bu Erica.

"Apakah… Apakah Bapak Ibu percaya dengan kemampuan Angela yang bisa melihat makhluk-makhluk halus?" tanya Carvany memandangi sepasang suami istri di hadapannya.

"Yah, meski sulit dipercaya, kami tetap percaya makhluk halus itu ada, Carvany," tukas Pak Riansin. "Kami tidak pernah menganggap kemampuan itu sebagai kesialan. Kami menganggap kemampuannya itu sebagai kelebihannya yang tidak dimiliki orang lain."

"Beruntung sekali Angela memiliki orang tua seperti kalian, Pak, Bu," kata Carvany sambil mengulum senyumannya.

"Maksudnya?" Pak Riansin menaikkan sedikit alisnya.

"Orang tuaku sama sekali tidak percaya dengan semua cerita penampakanku dari aku kecil hingga sekarang," Carvany menghela napas panjang sesaat.

"Dan selama ini kau sendiri saja dengan semua makhluk halus itu?" Bu Erica bertanya dengan nada hati-hati.

"Begitulah, Pak, Bu… Ayahku adalah seorang dekan dan ibuku itu dosen yang mengajar sastra Inggris di beberapa perkuliahan di Medan. Orang-orang dari kalangan pendidikan seperti mereka takkan percaya dengan hal-hal mistis dan supranatural yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Mereka hanya percaya dengan apa yang dijabarkan oleh ilmu pengetahuan. Kalau aku sih… Meski aku tamat S1 sarjana pendidikan, aku tetap percaya dengan segala penglihatan dan pendengaranku sendiri. Oleh sebab itulah, di kalangan para pendidik, aku tidak bisa sembarangan membagi keluh kesah dan segala pengalamanku."

Pak Riansin dan Bu Erica tampak cukup terperengah. Mereka menaruh rasa iba pada gadis muda ini, yang seumuran dengan anak perempuan mereka, yang bernasib kurang lebih sama dengan anak perempuan mereka karena suatu kemampuan khusus yang dimilikinya.

***

Malam meladung di kota Binjai. Angela dan Carvany sudah mengenakan pakaian tidur masing-masing dan duduk di atas tempat tidur Angela yang cukup besar. Televisi dihidupkan dan mereka menonton berita mengenai kasus percobaan penculikan yang menimpa si malang Tim.

Para sindikat penculikan dan penyelundupan organ dalam anak-anak kecil berhasil diringkus polisi. Salah satu orang tua korban telah pulih dari koma dan memberikan kesaksiannya. Berdasarkan kesaksian dari Nyonya Devi Ananta Rahardi, seorang janda yang anaknya, Tim Renato Rahardi, yang tewas tertabrak kereta api di Jalan A.R. Hakim dalam percobaan penculikan Minggu malam kemarin, polisi berhasil meringkus enam sindikat penculikan dan penyelundupan organ dalam anak-anak kecil. Para pelaku dibekuk di tempat perkumpulan dan kediaman masing-masing di daerah Medan Amplas. Saat ini, para pelaku sedang ditahan di kantor Polda Sumut guna pemeriksaan dan investigasi lebih lanjut.

"Dengan demikian, aku rasa Nyonya Devi sudah agak tenang," celetuk Angela bernapas lega.

"Jadi hidup akan tetap terasa adil baginya bukan?" tampak sebersit senyuman kecut Carvany.

Angela menaikkan sedikit alisnya.

"Nyonya Devi asyik berteriak hidup ini sungguh tidak adil karena anak satu-satunya hanya bisa menemaninya selama 12 tahun. Sekarang semua pelakunya sudah tertangkap. Meski akhirnya Tim harus pergi, dari kematiannya polisi berhasil membongkar kasus penculikan anak yang selama ini sangat meresahkan masyarakat bukan?"

"Semacam hikmah begitu ya…" Angela menerawang keluar jendela kamarnya.

"Memang segala sesuatu di dunia ini terjadi karena ada penyebabnya bukan? Itulah yang aku ketahui selama ini, Gel. Tidak ada yang terjadi begitu saja tanpa alasan. Begitu juga dengan kehadiran tiga malaikat tampan dengan tiga warna jas yang mereka kenakan," kata Carvany sembari tersenyum penuh arti kepada Angela.

Angela berpaling ke lawan bicaranya. Dia menatap Carvany dengan bola mata yang sedikit membesar.

"Aku yakin kau juga bermimpi tentang laki-laki dalam pakaian model China klasik dengan warna biru."

"Dan kau?" Angela memajukan tubuhnya ke depan beberapa sentimeter.

"Laki-laki dalam mimpiku itu memakai baju China model zaman dulu juga. Hanya saja warnanya merah."

Angela bernapas lega sejenak. Carvany menatapnya dengan bingung.

"Kalau beda warna, berarti kita tidak bermimpi tentang laki-laki yang sama, Carvany. Dengan demikian, di antara tiga malaikat tadi, kita tidak perlu berebutan satu malaikat yang sama."

Kedua gadis muda itu meledak dalam tawa renyah mereka.

"Kau humoris juga rupanya, Gel. Memangnya kau langsung suka pada si malaikat berbaju biru itu di saat pertemuan pertama kalian tadi?" tanya Carvany.

Merah merona muncul di kedua belahan pipi Angela. Namun, dia masih berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Tidak tahu aku, Carvany. Hanya saja, aku ingin bertemu dengannya lagi, ingin mengenalnya lebih dalam, dan merasa penasaran apakah dia sungguh-sungguh seorang malaikat atau bukan," kata Angela dengan sebersit senyuman imut pada wajahnya.

"Benaran deh, Gel. Selama ini aku hanya membaca tentang cinta pada pandangan pertama itu di novel dan menontonnya di drama Korea. Kali ini rupanya benar-benar aku bertemu dengan seorang gadis yang mengalaminya."

"Lalu apa kau tidak? Selama ini kau hanya bertemu dengan sosok tersebut di dalam mimpi. Kali ini mendadak sosok itu menampakkan dirinya di depanmu. Pasti ada semacam perasaan yang lain pada dirimu, Carvany. Aku yakin itu. Aku juga yakin si Felisha itu juga merasakan perasaan yang lain sama seperti yang kurasakan."

"Dan pasangan si Felisha itu tentunya adalah malaikat yang berbaju hijau itu bukan?"

"Tentu saja dong, Carvany. Mendadak tanpa alasan tiga gadis muda dengan kemampuan indigo yang sama berkenalan hari ini dan mendadak pula muncul tiga malaikat dengan warna baju yang sama persis dengan yang dilihat gadis-gadis muda itu di dalam mimpi. Aku melihat baju warna biru; kau melihat yang baju merah; sudah pasti yang dilihat Felisha itu adalah yang baju hijau. Aku yakin pertalian takdir kita bertiga tidak sekejam itu untuk bisa memunculkan cinta segitiga di sini."

Carvany meledak dalam tawa renyahnya lagi. "Perhitunganmu cermat sekali, Angel. Rupanya perhitungan orang-orang akuntansi itu seperti ini ya."

"Sebenarnya di lain sisi aku juga merasa sangat penasaran dengan semua ini. Memang dalam mimpiku selama ini, wajah laki-laki itu tidak begitu jelas. Namun, begitu bertemu dengan malaikat berbaju biru tadi, aku yakin banget laki-laki yang selama ini hadir dalam mimpiku itu dia. Kau merasa demikian dengan malaikat yang berbaju merah itu?"

Carvany mengangguk.

"Memang selama ini laki-laki yang hadir dalam mimpiku itu wajahnya tidak jelas. Tapi aku tidak seyakin dirimu deh, Gel," tampak Carvany sedikit cengengesan. "Aku rasa aku perlu bertemu lagi dengan malaikat berbaju merah itu untuk memastikan apakah selama ini ia adalah laki-laki yang muncul dalam mimpiku atau bukan."

"Memangnya mimpimu itu seperti apa, Carvany?" Angela merasa sangat penasaran.

"Kau ceritakan dulu mimpimu, Gel. Aku takut mimpiku itu terdengar begitu konyol dan menggelikan."

Kedua gadis muda itu meledak dalam tawa mereka.

***

Angela tenggelam dalam memori kesadarannya yang begitu dalam.

"Aku heran deh, Pak. Keluarga tersohor seperti keluarga Wangdinata itu bisa datang sampai ke depan pintu rumah kita. Dan, tiada hujan tiada angin katanya ingin mempersunting anak perempuan kita untuk anak laki-laki mereka. Apa tidak salah itu?"

"Memangnya kau tidak setuju? Kalau aku… Aku lebih setuju Belinda menikah dengan Kenny Wangdinata itu daripada dengan Oscar Wongso yang setiap hari datang ke rumah. Bisnis bapak si Oscar ini hanya meliputi batu bata, semen, dan beberapa jenis batu alam. Relasinya pun hanya di sekitar Tanah Deli ini saja. Beda dengan bisnis bapaknya si Kenny itu. Sawit, Bu! Sawit! Tanah perkebunannya beratus-ratus hektar mulai dari Tanah Deli ini sampai ke daerah Danau Toba sana. Bayangkan itu! Untuk uang mahar pernikahan anaknya ini saja, bapak Kenny itu sudah bayar mahal. Dengan uang mahar pernikahan ini, aku tidak perlu lagi capek-capek kerja di pabrik batu bata dan kau tidak perlu lagi jadi tukang cuci keliling. Kurang apa lagi coba?"

"Tapi aku tetap kurang yakin dengan pernikahan ini deh, Pak. Menurutku, pernikahan ini terlalu mulus, terlalu gampang, dan mendadak dalam semalam kita jadi orang kaya baru. Jalan ini terlalu gampang dijalani. Setelah mengiyakan permintaan pernikahan mereka tadi, sekarang aku jadi berpikir-pikir. Apa kau tidak merasa ada udang di balik batu?" si istri mulai merasa bingung.

"Kenapa tidak tadi kaukatakan keresahanmu ini? Kita sudah menerima uang dan hadiah orang, apa sekarang mau kaukembalikan semua uang dan hadiah ini?"

"Aduh! Bagaimana ya?" si istri semakin resah.

Air mata si anak perempuan menetes-netes begitu ia menguping pembicaraan kedua orang tua mereka.

"Mengembalikan semua ini juga bukan satu solusi. Aku sih sayang ya uang dan hadiah ini dikembalikan begitu saja! Di dunia ini tidak ada yang sebodoh kau deh! Selain itu, mengembalikan uang dan hadiah orang, itu sama saja kita menyepelekan dan meremehkan keluarga Wangdinata yang tersohor itu! Kau berani mencari perkara dengan menyinggung mereka?"

Si istri terdiam setelah itu. Akhirnya, pesta pernikahan besar-besaran pun digelar di kediaman mewah nan elegan milik keluarga Wangdinata. Dalam sekejap, suami istri Yapardi berhasil menaikkan taraf dan derajat kehidupan mereka. Pesta pernikahan antara Kenny Herry Yanto Wangdinata dan Belinda Yapardi dihadiri oleh banyak relasi bisnis, kenalan dekat, kerabat dekat, dan bahkan kalangan petinggi Hindia Belanda yang datang dari dalam dan luar Tanah Deli.

Pernikahan dilaksanakan dengan adat-istiadat China yang sangat kental, dengan beragam filsafat, peraturan dan pantangannya. Segala jenis makanan dan minuman terkenal yang berasal dari dalam maupun luar Tanah Deli bisa ditemukan di pesta pernikahan ini. Akhirnya, setelah serangkaian upacara adat dan pesta pernikahan dilalui, tibalah saatnya bagi kedua pengantin baru untuk melewati malam pertama mereka.

Tentu saja Belinda Yapardi takut bukan main. Karena serangkaian peraturan dan pantangan adat, kedua pengantin yang dijodohkan takkan bisa bertemu satu sama lain sampai dengan malam pertama mereka. Bagaimana dengan rupa suaminya? Bagaimana pula dengan karakter dan kepribadiannya? Akan bahagiakah masa depan pernikahannya? Semuanya berkecamuk di dalam padang sanubari hati. Semuanya terus menggelimuni muara hati Belinda Yapardi malam itu.

Pintu kamar dibuka perlahan dari luar. Belinda merasa terjengat dalam posisi duduknya di pinggiran tempat tidur pernikahannya. Jelas tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah menerima nasib dan masa depannya. Dia merasa posisinya saat itu seperti maju kena mundur kena. Dia hanya bisa duduk diam, menunggu penghakimannya dan sama sekali tidak punya hak apa-apa untuk menuntut.

Terdengar langkah-langkah kaki yang semakin mendekat. Belinda merasa degup jantungnya semakin kencang. Dia mulai berkeringat dingin dan napasnya semakin memburu. Kegugupan dan ketakutan semakin menguasai.

"Apa kau yang namanya Belinda?" terdengar suara sang suami yang agak ragu, tapi sarat dengan keseriusan.

Belinda hanya mengangguk. "Iya… Dan kau? Apa kau yang bernama Kenny? Kenny Herry Yanto Wangdinata?"

Sang suami tertawa ringan sejenak, "Tidak perlu memanggilku selengkap itu, Belinda. Panggil saja Kenny. Aku terbiasa dipanggil Kenny."

Belinda mengangguk sembari tersenyum, tapi ia sama sekali tidak berani berkutik dan bergerak sedikit pun.

"Keluargaku pasti membayar keluargamu begitu banyak uang untuk bisa membawamu masuk ke sini," kata sang suami lagi dengan segenap perasaan bersalah yang terdengar tulus di telinga Belinda. "Benar-benar tidak enak hati padamu, Belinda."

Belinda merasa tidak enak hati juga, dan juga merasa sedikit lega. Jika lelaki ini bisa merasa tidak enak hati dengan pernikahan paksa ini dan sampai bisa meminta maaf padanya, tentunya ia adalah laki-laki yang baik. Belinda menjadi penasaran bagaimana rupa laki-laki yang kini telah menjadi suaminya.

"Tidak perlu berkata begitu. Sebenarnya keluargaku senang sekali menerima segala uang mahar dan hadiah dari keluargamu. Selama ini ayahku hanya bekerja sebagai buruh di pabrik batu bata dan ibuku bekerja sebagai tukang cuci keliling. Dengan uang mahar dan hadiah keluargamu, setidaknya mereka bisa menghabiskan hari-hari tua tanpa beban pikiran."

"Meski demikian, aku tetap merasa tidak enak hati padamu. Kau sama sekali belum mengenalku, tapi sekarang kita sudah jadi suami istri. Dan, kita tetap harus melewatkan malam ini bersama-sama karena aturan adat yang berlaku. Benar-benar tidak enak hati padamu," terdengar lagi perasaan bersalah yang terkandung dalam suara sang suami.

"Ngomong-ngomong, kenapa keluargamu bisa tertarik padaku sehingga mereka bersikeras menginginkan aku sebagai menantu?" tanya Belinda lagi.

"Kau lahir pada tanggal 29 Februari bukan?"

"Iya… Memangnya kenapa dengan tanggal lahirku?"

"Waktu aku tiga tahun, Ibu pernah membawaku menjumpai seorang peramal terkenal di Tanah Deli ini. Katanya aku akan mendapat satu kemalangan besar dalam hidupku jika aku tidak menikah dengan wanita yang lahir pada tanggal 29 Februari. Hanya sebuah ramalan sih… Namun, ayah ibuku percaya betul dengan ramalan itu. Oleh sebab itulah, hari ini kau bisa masuk ke sini dan menjadi istriku."

"Oh… Anggap saja aku sebagai juru selamatmu kalau begitu," Belinda tertawa ringan. Dia mulai lega karena sudah bisa menjadi diri sendiri. Hilang sudah semua kekhawatiran, kegugupan, dan ketakutannya barusan.

"Sekarang… bolehkah… bolehkah aku membuka cadar penutup wajahmu ini?" tanya sang suami masih diliputi sedikit keraguan.

Belinda mengangguk. "Tapi kau jangan terkejut ya jika saja wajahku ternyata terlihat jelek dan tidak sesuai dengan pengharapanmu."

Sang suami tertawa renyah. Dia mulai membuka kain cadar penutup wajah istrinya dengan tongkat warna merah yang sudah disediakan. Alhasil, pandangan pertama Belinda terhadap Kenny Herry adalah baju model China klasik warna biru yang dikenakannya pada saat itu. Belinda langsung berhadapan dengan seraut wajah tampan dengan tubuh yang tinggi bedegap. Sampai saat itu, Belinda tidak sadar dia telah jatuh hati terhadap laki-laki yang berdiri di hadapannya.

"Kenapa kau mengenakan baju pengantin yang warna biru? Bukankah pengantin itu harus serba merah? Apakah ini sebuah ramalan juga?" tampak Belinda tersenyum imut.

"Begitulah… Kata si peramal itu juga, warna biru sangat cocok untukku karena bisa menenangkan emosi dan temperamenku yang kadang bisa meluap-luap. Warna biru juga bisa menolak segala malapetaka yang datang menghampiriku. Oleh sebab itulah, Ibu bersikeras meski di hari pernikahanku, aku tetap harus mengenakan baju pengantin yang berwarna biru."

Belinda mengangguk-ngangguk, masih dengan senyuman imut yang sama.

"Dan kau terlihat sangat cantik. Berarti tadi kau berbohong padaku, Belinda."

Belinda membuang pandangannya ke arah lain. Dia tampak sangat tersipu malu. Di luar bulan sabit menyembulkan dirinya dari balik awan kelabu yang terus berarak tiada henti.

***

Alam bawah sadar Carvany kilas balik ke mimpi-mimpinya yang telah lalu.

Dia mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar tidur. Dia sedang mengenakan satu stel pakaian tidur. Namun, kamar itu bukanlah kamar tidurnya dan satu stel pakaian tidur yang dikenakannya bukanlah pakaian tidurnya. Perhatiannya sedang tertuju pada selembar surat yang berada dalam genggaman tangannya.

Dalam pekatnya kabut yang menutupi sang rembulan,

Dalam kencangnya sang angin yang menghalangi sayap-sayap patah,

Dalam derasnya ombak samudera yang mengikis tepian pantai karang,

Aku terus berdiri di sini, mencari cinta yang tak lekang oleh waktu.

Dalam terangnya mentari pagi yang seakan berlagu,

Dalam suasana embun pagi yang seolah terus menggelimuni,

Dalam cinta yang perlahan dikerepas oleh kelumun kerinduan,

Aku terus berdiri di sini, mencari cinta yang laksana bunga dalam salju.

Dalam sebutir bahagia dan setetes peluh,

Dalam sebuah perjuangan yang merengat di muara hati,

Dalam riak-riak perasaan cinta yang terus menyelisir tepian pantai hati,

Aku terus berdiri di sini, mencari dirimu…

Perlahan tangan meletakkan lembaran surat tersebut ke atas meja tulis yang ada di sudut kamar. Tangan perlahan menyibak lembaran gorden jendela. Tampak sinar rembulan yang menerobos masuk. Terasa begitu nyaman, begitu hangat, begitu menghibur.

Malam berganti pagi dengan cepat. Jam akhirnya menunjukkan pukul delapan pagi ketika sang putri utama terlihat sedang menyeruput teh paginya ditemani dua potong roti bakar dengan selai strawberry di atasnya.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah makan tersebut. Seorang gadis cantik lainnya keluar lagi dari mobil dan segera menghampiri sang putri utama. Dia segera memanggil si pelayan dan memesan menu kesayangannya sebelum akhirnya ia membuka percakapannya dengan sang putri utama pagi itu.

"Jadi bagaimana ini? Kudengar ada yang berniat menikah hanya gara-gara selembar surat cinta yang diterimanya dari laki-laki yang dijodohkan dengannya," si teman sedikit mencibir.

Si putri utama meletakkan surat tersebut ke atas meja dan mendorongnya ke arah si teman. Si teman membacanya secara sekilas dan segera mengembalikan surat itu kepada si putri utama. Si teman mulai mendengus,

"Kau hanya membaca puisinya, Ivana. Kau sekali pun belum pernah bertemu dengan orangnya. Bagaimana kau bisa langsung yakin mau menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak kaukenal?"

"Dari suratnya aku bisa membaca dia itu orang yang teguh, serius, dan bertanggung jawab. Jika aku menjadi istrinya, tentunya dia akan teguh, serius, dan bertanggung jawab dalam membahagiakan aku kan, Riamita?" Ivana masih memandangi surat tersebut dengan mata yang berbinar-binar.

"Semua orang bisa saja menulis puisi cinta dengan gaya romantisme yang mendalam seperti ini. Aku juga bisa, Ivana. Semua juga bisa menjadi orang yang teguh, serius, dan bertanggung jawab apabila disuruh menuliskan puisi gombal seperti ini. Kau jangan goblok deh jadi orang!" kata Riamita merasa sedikit gemas.

"Maka dari itu, aku mau ketemuan sekali dengannya, Riamita. Aku berencana mengundangnya ke pesta pertemuan klub korespondensi kita yang akan digelar di rumahmu Sabtu ini. Kau tidak keberatan bukan?"

Riamita terdiam seribu bahasa. Dia hanya bisa menggelengkan kepala dan merapatkan kedua bibirnya melihat perilaku si teman satu klubnya yang tengah dimabuk asmara hanya gara-gara sepenggal puisi cinta yang menurutnya gombal. Karena temannya begitu getol ingin bertemu dengan laki-laki yang menuliskan puisi itu, Riamita tidak mengatakan apa-apa lagi.

Malamnya, Ivana mulai menuliskan selembar surat balasan untuk laki-laki yang dijodohkan dengannya itu. Suara mesin tik terdengar dari dalam kamarnya – tak kunjung usai, tak kunjung henti.

Dear Rio Augusto,

Menerima dan membaca suratmu sungguh membuatku tidak enak hati. Ketika duduk di depan mesin tik ini, terus terang aku tidak tahu surat apa yang mesti aku ketikkan di sini. Aku menjadi bingung apa sesungguhnya yang harus aku ketikkan dalam suratku ini. Aku merasa ragu, merasa sedikit bimbang, merasa penuh dengan tanda tanya apakah kejujuranku ini bisa menyakiti perasaanmu atau tidak. Jika kejujuran dan keterbukaanku ini terasa benar-benar menyakitkan bagimu, di sini aku terlebih dahulu meminta maaf.

Aku adalah orang yang berpandangan modern dan aku sebenarnya kurang setuju dengan ide perjodohan yang diajukan oleh kedua orang tuaku. Menurutku, walau aku adalah seorang perempuan, aku berhak menentukan sendiri pernikahan dan masa depanku bukan? Aku berhak memilah dan memilih dengan siapa aku akan menghabiskan hari-hari tuaku. Aku minta maaf sekali lagi jika beberapa kalimat sebelumnya telah menyinggung perasaan dan eksistensimu. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin membiarkanmu melihatku apa adanya. Aku ingin jujur dan terbuka di sini, tanpa sekali pun berniat menutupi apa yang menjadi karakter dan kepribadianku.

Namun, aku bukanlah orang yang langsung mengunci pintu dan membuang kuncinya. Aku memiliki dua kunci di sini. Satunya tentu saja ada padaku. Satunya lagi ada di luar sana. Siapa yang menemukannya dan membuka pintu ini, tentu saja aku akan mempersilakannya masuk. Aku tergabung ke dalam suatu klub korespondensi di Tanah Deli sini. Klub kami mengadakan suatu pesta pertemuan di Sungai Babura Sabtu ini. Aku akan senang jika kau juga turut hadir dan bergabung dalam pesta pertemuan kami Sabtu ini.

Salam hangat,

Ivana Pangdani

Dan dua hari kemudian, Ivana menerima sepucuk surat balasan dari Rio Augusto.

Dear Ivana,

Senang sekali menerima surat balasanmu, Ivana. Aku berlumang takjub sekaligus rasa penasaran yang tinggi begitu membaca mengenai pemikiran dan pandanganmu. Jarang dan bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah aku bertemu dengan gadis yang berpikiran modern sepertimu. Jadi, dalam hal ini kuyakinkan kau tidak perlu meminta maaf.

Memang benar ini sudah memasuki zaman modern. Aku sama sepertimu sebenarnya. Aku berpikir perempuan juga berhak menyuarakan pandangan dan pemikiran mereka. Sesungguhnya aku juga kurang setuju dengan ide perjodohan dari kedua orang tuaku ini. Aku juga merasa masa depanku ditentukan bukan oleh mereka, melainkan oleh diriku sendiri. Aku sendiri yang akan melanglang keluar sana dan mencari mana gadis yang benar-benar cocok bersanding dengan diriku.

Nah, aku akan menganggap undanganmu kali ini sebagai satu kesempatan buatku untuk memulai perjalananku mencari sang penakluk yang bisa menaklukkan hatiku. Sampai berjumpa di pesta klubmu Sabtu ini.

Salam hangat,

Rio Augusto Wiranata

Perasaan cinta mulai berkecambah. Hati mulai berbunga-bunga ketika membaca isi surat tersebut. Surat didekapkan ke dada. Cinta terus mengalir tiada henti, terus menggeliat dan menggeligit dalam tudung sanubari.

***

Binjai, 15 Mei 2018

Ternyata Pak Riansin dan Bu Erica membuka toko alat tulis. Saat Carvany turun ke lantai bawah jam delapan pagi, ternyata Angela sudah berangkat ke Medan. Dia sudah tidak berada di rumah. Tampak suami istri Thema sedang menikmati sarapan mereka sembari jaga toko sendiri di hari Selasa yang super sibuk ini.

"Mau sarapan apa, Carvany? Biar Ibu belikan…" terlihat senyuman keibuan dari Bu Erica.

"Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih… Aku bisa sarapan di luar sana nanti. Aku mau ke rumah duka sekarang. Bibiku meninggal dan besok sudah mau dikebumikan. Mau ke sana sebentar dan memberikan penghormatan terakhir."

"Oh, begitu ya…" kata Pak Riansin juga melemparkan sebersit senyuman hangat kepada teman anak perempuannya.

"Baiklah kalau begitu… Hati-hati di jalan ya…" kata Bu Erica melepas kepergian wanita muda itu.

Carvany naik becak mesin ke rumah duka. Dalam sepuluh menit, ia sudah tiba di sana. Dia memberikan uang sepuluh ribu kepada si tukang becak dan hendak melangkahkan kakinya turun dari becak, ketika dilihatnya sebuah fenomena yang sungguh mengejutkan di depan matanya.

Tampak kereta api warna hitam total berhenti di depannya lagi. Namun, si tukang becak dan orang-orang yang ada di sekitarnya seolah-olah tidak melihat kedatangan kereta api aneh nan misterius itu. Hanya dia sendiri yang bisa melihatnya. Kereta api aneh nan misterius berangkat lagi dan meninggalkan sesosok malaikat tampan dalam balutan pakaian serba merah di depannya.

Carvany cepat-cepat turun dari becak. Dia segera mendekati si malaikat baju merah.

"Apakah kau selalu muncul di tempat yang berbau-bau kematian?" tanya Carvany dengan napas yang sedikit banyak tertahan.

Si baju merah tersenyum imut. "Kadang yang muncul bisa saja malaikat yang berbaju hijau atau yang berbaju biru. Tidak mesti aku sih…"

"Dan yang berbaju cokelat, berbaju hitam, berbaju putih, berbaju kuning? Mereka tidak muncul? Hanya kalian bertiga?"

"Untuk sementara hanya ada kami bertiga yang bertugas mengantar arwah-arwah orang meninggal ke kehidupan mereka yang berikutnya, tentunya sesuai dengan karma mereka masing-masing."

"Dan apakah semua orang yang meninggal itu mau saja ikut dengan kalian naik ke kereta api misterius yang berwarna hitam total itu?"

"Tidak semuanya sih… Yang sudah bisa melepas akan ikut dengan kami ke kereta api pengantar. Yang masih tidak bisa melepas, yang masih terikat dengan kehidupan ini, akan bersikeras menunggu dan menunggu. Mereka tidak mau ikut kami naik ke kereta api pengantar."

"Apa yang akan kalian lakukan jika begitu?" Carvany bertanya dengan harap-harap cemas.

"Kebanyakan sih kami akan membantu mereka untuk melepaskan segalanya dalam kehidupan ini. Dan terkadang kami harus main paksa sih… Memaksa mereka naik ke kereta api pengantar," kata si baju merah dengan sebersit senyuman santai.

Carvany sedikit bergidik ngeri mendengarnya. Apakah memang tugas malaikat semuanya seperti itu? Jika ada orang mati yang bersikeras tidak ingin meninggalkan semua yang ada di kehidupan mereka yang sekarang, apakah mereka tetap akan dipaksa naik ke kereta api pengantar?

"Sama seperti sanak keluargamu yang meninggal itu…" sambung si baju merah lagi dengan nada santai.

"Hah?" Carvany sedikit membelalakkan kedua bola matanya. "Itu bibiku. Kenapa dengannya?"

Carvany melongokkan kepalanya ke dalam rumah duka. Tampak sang bibi sedang berjongkok di samping peti matinya sendiri. Karena masih jam delapan lewat, rumah duka masih sepi. Hanya tampak beberapa petugas kebersihan yang sedang melaksanakan tugas mereka. Anggota-anggota keluarga bibinya sama sekali belum menampakkan diri.

Si baju merah melangkah masuk ke dalam rumah duka. Dengan beberapa langkah lebar, ia sudah tiba di depan arwah yang sedang berlutut di depan peti matinya sendiri. Melihat kedatangan sang malaikat, sang arwah terperanjat bukan main. Sontak ia mundur cepat-cepat dan berteriak hebat.

"Jangan jemput aku dulu, Pak Malaikat! Jangan! Jangan! Tolong! Aku mohon! Aku ingin bertemu dengan anakku yang ketiga dulu. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Aku mohon… Aku mohon…" mulai terdengar ratap tangis nan memelas dari si arwah.

Carvany hanya berdiri mematung. Ia berlumang takjub dan kejut saat menyaksikan fenomena tersebut.

"Nyonya Hartati Lowin! Sejak kemarin saya sudah bilang kepada Anda bukan? Anda harus siap-siap hari ini karena hari ini kereta api pengantar akan datang membawa Anda ke kehidupan yang berikutnya. Jika Anda tidak segera naik ke kereta api pengantar, arwah Anda akan mengembara dan selamanya Anda akan hidup sebagai arwah petualang. Itukah yang Anda inginkan?" tukas si baju merah dengan nada santai.

"Aku mohon, Pak Malaikat. Berikan aku kesempatan sampai anakku yang bungsu tiba di sini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya. Aku mohon, Pak Malaikat… Aku mohon…"

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, si baju merah sudah akan menjentikkan jarinya ketika mendadak Carvany menyeletuk dari belakang,

"Tidak bisakah kauberikan ia satu kesempatan lagi sampai sepupuku itu datang, Baju Merah?"

Si baju merah menoleh ke belakang. Ia beradu pandang dengan tatapan mata Carvany Callen Chen yang teguh nan kukuh. Akhirnya, si baju merah hanya bisa mengangguk dan menurunkan kembali tangannya. Dia menyingkir keluar dari rumah duka untuk sementara. Dia tahu sedikit banyak ada yang akan dibicarakan Carvany dengan bibinya.

"Terima kasih… Terima kasih, Carvany… Kau telah membantu Bibi, Nak. Kau telah membantu Bibi… Bibi harus menunggu sampai Delvin datang. Ada sesuatu yang harus Bibi sampaikan padanya…" si arwah mulai menangis sesenggukan dalam pelukan Carvany.

Carvany mulai merasa bingung. Ia mengerutkan dahinya dalam. Ia memandang sejenak ke bagian depan rumah duka. Tampak si baju merah masih berdiri di sana dengan posisi badannya yang membelakanginya.

"Sepertinya memang ada yang benar-benar penting yang harus disampaikannya kepada si Delvin Lowin ini. Maafkan aku…" kata si baju merah.

"Wah… Dengan posisi badan yang membelakangiku begitu, kau masih bisa bicara padaku dengan suara yang begitu jelas. Aku sungguh salut dengan kekuatanmu," kata Carvany dengan pandangan takjub.

"Ini namanya telepati. Kami bisa mengalamatkan telepati kami kepada siapa pun yang kami kehendaki. Dengan bicara padamu seperti ini, kan arwah bibimu takkan tahu apa yang sedang kita bicarakan."

"Oh, begitu ya… Wah hebat benar kekuatanmu, Baju Merah…"

"Jadi siapa si Delvin Lowin ini? Kalau dia adalah anak bibimu, berarti dia saudara sepupumu dong?" tanya si baju merah lagi.

"Sesungguhnya aku jarang berhubungan dengan keluarga Lowin ini. Waktu aku kecil, aku sering kali merasa bibiku ini agak egois, sedikit manipulatif, dan hanya akan bersikap manis pada seseorang apabila ia membutuhkan orang tersebut."

"Jadi kau jarang berhubungan dengan keluarga Lowin ini?"

"Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah… Lihat saja bahkan di hari kematiannya ini, kedua orang tuaku lebih memprioritaskan pekerjaan masing-masing daripada sekadar datang dan memberikan penghormatan terakhir."

"Keluarga ini sangat kaya… Lihat saja dari dekorasi dan segala macam ornamennya. Belum lagi dari fasilitas ruangan VIP yang dipakai mereka. Semua ini kan uang…" kata si baju merah dengan nada acuh tak acuh.

"Mereka memiliki apotek besar di Binjai sini, Baju Merah. Ada cabang-cabangnya lagi di Medan, di Jakarta, dan bahkan di Penang dan Singapura sana. Kalau tidak salah, mereka juga ada jual obat-obat luar negeri. Ayah ibuku pernah cerita beberapa kali sih waktu aku kecil. Namun, waktu sudah lama berselang. Sekarang aku tidak tahu lagi apakah mereka masih menjalankan bisnis yang sama atau tidak."

Si baju merah mangut-mangut. Tampak Carvany sudah melepaskan pelukannya dan duduk sama-sama dengan bibinya di tempat duduk yang telah disediakan dalam rumah duka.

"Bibimu ini memiliki tiga anak?"

"Iya… Delvin Lowin itu yang paling bungsu dan satu-satunya laki-laki. Dua sisanya itu perempuan, Devina dan Dessy."

"Mmm… Aku jadi penasaran apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh bibimu kepada anaknya yang bungsu itu."

"Kudengar Ibu bercerita bahwa si Delvin Lowin ini sudah berkeluarga juga. Jika tidak salah ya… Waktu Ibu cerita-cerita begitu, aku dengarnya itu masuk kiri keluar kanan. Jadi, tidak begitu lengket di ingatan lagi," Carvany sedikit cengengesan.

Si baju merah kini berpaling menatap Carvany. Tampak ia tersenyum imut. Entah kenapa mendadak semacam ada perasaan yang lain yang mengerabik di semenanjung batin Carvany. Dia tidak bisa mendeskripsikan perasaan itu. Yang jelas, perasaan itu kian lama kian melungkup di benaknya.

"Mungkin mau menyampaikan soal bagaimana bisnis keluarga ke depannya. Kan anak laki-laki satu-satunya. Jadi, semua harapan dan impian masa depan diletakkan di atas kedua bahunya. Iya tidak?"

"Mmm… Bisa jadi… Tapi, dari raut wajah bibimu, aku yakin ada sesuatu yang lebih penting lagi daripada hanya sekadar soal bisnis keluarga. Ada sesuatu yang lebih mengarah ke emergency."

"Oh ya?" Carvany mengangkat alisnya beberapa sentimeter. "Kau seyakin itu?"

Si baju merah tersenyum imut lagi dan berkata, "Anggap saja aku bicara dari pengalaman."

Takut dan cemas mulai meruak ke relung-relung perasaan Carvany.