webnovel

Antara Penjelmaan & Reinkarnasi

BAB 22

Medan, 30 Mei 2018

Wilsen Yono sengaja naik sepeda motor saat ia inspeksi ke sekolah Oliver Plus-nya yang merupakan cabang Medan. Dengan demikian, dalam tebakannya takkan ada yang tahu ia adalah anak direktur pusat yang diutus dari Jakarta untuk melakukan inspeksi di cabang Medan. Ia akan bisa melihat secara langsung kinerja para karyawan dan para guru di sekolah Oliver Plus yang cabang Medan.

Bangunan Oliver Plus cabang Medan sudah tampak di sebelah kanannya. Dia membelokkan sepeda motornya hendak masuk ke halaman Oliver Plus, ketika mendadak entah dari mana datangnya ada sebuah sepeda motor yang hendak mendahuluinya dari belakang. Tabrakan tidak terhindarkan lagi. Wilsen Yono merasa tubuhnya tercampak jauh dan ia terpisahkan oleh sebuah jarak yang cukup jauh dari sepeda motornya. Beberapa ibu-ibu yang menunggui anak-anak mereka berteriak dengan lengkingan tinggi menyaksikan terjadinya sebuah kecelakaan. Sepeda motor yang menabrak Wilsen Yono mencari kesempatan di tengah-tengah kepanikan untuk segera mengambil langkah seribu.

Tubuh Wilsen Yono terhempas ke tanah. Terdapat sedikit bercak darah pada keningnya. Ia kehilangan kesadarannya. Tampak Jacky Fernandi dan Carvany segera berlari keluar dari dalam areal halaman sekolah dan segera menghampiri Wilsen Yono yang terkulai lemas di jalanan.

"Siapa ini?" tanya Carvany kepada si satpam yang juga ikut mendekat.

"Sepertinya salah satu dari orang tua murid, Bu Carvany. Korban tabrak lari… Yang menabraknya sudah lari entah ke mana," kata si satpam.

"Bawa ke UKS saja dulu… Jangan sampai si anak mengetahui ayahnya tertabrak dan sekarang lagi tidak sadarkan diri…" kata Jacky Fernandi kepada Carvany. Carvany cepat-cepat mengangguk dan meminta tolong kepada si satpam untuk mengangkat tubuh Wilsen Yono ke ruangan UKS yang berada di lantai satu.

Lima menit berlalu… Akhirnya mereka membaringkan tubuh Wilsen Yono di ruangan UKS. Seorang dokter UKS yang bertugas mulai membersihkan luka pada dahi Wilsen Yono. Wilsen Yono masih memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri.

"Apakah dia kenapa-kenapa, Dok?" tanya Carvany.

Dokter tersebut menggeleng lembut, "Tidak… Hanya shocked sehingga bisa pingsan. Nanti akan sadar dengan sendirinya kok… Siapa ini? Salah satu orang tua murid?"

"Sepertinya iya… Tapi aku kurang yakin… Masih muda begini, seharusnya anaknya masih SD. Anak-anak SD sudah pulang semua. Yang tertinggal hanya anak-anak SMP dan anak-anak SMA."

Dokter UKS itu tidak menjawab lagi. Dia meneruskan kerjaannya membersihkan luka Wilsen Yono dan mengoleskan beberapa jenis obat pada dahinya. Setelah selesai dengan tugasnya, si dokter UKS mengundurkan diri dan kembali ke meja kerjanya di bagian luar ruangan UKS tersebut.

Jacky Fernandi membongkar-bongkar saku celana Wilsen Yono. Dia mengeluarkan dompet Wilsen Yono dari dalam sakunya. Carvany melihat perbuatan sang malaikat merah dengan sepasang matanya yang sedikit membesar.

"Jack… Aku rasa kurang bijak deh mengambil dompet orang dan melihat identitasnya…" kata Carvany menahan tangan Jacky Fernandi untuk beberapa saat.

"Tidak apa-apa… Dengan kekuatanku, aku akan mengembalikan dompet ini ke sakunya lagi dengan posisi seperti semula." Jacky Fernandi mengedipkan sebelah matanya. Carvany hanya bisa mendengus ringan dan merapatkan kedua bibirnya menyaksikan tingkah konyol sang malaikat merah.

Jacky Fernandi mengeluarkan KTP Wilsen Yono. KTP itu jelas dikeluarkan di Jakarta, bukan di Medan. Carvany juga ikut melihat tulisan yang tertera pada KTP tersebut. Jacky Fernandi dan Carvany terperanjat kaget berbarengan melihat nama lengkap Wilsen Yono yang tertera pada KTP-nya.

"Wilsen Yono Yiandra… Wilsen Yono Yiandra namanya, Jack…" Carvany menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Dia mundur selangkah dan berpegangan pada ujung ruangan UKS untuk menemukan keseimbangannya kembali.

"Aku tidak tahu apakah ini hanya kebetulan atau…" Jacky Fernandi sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Jangan-jangan… Jangan-jangan si Wilsen Yono ini adalah… adalah… adalah cicitmu, Jack… Dia adalah keturunan yang kesekian dari keluarga Yiandra kalian…" Carvany masih menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.

"Dan cicitmu juga, Carvany… Jangan lupakan hal itu…" masih tampak Jacky Fernandi yang bisa sedikit bergurau kepada sang putri pujaan hatinya.

Belum sempat Carvany pulih dari kekagetannya, si dokter UKS masuk lagi. Dia melihat sebentar kondisi Wilsen Yono dan berujar,

"Akhirnya dia sadar juga…"

Dengan kekuatannya Jacky Fernandi mengembalikan dompet Wilsen Yono tepat ke dalam saku celananya, dengan posisi yang sama seperti sebelum dia mengambilnya. Wilsen Yono perlahan-lahan membuka kedua matanya. Dia mendapati dia sedang berbaring di sebuah kamar rawat inap.

Dokter UKS keluar lagi karena si pasien sudah sadar dan sudah terlihat normal.

"Ada di mana aku ini?" Wilsen Yono berusaha bangkit dari pembaringannya dan akhirnya ia duduk di tempat tidur ruangan UKS itu.

"Tadi sepeda motormu tertabrak oleh sepeda motor lain. Kau tidak sadarkan diri. Sekarang kau sedang berada di ruang UKS." Carvany berusaha menjelaskan.

Wilsen Yono hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya. "Terima kasih ya… Terima kasih karena telah menolongku ke ruangan UKS ini."

Saat pandangan mata Wilsen Yono beradu pandang dengan kedua mata Jacky Fernandi dan kemudian dengan kedua mata Carvany, ia terhenyak seketika. Kedua matanya membelalak dan mulutnya tampak menganga lebar.

"Kakek Buyut! Nenek Buyut!" teriak Wilsen Yono masih dengan tatapan matanya yang takjub dan tidak berkedip sekali pun.

"Ada apa? Pasien sudah bangun kan?" tanya si dokter UKS menjulurkan kepalanya ke bagian dalam ruangan UKS.

"Tidak apa-apa…" Jacky Fernandi berusaha tersenyum menenangkan.

"Tidak apa-apa… Tidak apa-apa, Dok… Biarkan ia beristirahat sebentar lagi. Habis itu, kami akan keluar…" kata Carvany juga dengan sebersit senyuman menenangkan.

Si dokter UKS mengangguk dan kembali ke bagian luar ruangan UKS tersebut.

"Aku yakin kalian adalah Kakek Buyut dan Nenek Buyut… Tapi, kok rasanya jadi aneh ya? Kalian masih muda dan hampir seumuran denganku…" kata Wilsen Yono menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

"Kau salah orang mungkin… Mungkin kami hanya mirip dengan kakek dan nenek buyutmu itu…" Jacky Fernandi tampak berusaha tersenyum setenang mungkin.

Carvany merasa kikuk dan aneh sekarang. Mendadak saja ada seorang anak muda yang hampir sebaya dengannya, tapi anak muda itu memanggilnya dengan sebutan 'Nenek Buyut'. Semuanya mulai terasa pelik nan membingungkan.

"Oh ya…? Masa ada kemiripan yang seintens ini di dunia ini…" Wilsen Yono masih mengerutkan dahinya dan memandangi kedua sosok yang ada di hadapannya kini dengan mata tanpa berkedip.

"Banyak kan orang yang mirip-mirip di dunia ini? Hanya kebetulan mirip… Masa kami sudah menjadi kakek buyut dan nenek buyutmu di usia kami yang baru saja dua puluhan ini…" Carvany berusaha menetralkan senyumannya sehingga ia tidak terlihat terkejut di hadapan cicitnya ini.

"Aku masih kurang percaya dengan kemiripan yang seintens ini deh… Atau jangan-jangan kalian adalah reinkarnasi dari kakek dan nenek buyutku. Iya… Iya… Tidak salah lagi… Dengan kemiripan ini, aku jadi percaya pada reinkarnasi… Ternyata reinkarnasi itu benar-benar ada…" Wilsen Yono jadi lebih mirip bersenandika dengan dirinya sendiri.

"Reinkarnasi?" Carvany membelalakkan matanya.

Jacky Fernandi dan Carvany saling berpandangan sesaat. Mereka sungguh tidak menyangka Wilsen Yono akan terpikir sampai ke reinkarnasi segala – suatu topik pembahasan yang sudah sangat jarang mencuat di dalam pikiran anak-anak muda zaman sekarang.

"Kau… Kau… Kau percaya dengan apa yang namanya reinkarnasi?" tanya Jacky Fernandi masih ragu. Ia tampak mengajukan pertanyaan tersebut dengan berhati-hati.

Wilsen Yono mengangguk mantap. "Habisnya kalian mirip banget. Kakekku dulu sering mengajakku ke rumahnya yang ada di Berastagi sana. Katanya rumah itu adalah peninggalan kedua orang tuanya, yang sekaligus adalah kakek dan nenek buyutku kan? Kata kakekku, mereka mati muda. Namun, di rumah kakekku itu, ada foto pernikahan kakek dan nenek buyutku. Mereka berdua sungguh mirip 100% dengan kalian berdua. Oh Tuhan… Seandainya saja aku sempat memfoto foto pernikahan itu ke dalam HP-ku ini… Kalian akan bisa melihat kemiripan yang sedemikian intens antara kalian berdua dan kakek nenek buyutku itu…"

Wilsen Yono masih menatap Jacky Fernandi dan Carvany dengan mata tanpa berkedip.

"Kakek banyak menceritakan kisah hidup kakek nenek buyutku kepadaku. Yang paling membuatku kagum adalah kisah perjuangan cinta mereka dan perjuangan kakek buyutku dalam usahanya memerdekakan negeri ini. Meski namanya tidak pernah masuk dalam catatan sejarah, dan tidak pernah menjadi bagian penting dalam sejarah negeri ini, aku sebagai salah satu keturunannya turut merasa bangga dengan perjuangannya dulu. Astaga… Semakin lama dilihat, kalian semakin mirip dengan kakek nenek buyutku deh…"

Wilsen Yono masih memandangi Jacky Fernandi dan Carvany dengan mata tanpa kedip.

Kembali Jacky Fernandi dan Carvany saling berpandangan sesaat tanpa bisa berkata apa-apa.

"Kakek bilang sejak remaja, Kakek Buyut sudah bercita-cita membuka sebuah sekolah seperti ini. Akhirnya, sampai di tangan Ayah, sekolah ini berhasil didirikan di Jakarta. Dan lima tahun lalu, kami berhasil membuka cabang sekolah ini di Medan sini. Darah keluarga Yiandra mengalir deras dalam sekolah Oliver Plus ini, asal kalian tahu saja…"

"Kalau boleh tahu… Kenapa… Kenapa sekolah ini kalian beri nama 'Oliver Plus'?" tanya Jacky Fernandi lagi.

"Hanya sebuah nama yang diberikan Ayah untuk menunjukkan bahwasanya sekolah ini adalah sebuah sekolah national plus. Dan, Ayah bilang apabila kelak anakku yang pertama adalah laki-laki, ia akan diberi nama Oliver," tukas Wilsen Yono dengan sebersit senyuman menawan pada wajahnya yang tampan rupawan.

Carvany memperhatikan wajah Wilsen Yono. Kemudian ia membandingkannya dengan wajah Jacky Fernandi. Memang jika diperhatikan secara saksama, garis wajah keduanya hampir-hampir mirip.

Mendadak saja Wilsen Yono memeluk Carvany. Carvany sungguh terhenyak kaget.

"Oh, Nenek Buyut… Nenek Buyut… Aku adalah cicitmu, Nenek Buyut…"

Carvany hanya diam tak bergeming. Dia merasakan adanya semacam perasaan aneh yang lain, yang mengalir dalam denyut nadinya.

Jacky Fernandi memisahkan sang putri pujaan hatinya dari Wilsen Yono dengan sedikit perasaan kikuk nan tak terjelaskan oleh kata-kata.

Kali ini, mendadak saja Wilsen Yono juga memeluk Jacky Fernandi. Jacky Fernandi juga merasakan semacam ada perasaan aneh yang tak terjelaskan oleh kata-kata mengalir dalam denyut nadi, menggelimuni kuncup pikirannya, dan berselarak dalam padang sanubarinya.

"Kakek Buyut… Kakek Buyut… Aku adalah cicitmu, Kakek Buyut… Aku adalah keturunan keluarga Yiandra yang keempat. Dari generasi Kakek Buyut, aku sudah termasuk generasi yang keempat. Tidakkah Kakek Buyut merasa garis dan bentuk wajah kita hampir sama?"

"Kita hanya mirip… Tidak sama… Tidak sama… Aku adalah…" belum sempat Jacky Fernandi menyelesaikan kalimatnya, Wilsen Yono sudah lebih dulu menyelanya.

"Aku yakin kalian adalah reinkarnasi dari kakek nenek buyutku. Ada waktu, nanti aku akan membawa kalian ke Berastagi, ke rumah kakekku dan melihat foto pernikahan kakek dan nenek buyutku. Kalian akan serasa bercermin," kata Wilsen Yono masih dengan pandangan takjubnya.

"Apakah… Apakah kakekmu masih tinggal di Berastagi?" tanya Jacky Fernandi ragu-ragu.

"Sudah meninggal tujuh tahun lalu. Komplikasi diabetes, Kakek Buyut… Tapi, rumahnya masih ada sekarang. Kami menjadikan rumah itu sebagai tempat liburan kami dan tempat kami menginap ketika kami datang berkunjung ke Medan. Ada waktu, nanti aku pasti akan membawa kalian ke sana…" kata Wilsen Yono dengan nada mantap.

Carvany merasa segalanya menjadi serba aneh. Dia masih sesekali bertukar pandang dengan sang malaikat merah. Dia masih membutuhkan beberapa waktu untuk menenangkan jiwanya yang beriak nan bergejolak.

***

Beberapa menit berlalu. Mereka saling berkenalan. Namun, Jacky Fernandi hanya menyebut nama 'Jacky' ketika memperkenalkan dirinya. Carvany hanya menyebut namanya yang sekarang tanpa menyebut namanya yang dari kehidupan lampau.

Tampak Wilsen Yono Yiandra yang sedang melakukan inspeksi ke bagian SMP dan SMA. Sesekali tampak Wilsen Yono berbincang-bincang dengan kepala sekolah SD, SMP, dan SMA tentang perkembangan pendidikan di Medan, dan bagaimana perkembangan pembelajaran murid-murid yang belajar di sekolah Oliver Plus cabang Medan.

Tampak Jacky Fernandi dan Carvany yang memperhatikan cicit mereka dari kejauhan.

Perasaan aneh dalam pikiran Carvany masih bergejolak. Ia masih belum begitu terbiasa dengan panggilan 'Nenek Buyut' dari Wilsen Yono.

"Kenapa…?" tanya Carvany dengan sebersit senyuman nakal kepada sang malaikat merah. "Kenapa kau memisahkannya dariku ketika ia memelukku secara tiba-tiba tadi?"

Jacky Fernandi hanya diam. Ia tampak mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jangan bilang kau cemburu pada cicitmu sendiri, Jack…" kata Carvany dengan seringai geli pada paras wajahnya.

"Walaupun dia adalah cicit kita, kini kau sudah terlahir dalam badan jasmani yang berbeda dengan jati diri dan identitas yang berbeda. Meski dengan kesadaran dan pikiran yang masih sama dengan Ivana Pangdani, kini kau bukanlah Ivana Pangdani lagi – kau adalah Carvany Callen Chen. Bisa saja ia tertarik padamu karena ia jatuh cinta pada figur seorang nenek buyut yang ia temukan hidup kembali dalam dirimu. Aku ingin mencegah hal itu terjadi."

Jacky Fernandi tampak sedikit tersenyum sumbang. Carvany menggaet lengan atas Jacky Fernandi dan ia merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat merah.

"Kau tahu sejak tahun 1930an dulu sampai dengan sekarang duniaku hanya seputar kau, Jack…" kata Carvany dengan sorot mata menerawang.

"Iya… Aku tahu… Oleh sebab itulah, aku sangat berterima kasih padamu. Kau melihatku murni apa adanya sebagai Jacky Fernandi Yiandra. Jika itu orang lain, aku rasa sudah sejak awal aku ditinggalkan."

"Kau benaran mau menganggap Wilsen Yono itu sebagai cicit kita? Berarti kau benaran mau menganggap ayahnya sebagai cucu kita dong?" tanya Carvany dengan sebersit senyuman geli.

"Tentu saja itu tidak mungkin, Sayang…" Jacky Fernandi kali ini tergelak dalam tawa renyahnya. "Zaman sudah berubah sekarang… Bagaimana mungkin kita bisa menganggap orang yang hampir sebaya dengan kita itu sebagai cicit kita? Apalagi kan ayahnya itu sekarang pasti sudah berumur empat puluhan atau bahkan lima puluhan. Jelas tidak mungkin kita menganggap seorang bapak-bapak itu sebagai cucu kita. Tata dunia ini akan menjadi kacau."

"Iya… Kau benar… Hal itulah yang membuatku merasa kikuk dan tidak tahu bagaimana menghadapi si Wilsen Yono ini sekarang. Apalagi kelak nanti ketika aku bertemu dengan ayahnya. Aduh! Kacau deh…" kata Carvany sembari menepuk ringan jidatnya.

"Perlahan-lahan kita akan bisa menyesuaikan diri dengannya. Dan aku yakin dia juga bakalan bisa menyesuaikan diri dengan kita, Carvany."

"Hal yang amat kusayangkan adalah ternyata kakeknya itu sudah meninggal."

"Iya… Aku juga… Hal yang paling kusesalkan adalah, meski sudah lewat 80 tahun lebih, kita tetap tidak berjodoh dengan anak kita dan tidak bisa bertemu dengannya." Jacky Fernandi tampak menyeka ekor matanya.

Carvany bantu menghapus rinai air mata sang malaikat merah. "Jangan khawatir, Jack… Jika berjodoh, kelak mungkin dia bisa menjadi anak kita lagi. Iya kan?"

Jacky Fernandi mengangguk mantap. Dia kembali menampilkan senyuman santainya.

"Wilsen Yono sudah datang…"

"Bagaimana inspeksinya?" tanya Carvany dengan sebersit senyuman lembut.

Wilsen Yono datang bersama-sama dengan kepala sekolah SD, SMP, dan SMA yang mengikutinya dari belakang.

"Sudah selesai, Nenek Buyut…"

Tentu saja tiga kepsek yang berdiri di belakang Wilsen Yono itu terbengong sejenak. Untuk menetralisir kekakuan yang ada, Carvany terpaksa meledak dalam tawa renyahnya. Jacky Fernandi hanya tersenyum santai.

"Pak Wilsen pandai sekali bergurau ternyata…" kata Carvany memberikan semacam sinyal mata kepada Wilsen Yono.

Wilsen Yono mengangguk mantap. "Ternyata cerita punya cerita Pak Jacky dan Bu Carvany ini dulunya pernah menetap di Jakarta dan kami adalah kenalan lama. Sudah hal biasa saya membahasakan mereka dengan sebutan 'Kakek Buyut' dan 'Nenek Buyut'," tukas Wilsen Yono kepada tiga kepsek yang ada di belakangnya.

Tiga kepsek tampak kembali netral. Mereka sedikit terhenyak rupanya Carvany Callen Chen yang ada di hadapan mereka ini adalah kenalan lama si anak direktur ketika ia menetap di Jakarta dulu. Mereka baru tahu Carvany rupanya pernah menetap di Jakarta.

"Oh ya, Pak Wilsen… Ada program PNS yang ditawarkan pemerintah juga ke sekolah ini jika saya tidak salah ingat. Mungkin tiga kepsek yang ada bisa mengikutsertakan guru-guru yang ada di sekolah ini ke ujian PNS itu. Mana tahu bisa tembus, kan lumayan…" kata Jacky Fernandi memberikan sedikit usul untuk Wilsen Yono, sekaligus kepada tiga kepala sekolah yang berdiri di belakang Wilsen Yono.

"Ya… Ya… Ya…" kata si kepsek SD sedikit terhenyak mendadak Jacky Fernandi bisa mengungkit hal itu. Jelas terlihat pengalaman Jacky Fernandi dalam dunia pendidikan itu tidak sedikit.

"Ya… Ya… Akan kami daftarkan nanti, Pak Jacky…" sahut kepsek SMA.

"Memang sudah lama kami ingin menggelar rapat guru di sekolah ini dan menginformasikan kabar baik ini kepada mereka semua," timpal kepsek SMP.

Jacky Fernandi hanya mengangguk tanpa banyak bicara lagi. Wilsen Yono kembali menampilkan senyuman khasnya. Dia mengatakan kepada tiga kepsek yang ada di belakangnya untuk kembali ke ruangan kerja masing-masing.

"Sudah selesai deh… Aku bisa mengirimkan laporan ini nanti ke Ayah dengan email. Kakek Buyut dan Nenek Buyut sudah makan siang? Sudah jam tigaan juga nih… Bisa dibilang ini makan siang menjelang makan malam…"

Jacky Fernandi tampak menutupi kedua matanya dengan kedua tangannya. "Aku tidak begitu biasa dengan panggilanmu itu terhadap kami."

Carvany hanya mengulum senyumannya. Wilsen Yono terbahak sejenak.

"Justru kalau suruh aku panggil nama kalian langsung, aku yang jadinya tidak terbiasa. Xavi pasti akan terkejut bukan main dengan penemuanku hari ini."

"Xavi siapa?"

"Pacarku… Kami kenal sejak SD – selalu sekelas… Waktu kuliah, aku menembaknya dan dia menerimaku. Sampai sekarang, kami sudah jalan selama lima tahun lebih, Kek, Nek…" Wilsen Yono menyeringai lebar. "Namanya itu agak unik… Dimulai dengan huruf X karena ibunya tamatan universitas di Spanyol sana. Ayahnya adalah pemilik penerbitan yang cukup terkenal di Jakarta. Sekarang sedang buka cabang di Medan. Xavi dan adiknya sekarang juga berada di Medan."

Jacky Fernandi hanya tersenyum santai. Carvany menatap sang malaikat dengan sorot mata sejuta makna.

"Wah, selamat ya, Wilsen… Kami turut senang mendengarnya… Sudah ada rencana pernikahan?" Carvany tampak sedikit menyeringai.

"Wah, belum deh, Nenek Buyut… Kami jalani saja dulu… Lagipula, pihak keluarga Xavi sana bilang jangan terburu-buru menikah dulu. Memang keluarga Wangsa ini adalah keluarga yang memegang teguh komitmen dan tanggung jawab."

"Wangsa?" Jacky Fernandi dan Carvany terperanjat kaget sejenak. Mulut keduanya tampak menganga dan kedua mata mereka tampak sedikit membesar.

"Ada apa? Wangsa itu nama keluarga Xavi dan Xava… Xavi Ximena Wangsa… Adiknya itu Xava Ximela Wangsa… Ada apa sih?" Wilsen Yono sedikit bingung kenapa kakek nenek buyutnya bisa begitu terkejut mendengar nama keluarga Wangsa.

"Jangan-jangan ini bukanlah kebetulan, Jack… Ini bukan kebetulan…" Carvany sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jacky Fernandi sedikit mereka-reka apa sesungguhnya yang terjadi dengan generasi-generasi yang ada di bawahnya.

"Ada apa sih, Kek, Nek…? Ada apa dengan Wangsa? Kalian juga kenal dengan Wangsa?" tampak mata Wilsen Yono sangat berbinar-binar.

Jacky Fernandi mengangguk. "Tadi kau mengatakan kau percaya dengan adanya reinkarnasi bukan?" tanya Jacky Fernandi sedikit mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Wilsen Yono hanya mengangguk dengan sorot mata bingung. "Habisnya kalian begitu mirip dengan kakek nenek buyutku loh… Sangat mirip… Seperti saudara kembar… Dan namamu juga hampir mirip dengan kakek buyutku, Jacky. Nama kakek buyutku juga Jacky. Dan aku rasa di dunia ini tidak ada kebetulan yang benar-benar kebetulan seperti ini deh…"

"Oke… Kita akan sama-sama membuktikan bahwasanya aku dan Carvany memang adalah penjelmaan kakek nenek buyutmu dari masa lampau."

"Bagaimana caranya kita membuktikannya?"

Jacky Fernandi dan Carvany saling berpandangan sesaat. Keduanya saling mengangguk dan mereka berpaling ke Wilsen Yono lagi.

"Kami tahu nama lengkap kakek dan nenek buyutmu itu, Wilsen…" Carvany tersenyum menenangkan.

Kedua mata Wilsen Yono sedikit membesar. "Jadi maksud kalian adalah… adalah…" Jelas Wilsen Yono tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Iya… Kau memang benar… Di kehidupan lampau, aku adalah Ivana… Ivana Pangdani… Tentunya kau kenal nama itu bukan? Atau mungkin kau pernah mendengarnya…" sahut Carvany masih dengan sebersit senyuman menenangkan.

"Iya… Aku sering – bahkan terlalu sering mendengar nama itu. Kau benaran adalah Nenek Buyut… Astaganaga…! Tidak bisa kupercaya… Tidak bisa kupercaya… Sosok yang selama ini hanya kulihat dalam foto kini hidup dan muncul di hadapanku… Astaganaga, Nenek Buyut! Aku serasa menemukan orang yang sudah lama meninggal hidup kembali…" Wilsen Yono benar-benar terlihat tidak percaya berbaur dengan terperanjat kaget berbaur dengan senang. Semuanya berkecamuk nan bercampur baur dalam relung sanubarinya.

"Dan ini memang adalah kakek buyutmu, Wilsen… Karena satu dan lain alasan, tubuhnya tidak mengalami penuaan dan kematian. Namanya tetap Jacky – Jacky Fernandi Yiandra…" Kali ini, Carvany benar-benar memperkenalkan Jacky Fernandi Yiandra kepada salah satu keturunannya.

Wilsen Yono Yiandra kembali terhenyak kaget dan terlihat ia mundur selangkah. Ia terus menatap kakek buyutnya dengan takjub. Perlahan-lahan tangan naik, dan ia memegangi kedua belahan pipi kakek buyutnya. Perlahan-lahan, senyum kesenangan dan riang gembira mulai merekah di sudut bibirnya.

"Kakek Buyut… Kakek Buyut… Sejak awal aku memang sudah menduga hal ini… Mirip sekali… Sama sekali tidak berubah… Benaran Kakek Buyut tidak mengalami penuaan dan kematian? Kok bisa? Kok bisa?"

"Jika kau ada waktu, akan kami ceritakan satu per satu…" tukas Jacky Fernandi sembari mengulum senyumannya.

"Tentu saja ada waktu aku. Aku sudah begitu excited. Selama ini aku hanya mendengar cerita tentang Kakek Buyut dari Kakek. Tidak kusangka-sangka hari ini aku bisa mendengar langsung dari Kakek Buyut. Ya Tuhan… Entah karma baik apa yang kuperbuat sehingga hari ini aku bisa bertemu lagi dengan kakek nenek buyutku…"

Wajah Wilsen Yono Yiandra tampak begitu berseri-seri. Sorot matanya terlihat begitu berbinar-binar. Dia mengikuti ke mana Jacky Fernandi dan Carvany melangkah. Beragam pertanyaan terlontar keluar dari mulutnya, bahkan ketika mereka belum sampai di tempat yang cocok bagi Jacky Fernandi dan Carvany untuk bercerita.

***

Felisha Aurelia duduk di sebuah kursi di kafe perusahaan ayahnya. Boy Eddy datang membawa dua piring nasi ayam, satu gelas cocktail hazelnut dan satu gelas cocktail green tea. Boy Eddy duduk dan siap-siap menyantap makan siangnya ketika sekonyong-konyong Felisha Aurelia menggaet lengan atasnya dan merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat hijau.

"Ada apa? Kok mendadak manja begitu? Tidak biasanya deh…" Boy Eddy sedikit terbahak.

"Kan boleh-boleh saja aku manja… Kenapa? Kau tidak suka? Sudah mulai bosan padaku?" terdengar suara Felisha Aurelia yang sedikit cemberut.

"Tidak loh… Kau manja-manja begitu padaku, ya tentu saja aku senang. Hanya saja, aku heran kok tumben kau bisa bermanja-manja padaku sekarang…" Boy Eddy meledak dalam tawa renyahnya. Dia tahu kadang Valencia atau Felisha bisa menjadi sangat moody dan akan uring-uringan apabila keinginan-keinginan kecilnya tidak dituruti. Sejak dulu beginilah pasangannya dan hal itulah yang membuat Boy Eddy tidak pernah berhenti mencintainya.

"Boy… Boleh aku bertanya padamu tentang sesuatu?" tanya Felisha Aurelia mulai memerah pipinya.

"Ada apa?" tanya Boy Eddy dengan nada lembut.

"Apakah… Apakah kau terus akan dalam kondisi dan jati diri seorang malaikat? Mungkinkah kau bisa balik lagi menjadi manusia seperti dulu?"

Boy Eddy sedikit mereka-reka. "Dewa 5 Unsur ada berjanji pada kami bertiga akan mengembalikan tiga badan jasmani kami jika kami sudah menemukan kalian bertiga, dan tanpa kami sendiri menyebutnya, kalian bisa tahu jati diri kami dan mengingat kami dalam ingatan kehidupan masa lampau kalian."

"Sekarang kami sudah mengingat sebagian besar kehidupan lampau kami. Apa lagi sih yang ditunggu oleh Dewa 5 Unsur itu?" Felisha Aurelia terdengar sedikit menggerutu.

"Kenapa… Kenapa… Kenapa kau begitu terburu-buru?" tanya Boy Eddy dengan sorot mata menyelidik.

Felisha Aurelia membuang pandangannya ke arah lain. "Kan kalau kau sudah mendapatkan kembali badan jasmanimu, kau sudah kembali menjadi manusia seperti dulu lagi. Aku bisa memperkenalkan kau ke kedua orang tuaku yang sekarang. Jadi, mereka tidak perlu lagi menjodoh-jodohkan aku dengan si Hengky Fredieco Godwin itu."

Boy Eddy meledak dalam tawa renyahnya. "Biar kutebak dulu… Kau pasti sudah mengingat… mengingat malam pertama kita dulu bukan?"

"Sudah… Ayo makan…" Felisha Aurelia mengalihkan topik pembicaraan mereka ke makan malam mereka.

Boy Eddy terbahak sejenak. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga sang putri pujaan dan mulai berbisik,

"Sorry, Sayang… Waktu itu aku curi start terlebih dahulu… Aku janji di kehidupan yang sekarang, benaran kita akan menikah dulu, baru kita akan melakukannya. Aku akan minta kembali badan jasmaniku dari Dewa 5 Unsur supaya kita bisa secepatnya menikah. Kau mau kan?" Boy Eddy tampak sedikit menyeringai dan tersenyum nakal.

"Mau apa…? Semua laki-laki sama saja… Hanya itu yang ada dalam pikiran laki-laki… Kegatalan…" Felisha Aurelia tampak sedikit uring-uringan sembari merapatkan bibirnya.

Kembali Boy Eddy tergelak sejenak. Dia mengangkat tangannya dan membelai-belai kepala sang putri pujaan.

"Hanya bercanda, Felisha Sayang… Jangan marah ya… Seperti di kehidupan lampau, aku tetap akan menunggumu sampai kau siap…" bisikan mesra tetap terdengar di telinga Felisha Aurelia dan selalu bisa meredam segala emosi dan unek-uneknya.

"Tidak kok…" tampak Felisha Aurelia kembali tersenyum malu dan merebahkan kepalanya ke bahu sang malaikat hijau. "Perempuan juga menginginkan hal itu asalkan dia tetap dihargai dan diperlakukan secara terhormat."

"Dalam urusan menghargai dan memperlakukan secara terhormat, apakah aku sudah memenuhi persyaratan, Sayang?" bisik Boy Eddy lagi dengan sebersit senyuman nakal menghiasi wajahnya yang ganteng.

"Tentu saja…" mendadak Felisha Aurelia mendaratkan satu kecupan mesra di pipi sang malaikat hijau.

Boy Eddy sedikit mengedipkan matanya sembari tersenyum imut. Keduanya mulai menyantap makan malam mereka.

Di luar, bintang-bintang mulai menampakkan diri. Kerlap-kerlip di cakrawala malam di luar bersaing gemintang ribuan bintang di relung sanubari Boy Eddy dan Felisha Aurelia.

***

Malam sudah meladung di seantero kota Medan. Malam ini, Angela dan beberapa rekan kerjanya naik kereta api bersama pulang ke Binjai. Tampak kereta api melaju di atas rel membelah sunyinya malam dan membelah gelapnya padang rumput dan tanah kosong yang berjejer di sepanjang kiri dan kanan rel.

"Tidak kusangka Cindy bisa meninggal dalam usia yang semuda itu…" komentar salah satu rekan kerja Angela.

"Dia meninggal di pelataran parkir apartemen tempat tinggal salah satu mahasiswa yang juga adalah teman sekampusnya. Ternyata diam-diam Cindy menaruh hati pada laki-laki itu selama ini…" komentar rekan kerja yang lain.

"Di apartemen lelaki itu, juga ditemukan mayat dua gadis lainnya dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Darah di mana-mana di dalam apartemen itu. Entah apa yang terjadi sehingga keempat orang itu bisa meninggal dalam kondisi yang begitu mengenaskan…" si rekan kerja sedikit bergidik membaca artikel mengenai misteri kematian Cindy Victoria Kosim, Qomar Shia Putra, Calista Permata Halim, dan Irene Ivy Juswan.

Angela hanya diam, membisu, dan sama sekali tidak bersuara. Dia tahu ceritanya tak bakalan dipercayai oleh rekan-rekan sekantornya. Dia memilih untuk diam. Dia memilih untuk memendam sendiri saja kepedihan karena telah kehilangan sang sahabat. Dia memilih untuk memendam sendiri saja kepedihan karena rupa-rupanya ia begitu dibenci oleh sang sahabat selama ini.

Setengah jam berlalu. Kereta api sudah tiba di stasiun Binjai. Kenny Herry bilang malam ini tidak bisa menjemputnya pulang karena ada sedikit pertemuan penting dengan Dewa 5 Unsur. Oleh sebab itu, Angela naik kereta api sendiri pulang ke Binjai malam ini.

Dengan menaiki angkot, Angela hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dari stasiun untuk sampai di depan rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Jalanan di depan rumahnya sudah sepi. Dia mengeluarkan kunci guna membuka pintu depan. Jam-jam begini, kedua orang tuanya pastilah sudah terlelap. Dia tidak ingin membangunkan mereka guna membuka pintu depan. Saat dia hendak menancapkan anak kunci ke lubangnya itulah, mendadak ada satu sepeda motor yang mendekatinya. Tampak ada dua orang lelaki berpakaian serba hitam di atas sepeda motor. Lelaki yang di belakang segera turun dan mengacungkan sebilah pisau ke Angela.

"Kalian mau apa!" suara Angela naik beberapa oktaf. Dia mundur beberapa langkah sampai punggungnya menempel pada pintu depan rumahnya.

"Berikan tasmu! Ayo! Tasmu! Tas! Tas!" si lelaki berbaju serba hitam mendekatkan pisaunya ke wajah Angela.

Mau tidak mau, Angela hendak menyerahkan tasnya kepada si perampok. Baru saja tas itu akan berpindah ke tangan si perampok, seberkas sinar biru berkelebat dan berputar-putar di sekitar tempat kejadian. Sinar biru terus berputar-putar di sekujur badan kedua perampok itu. Akibatnya, badan kedua perampok itu juga ikut berputar-putar tiada henti. Kepala menjadi pening dan pandangan mata menjadi kurang fokus. Merasa ada yang tidak beres, lelaki yang turun tadi segera naik kembali ke sepeda motor dan sepeda motor melaju dengan sangat kencang meninggalkan Angela di depan rumahnya.

Sinar biru masih bergerak melingkar. Kali ini sinar biru melingkar-lingkar di sekujur tubuh Angela. Angin kecil tercipta. Secara otomatis, gaun Angela juga terangkat. Mau tidak mau, Angela menahan gaunnya yang naik ke atas sambil memekik halus.

"Ken… Ken… Sudah cukup, Ken… Perampoknya sudah pergi. Aku rasa kau sudah bisa muncul sekarang…" pekik Angela halus.

Sinar biru berubah menjadi sesosok laki-laki dengan tubuh tinggi putih nan bedegap, dengan paras wajah rupawan nan ganteng, dengan senyumannya yang nakal nan mempesona.

Kenny Herry mendaratkan satu kecupan mesra di kening Angela. Angela sedikit menunduk, sedikit tersipu malu. Dengan kehadiran sang malaikat biru, Angela tahu ia bisa terhindar dari setiap marabahaya yang mendekatinya.

"Tapi katanya ada rapat dengan Dewa 5 Unsur."

"Iya… Tapi, setiap kali kau berada dalam bahaya, aku selalu siap datang menolongmu. Iya kan? Itulah yang disebut seorang malaikat."

"Benar juga…" Angela tersenyum simpul.

"Oke… Ayo kita naik ke atas. Tidak usah pakai kunci lagi. Langsung saja kita naik ke atas…"

Kenny Herry menggenggam tangan Angela Thema. Keduanya berubah menjadi dua berkas sinar biru dan terbang langsung ke lantai atas rumah Angela.

Angela membuka mata dan dalam sekejap dia sudah sampai di lantai atas rumahnya. Dia membuka pintu ruangan atas dan akhirnya dia masuk ke dalam rumah. Sang malaikat biru mengekorinya dari belakang.

"Terus terang aku belum makan. Aku menunggumu sampai aku kelaparan, Ken…" kata Angela dengan raut wajah sedikit cemberut.

"Sorry… Sorry, Sayang… Pertemuan dengan Dewa 5 Unsur tadi memang lama. Ada suatu hal penting yang harus kami diskusikan dengan Dewa 5 Unsur."

"Sudah selesai sekarang kan?" tanya Angela dengan sebersit senyuman ramah. "Aku sudah membeli dan menyimpan semua bahan makanan kita ke dalam kulkas. Tinggal kumasukkan ke dalam wajan, dan makanan akan segera siap… Sebentar ya, Ken…"

"Serius deh… Sesungguhnya kau tidak perlu repot-repot dan capek-capek begini. Dengan kekuatanku, aku bisa…"

Angela meletakkan jari telunjuk kanannya di depan bibir sang malaikat biru. Kenny Herry terdiam seketika.

"Tapi, aku ingin melakukan sesuatu untukmu dengan kedua tanganku sendiri, Ken. Dengan demikian, aku bisa merasa diriku ini memang dibutuhkan olehmu," sahut Angela dengan sebersit senyuman lembut.

"Oke… Oke… Kuikuti saja apa keinginanmu…" kata Kenny Herry sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

Lima belas menit berlalu… Untuk urusan masak-memasak, memang Angela memiliki kedua tangan yang cekatan. Dalam lima belas menit, dia bisa menyelesaikan nasi putih, sup bakso ikan, ayam goreng, dan kentang goreng. Semuanya diangkat ke lantai atas. Mereka akan makan malam beratapkan langit.

"Menu makan malam ala kadarnya dengan gaya Angela saja malam ini, Ken… Sorry… Tidak ada lobster, tidak ada kepiting saus tiram, dan tidak ada juga sate kambing panggang. Aku tidak tahu resepnya. Nanti ke depannya aku akan pelan-pelan mempelajarinya."

"Ke depannya kau tinggal cukup memberikan resep-resepnya pada para pembantu dan biarkan mereka yang mengerjakannya," tukas Kenny Herry sembari mengedipkan sebelah matanya. Angela tampak sedikit cengar-cengir.

Kenny Herry mulai menyantap masakan putri pujaan hati. Dia tampak sangat menikmati masakan tersebut. Dari dulu ketika masih menjadi Belinda Yapardi sampai sekarang ketika sudah menjadi Angela Thema, masakan sang putri pujaan hati tetaplah menggugah selera.

"Kenapa selama ini kau jarang memasak padahal kedua tanganmu sangat cekatan dalam mengolah masakan-masakan?" tanya Kenny Herry sedikit mengerutkan dahinya.

"Aku harus kuliah dan kerja. Mana ada waktuku lagi. Makanya resep-resep yang kukuasai hanya beberapa itu. Tak punya begitu banyak waktu untuk mengeksplorasi, Ken…" Angela terlihat sedikit menyeringai.

Kenny Herry terus menyantap masakan Angela tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka makan di bawah temaram lampu jalan. Mendadak saja, Angela terpikir ke satu hal. Ia membuka mulutnya dan bertanya,

"Ngomong-ngomong, topik penting apa sih yang kalian bertiga bahas dengan Dewa 5 Unsur?"

Kenny Herry berhenti makan sesaat. Dia sungguh tidak menyangka Angela akan menanyakan hal itu kepadanya.

"Tentunya adalah kapan tugas kami akan berakhir dan kapan kami bisa memperoleh badan jasmani kami kembali." Kenny Herry terlihat tidak berniat menjelaskan topik pembahasannya dengan Dewa 5 Unsur lebih lanjut.

"Lho? Memangnya tugas kalian mengantar orang yang mati ke kehidupan yang berikutnya itu ada tenggang waktunya juga? Apa yang akan terjadi jika masa kontrak kalian telah habis?" Angela sedikit mengangkat alisnya.

"Ada perjanjian antara kami dan Dewa 5 Unsur, apabila kami berhasil menemukan tiga putri pujaan hati kami, tanpa menyebut identitas kami, berhasil membuat ketiga putri pujaan hati kami tahu siapa identitas kami dan mengingat kami dalam ingatan kehidupan lampau mereka, di sanalah habis masa kontrak kami dengan kereta api pengantar dan kereta api magis. Kami bisa memperoleh badan jasmani kami kembali. Dan mudah-mudahan saja kami bisa kembali menjadi manusia seperti dulu." Kenny Herry berkata dengan nada nonkomital.

"Aku harap hari itu akan segera tiba, Ken…" kata Angela dengan sorot mata menerawang.

"Apakah… Apakah… Apakah kau sudah tidak sabar menanti datangnya hari itu? Aku…" belum sempat Kenny Herry menyelesaikan kalimatnya, Angela memasukkan satu potong ayam goreng ke dalam mulut sang malaikat biru. Sang malaikat biru hanya bisa mengunyah dan menelan potongan ayam goreng tersebut.

Angela terbahak sejenak. Mendadak saja, dia mendaratkan satu kecupan mesra ke pipi sang malaikat biru.

Tampak sang malaikat biru sedikit uring-uringan. "Setelah banyak yang kita lalui, masa hanya di sana kau memberikan bonusmu kepadaku, Gel…"

Sekali lagi Angela Thema mendaratkan satu kecupan mesra, tapi kali ini tepat ke bibir sang pangeran pujaan. Kenny Herry agak membelalakkan matanya sebelum akhirnya perlahan-lahan ia memejamkan matanya, membiarkan segalanya tenggelam ke dalam samudra cinta dan terseret ke dalam gelora asmara. Bilur-bilur cinta kembali menggelimuni dan menggeliat dalam gelora hati.

Tangan perlahan-lahan naik dan Kenny Herry merengkuh sang putri pujaan hati ke dalam pelukan kehangatannya. Cinta kembali berselarak dalam senandung asmara di bawah sinar rembulan di cakrawala yang sepi malam ini.