webnovel

Petuah Kai

"Iya, Alma." Galaksi sudah menggantungkan tali id-card tanpa panitia di tengkuk, tengah sibuk bolak-balik di depan aula bersama panitia lainnya. Dia hendak mengangkat kotak berisi peralatan inventaris BEM sebelum kembali mendengar Alma bersuara di seberang sana.

"Aku ada jadwal terapi hari Minggu. Mas Gala bisa antar?"

Galaksi tertegun, dia masih berjongkok di samping kotak, satu tangan kirinya memegang earphone yang sejak tadi terpasang. Tidak ada alasan untuk menolak jika seseorang mengajaknya pergi di hari Minggu, dia belum memiliki rencana apa-apa. Namun, "Nanti aku kabari seandainya ... bisa."

"Mas Gala ada keperluan?"

Galaksi hanya bergumam tidak jelas.

"Oke, kabari aku kalau bisa antar, ya?" ujar Alma. Seperti biasa, tidak pernah ada kesan memaksa di dalam suaranya, tidak pernah ada penekanan, tapi Galaksi justru selalu kesulitan menolak ketika mendengar suara sendu itu. "Sampai ketemu, Mas. Kita belum ketemu lho, semenjak aku sampai di Jakarta.

"Oke ... sampai ketemu." Atau malah sebaiknya tidak?

Galaksi menutup sambungan telepon, padahal Alma yang menghubunginya lebih dulu. Dia belum beranjak ke mana-mana, masih diam di tempatnya. Setelah berbicara dengan Alma efeknya selalu sama. Rasa bersalah, gusar, risau, semua saling himpit dan membuatnya sering merenung lama.

Apakah masalahnya sepelik itu? Atau memang dia sendiri yang membuatnya rumit?

Sebuah getar di tangan membuat Galaksi kembali menatap layar ponselnya. Ada sebuah pesan masuk. Yang sepertinya terabaikan sejak tadi karena telepon dari Alma.

Helena Cellistine:

Udah. Baru keluar kelas. Acaranya di Aula gedung A, kan?

Senyumnya tidak tertahan saat membaca pesan terakhir yang dikirim Helena, lalu membalasnya cepat, dengan senyum yang masih belum pudar. Gusarnya sirna, risaunya enyah. Ajaib, dia menemukan obat yang cepat melenyapkan perasaan buruk itu dalam sekejap setelah biasanya menghabiskan waktu termenung berlama-lama.

Mengingat lagi tentang kesepakatan keduanya semalam, obrolan di apartemen, juga percakapan di sepanjang perjalanan saat mengantarnya pulang, Galaksi sangat menunggu hari ini untuk melihat perubahan sikap perempuan itu.

Jika ajakan Helena semalam adalah bentuk dari rasa putus asanya setelah putus cinta, maka hari ini dia pasti akan menyesal dan meralat semuanya. Namun, tidak ada yang berubah, sikapnya masih sama seperti Helena yang semalam menawarkan hubungan untuk lebih dekat.

Mengingat hubungan mereka sebelumnya yang tidak baik-baik saja, konflik masa lalu saat SMA, Galaksi tahu ada maksud tertentu dari sikap Helena yang tiba-tiba mendekatinya dan menawarkan sesuatu yang selama ini dibencinya.

Karena, jika alasannya ingin mengobati patah hati, atau menyembuhkan perasaannya saat ini, membuat Nathan cemburu, atau apa pun itu. Bukankah masih banyak laki-laki lain yang seharusnya lebih mudah dia dekati? Kenapa harus Galaksi, laki-laki yang dimusuhinya selama tiga tahun terakhir?

Galaksi masih berjongkok di sisi kotak alat-alat inventaris BEM yang baru saja digunakan oleh panitia untuk mendekor bagian depan aula. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan berjalan setelah mengangkat kotak berukuran besar itu yang kembali di simpan ke ruang BEM jika tidak ingin dimaki oleh Nazwa, sekretaris BEM.

Setelah sampai di sana, Galaksi melihat Kai tengah duduk di salah satu kursi dengan laptop yang terbuka.

"Rame, Gal?" tanyanya ketika Galaksi sudah menyimpan kotak berisi peralatan itu di dekat loker.

"Nggak begitu. Tapi, ya lumayan lah," jawabnya seraya membuka kotak untuk mengeluarkan alat-alat inventaris yang tadi dipinjamnya da menarhnya ke tempat semula. "Banyak yang lagi UTS kayaknya."

"Gal?" Suara Julian membuat Galaksi menoleh dan bangkit dari sisi kotak, dia berjalan menghampiri Julian yang kini berdiri di depan Kai. "Gimana nih merch dari sponsor?" Julian mengangsurkan kardus berwarna merah di tangannya. "Gila, ketahuan Pak Samsu kita bagi-bagiin ini setelah seminar, pasti kena gampar."

"Lah, masih mending. Gimana kalau habis itu BEM Fakultas lo dibekuin?" Galaksi membuka kardus yang dibawa Julian. Dia tertawa. "Sponsornya ngide banget, nggak ngerti lagi gue."

"Jangan-jangan udah lo seludupin sebagian, Jul?" tambah Kai.

Julian tertawa. "Lah, ngapain? Bisa beli sendiri gue kalau mau. Masalahnya, mau dipake sama siape?" tanyanya.

Kai dan Galaksi kembali tergelak.

"Ini simpen di mana, nih?" Julian melirik ke sekeliling. "Nggak mungkin gue taruh sini."

"Titip anak DPM aja. Di ruang DPM biasanya jarang ada orang," usul Kai.

"Lagi rapat mereka tadi," jawab Julian. "Rame banget di sana."

"Gue rasa jangan taruh di area kampus, deh. Bahaya kalau ketahuan." Galaksi menutup kardus rapi-rapi. "Lo bawa balik aja sana."

"Gue bawa motor, Bro. Gila nih kalau tumpah di jalan." Julian bergidik.

"Gal, bawa mobil kan lo?" tanya Kai. "Titip lah di bagasi lo, kasihan nih anak bawa-bawa kardus dari tadi, mana tampangnya pucet banget takut ketahuan."

Galaksi merogoh saku celana. "Ya udah, nih." Lalu menyerahkan kunci mobil pada Julian.

"Oke, thanks, Gal." Julian bergegas merebut kunci mobil dari tangan Galaksi dan melangkah pergi.

"Jangan lo ambil diem-diem, ya." Kai menatap Galaksi sinis sebelum kembali menatap layar laptopnya.

"Halah, halah. Gue beli sendiri di minimarket juga bisa." Galaksi tertawa saat Kai menggeleng. Dia menarik satu kursi duduk di samping Kai sembari kembali mengecek ponselnya. "Helen jadi ke aula nggak, nih?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, tapi Kai mendengarnya.

"Lo serius, Gal?"

Galaksi menoleh, mengalihkan tatapan dari layar ponselnya. "Serius apa?"

"Helen," ujar Kai.

"Yah, kenapa ... memangnya? Tinggal jalanin aja kan."

"Gal, lingkup pertemanan kita ini sempit banget. Gue pernah ingetin lo dulu. Boleh lo jalan sama cewek mana pun, kecuali Helen dan Ika. Ini bukan tentang gue dan Jessy, bukan mentang-mentang Jessy cewek gue, terus gue ngelarang lo deketin teman-temannya. Ini tentang pertemanan kita."

"Gue ngerti."

"Dari kejadian tiga tahun lalu, salah-salah lo malah bikin Helena jauhin lo, kan?" Kai kembaki mengingatkannya pada kejadian itu. Malam di Puncak itu dan apa yang terjadi setelahnya.

Namun, kali ini berbeda. Sekarang Helena sendiri yang memulai semuanya. Galaksi ingat apa yang dikatakannya semalam untuk menggertak Helena. Helen, lo sadar kalau lo lagi berusaha masuk melewati batas zona berbahaya? Dia berusaha mengingatkannya, tapi Helena tampak tidak gentar sama sekali.

Helena malah terlihat semakin maju, menantangnya balik. Jadi, kenapa tidak jika Galaksi ikut menikmati permainan itu? Lagi pula, "Nggak ada kesepakatan apa-apa antara ge dan Helena--maksudnya, hubungan yang pasti. Dia juga cuma ngajak main-main doang. Jadi nggak ada yang perlu diseriusin."

"Nggak ada yang tahu ke depannya, Gal. Mungkn aja nanti malah lo sendiri yang pengin balik seriusin Helen."

Galaksi tertawa kecil. "Gue akui kadang sikap visioner lo ini sangat berguna. Tapi sekarang, selama Helen ngajak gue untuk main-main, kenapa nggak gue nikmatin aja dulu. Iya kan?"

Kai tidak lagi menanggapi Galaksi. Dia hanya bergumam sambil kembali menekuri layar laptopnya. "Kalau gue sih, gue nggak akan memulai sesuatu yang gue sendiri belum menemukan cara untuk mengakhirinya dengan benar."

"Ya, ya. Itu lo. Se-perfect itu memang seorang Kai."

Kai menghela napas. Menatap Galaksi yang kini bangkit dari bangkunya. "Jangan nyakitin cewek, Gal."

"Oh, tentu. Gue juga selalu ingat apa kata nyokap gue, 'Jangan nyakitin cewek ya, Galaksi." Galaksi menatap Kai serius. "Itu alasannya, kenapa gue selalu 'ngenakin' cewek." Setelah itu, Kai terdengar mengumpat.

****