webnovel

Peduli dan Kepo Beda Tipis

Bulan sudah menggantung tinggi di atas langit, tapi mas Anton belum pulang juga sejak pergi ke masjid petang tadi. Awalnya, kupikir ia ingin sekalian menunggu isya, tapi hingga satu jam berlalu dari waktu itu, suamiku belum juga menampakkan batang hidungnya.

Apakah terjadi sesuatu? Tidak. Dengan cepat aku menggeleng, menepis segala prasangka yang tidak mengenakan. Barangkali mas Anton memiliki urusan di sana. Tetapi kenapa sampai malam begini? Apalagi ia tidak membawa ponsel untuk dihubungi.

Barang-barang pindahan sudah ku bereskan. Begitu juga dengan gerabah sisa tamu tadi sore juga bersih, nangkring di tempat semula. Ketika aku hendak beristirahat, pikiranku selalu tertuju pada pria yang tengah ku cemaskan. Kami baru pindah dua malam ini, tetapi suamiku sudah tega meninggalkanku sendirian. Meski aku yakin nanti dia pulang, tapi tetap saja ada perasaan jengkel di sini.

"Awas nanti kalau pulang!" kesalku. Meski di saat yang sama aku merasakan cemas yang luar biasa.

Aku belum bisa tenang, mondar-mandir di ruang depan hanya untuk menanti kedatangan mas Anton. Ingin keluar dan memeriksa, aku terlalu penakut untuk itu.

Beruntung, napas yang sedari tadi tertahan gelisah kini bisa dibuang lega ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Segera ku pasang mata di antara celah tirai dan jendela. Benar saja, itu suamiku.

"Assalamualaikum," ucap pria itu dengan santai. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah ketika mendapati aku sudah berkacak pinggang di balik pintu. Ya, aku sangat kesal dengan mas Anton.

Melihatku hanya bergeming dengan tatapan tajam, mas Anton melayangkan senyum meringis, menampakkan gigi berderet. "Eh, sayangku belum tidur?" ucapnya manis, tentu saja ia sudah merasakan aura akan diterkam olehku.

Namun untuk beberapa detik, aku masih menatap pria di depanku ini dengan tajam. Hingga akhirnya ku layangkan sebuah tanya, "Darimana saja?" Tangan yang tadi berkacak pinggang kini sudah terlipat di depan dada.

Ku lihat mas Anton mulai menggaruk tengkuk yang ku yakin tidak gatal, ia gugup.

"Mas tadi ngobrol dulu sebentar dengan bapak-bapak di masjid. Nggak enak kalau langsung pulang," jelasnya sebelum melihatku semakin marah.

"Sebentar?" Kedua bola mataku membulat. "Mas pergi dari petang dan baru pulang. Itu sebentar?" Aku semakin kesal.

Namun beginilah kebiasaan suamiku. Ia tidak pernah menganggap serius jika aku marah. Justeru sebaliknya, pria ini akan menatapku lekat sembari meluncurkan beberapa jurus penggoda.

Diamatinya setiap inci dari wajahku. Untuk beberapa detik ia tidak berkedip. Jangan tanya bagaimana perasaan di dalam sana. Mas Anton benar-benar pandai membuatku tersipu lengkap dengan pipi yang merona.

"Berhenti menatapku seperti itu," ucapku, masih jual mahal padahal jantung di dalam sudah riuh seperti genderang.

Tetapi bukannya mengindahkan peringatan dariku, mas Anton justeru semakin memangkas jarak di antara kami. Kakinya maju beberapa langkah. "Kenapa? Mas sangat merindukanmu," ucapnya.

Mendengar itu, tentu aku hanya bisa terpaku. Tidak bisa memundurkan badan bahkan ketika wajah kami hampir bersentuhan.

Aku memalingkan wajah ke samping. "Bohong. Baru juga pergi sebentar sudah bilang rindu," ujarku dengan malu.

Seolah tak membiarkan wajahku berpaling barang sebentar, mas Anton kembali meraih dagu milikku, menariknya hingga tatapan kami kembali beradu.

"Benarkah sebentar? Tapi tadi kamu bilang mas pergi lama. Jadi wajar jika mas merindukanmu, kan?" Lihatlah, bahkan senyumnya lebih manis jika dilihat dari jarak sedekat ini.

Aku hanya bisa terpaku di tempat. Matanya seolah mengunciku di sana. Bahkan jika jarak tak lagi bersekat di antara kami, aku tidak akan menolak.

Perlahan, wajahnya semakin mendekat. Kesal dan jual mahal yang sedari tadi ku perjuangkan runtuh hanya dengan sikap kecil mas Anton.

Mataku terpejam. Menanti apa yang akan terjadi setelah ini. Hingga ... cup!

Satu kecupan lembut mendarat tepat di kening. Untuk beberapa detik, aku masih menunggu pria itu berbuat lebih.

Namun setelah detik berganti beberapa saat, mas Anton hanya melepaskan kecupan, tidak ada apapun yang terjadi bahkan saat mataku masih terpejam. Malahan, aku mendapatkan usapan lembut di kepala, sangat jauh dari apa yang aku bayangkan.

Ku buka mata perlahan, dan ku dapati mas Anton masih tersenyum manis menatap wajahku. Sedangkan aku, tentu merasa sedikit kecewa dengan perlakuannya barusan.

"Kenapa? Kau ingin lebih dari itu?" tanyanya dengan kerling mata menggoda.

Aku menggeleng cepat. "T-tidak," lirihku, membohongi diri sendiri.

Untuk sesaat, aku yakin mas Anton masih menatap wajahku yang kini sudah memerah, tersipu. Sementara aku sendiri sudah tidak berani memandang wajah suami. Ingin rasanya aku masuk ke dalam lubang. Kenapa dia bisa bertanya hal seperti itu?

Entah apa yang lucu, suamiku terkekeh kecil. Mungkin baginya wajahku yang matang memiliki seni humor tersendiri untuknya. Ah, menyebalkan sekali!

Hingga setelah jeda menguasai beberapa saat, mas Anton kembali menatapku dengan serius. Mengelus puncak kepalaku sebelum akhirnya berucap, "Kita lanjutkan di dalam."

Mengerti dengan maksud ucapan itu, mataku kembali membulat. Sedangkan wajah jangan ditanya, tidak ada warna bedak yang tersisa, seluruhnya merah.

Belum sempat aku menimpali, mas Anton sudah lebih dulu menyambung kalimat. "Benarkan pakaianmu. Aku akan menunggu di kamar." Setelahnya ia mengedipkan mata.

Astaga! Kenapa jantungku berdebar sangat kencang. Ini sudah bulan kelima sejak pernikahan kami. Tetapi, mendengar hal semacam itu darinya masih membuatku mematung tak berdaya.

Oh, haruskah aku berkata, wajar namanya juga pengantin baru.

***

"Dek. Tolong ambilkan handuk!"

Terjadi lagi. Pria itu selalu lupa membawa handuk saat ke kamar mandi. Apa dia tidak berpikir jika badan perlu dikeringkan?

Ku bilas tangan yang penuh dengan sabun di pencucian. "Iya, sebentar." Lalu bergegas mengambil benda yang diminta mas Anton tadi.

"Aku letakkan di gagang pintu, ya," ucapku seraya meletakannya.

Selang beberapa detik, terdengar pintu kamar mandi dibuka. Benar saja, tubuh mas Anton sudah keluar setengah badan, mengambil handuk seraya menatapku. "Kau tidak mau ikut masuk?" Lihat, masih sempat-sempatnya pria ini menggoda.

Aku yang sudah malas menanggapi rayuan hanya memutar bola mata. "Sedang tidak tertarik," ucapku, lalu segera beralih pada gerabah yang belum selesai ku bersihkan tadi.

Untungnya, aku cukup terbiasa dengan urusan domestik rumah tangga seperti ini. Meski belum bisa menyelesaikannya sekaligus seperti istri-istri yang lain, tetapi ini lebih baik daripada tidak bisa melakukan apapun.

Biasanya mas Anton akan datang membantu di dapur. Namun sepertinya pagi ini dia sangat sibuk dengan berkas-berkas yang akan dibawanya ke kantor. Ya, hari ini suamiku sudah mulai bekerja.

"Sudah rapih belum, Dek?" Tiba-tiba suamiku datang dengan pakaian yang sudah rapih.

Ku amati sebentar tampilan pria yang terlihat semakin tampan. Memandang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidak ada yang perlu ditanggapi. Suamiku benar-benar tidak ada duanya.

Aku mengangguk. "Ya, Mas terlihat sangat tampan," pujiku dengan senyum yang mengembang.

Alhasil, dengan ucapan itu aku berhasil mendapatkan belaian lembut di kepala. Tentu bonus kecupan ringan di sana.

Setelah dirasa semua siap, mas Anton pamit hendak berangkat. Tentu aku akan mengantarnya sampai depan, hal itu sudah menjadi kebiasaan semenjak kami menikah. Tidak hanya itu, suamiku juga rutin mengecup kening setelah aku menyalami tangan pria itu dengan takzim.

"Mas pergi dulu, ya," ucapnya setelah memberikan hadiah di puncak kepalaku.

Aku mengangguk. Setelah mengatakan pada mas Anton untuk hati-hati, ku lambaikan tangan dan memandang pria itu sampai tidak terlihat. Suamiku pergi mengendarai motornya. Sebab hanya itu yang bisa kami gunakan saat ini, mobil belum dikirim dari kota.

Hingga saat pria itu sudah pergi meninggalkan pekarangan, aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Lagipula sudah tidak ada yang perlu kulakukan di sini.

Namun belum sempat aku berbalik, tiba-tiba terdengar suara dari halaman samping. Reflek aku menoleh, dan bu Rani sudah tertawa kecil menatapku.

"Aduh aduh pengantin baru. Romantis sekali pagi-pagi begini," ucap wanita itu dengan senyum yang belum hilang.

Untuk beberapa saat aku hanya terdiam. Memikirkan sejak kapan bu Rani ada di sana. Juga, apa yang dia maksud dengan romantis? Aku hanya mengantar suami pergi bekerja, bukankah itu hal yang wajar? Atau jangan-jangan ....

Alhasil, bu Rani kembali berucap sebelum aku menjawab. "Aku jadi iri dikecup seperti Mbak Sari tadi," ujarnya yang kini menyandarkan sapu pada gerbang.

Bisa ku dengar helaan napas berat dari bibir wanita itu. "Ah ... sudah lama sekali rasanya suamiku tidak melakukan hal seperti itu padaku," lanjutnya dengan garis wajah kecewa.

Sementara aku yang mendengar hanya bisa tersenyum tak enak. Bingung juga hendak menanggapi seperti apa. Selain itu, aku juga merasa cukup malu saat mengetahui ternyata ada orang lain yang melihat kami tadi. Aku masih terbawa saat di kota, di mana tidak ada yang peduli bahkan jika kami saling berciuman di halaman. Lagipula, dinding di sana sangat tinggi hingga bisa menutup seluruh halaman rumah. Sedangkan di sini, kami bisa saling mengobrol karena pagar hanya sebatas pinggang.

Baiklah, mungkin ke depannya aku akan mengantar mas Anton sampai pintu saja.

"Aih, tidak usah dipikirkan seperti itu, Mbak. Masuk saja ke dalam, dan selesaikan pekerjaan. Belum nyuci, kan?" Tetanggaku berujar lagi. Menjawab kalimat itu, aku hanya mengangguk. Meski ada perasaan heran, bagaimana bu Rani tahu jika aku belum mencuci pakaian?

Tetapi, dengan cepat pertanyaanku dijawab. Mata wanita itu mengarah pada jemuran yang berada di halaman. "Itu, masih kosong."

Astaga! Bahkan tetanggaku memperhatikan sedetail itu?

Untuk jemuran dan cucian, apakah memang sesama tetangga harus saling memperhatikan seperti ini? Aku hanya bisa melongo sebentar. Meski pada akhirnya kembali tersenyum, tak enak menampilkan keterkejutan terlalu lama.

Sadar Mayangsari, kamu harus membiasakan diri dengan hal-hal yang tidak pernah dialami sebelumnya.

Baiklah. Aku akan menyuruh mas Anton memindahkan jemuran ke halaman belakang setelah ini.