1 Bagian I ( Prolog : Sadar )

Pernahkah kamu merasa benar-benar kosong? Perasaan hampa yang sesungguhnya. Yang meski kamu berada di antara ribuan orang, kamu merasa seolah berada di Gurun Sahara yang lapang. Hanya ada hamparan pasir yang tersebar dalam diamnya. Sesekali mungkin telingamu akan mereaksi suara, tapi itu hanya embusan angin yang menggulung bersama pasir. Saat menampar wajahmu akan terasa perih. Meski tahu seperti apa itu perih, tetap saja kamu hanya seorang diri.

Ingin putus asa. Tapi bahkan perasaan seperti itu tidak bisa ditemukan bentuknya tersimpan dalam segumpal daging yang biasa disebut hati.

Aku ini… sebenarnya apa? Apa aku masih bisa disebut sebagai manusia jika perasaan itu tidak kutahu seperti apa.

******

Tit... tit... tit. Telingaku mereaksi sebuah suara. Perlahan kelima indraku yang awalnya tertidur kembali mengaktifkan fungsinya. Suara tit-tit dari sesuatu yang entah apa masih ditangkap indra pendengaranku.

Jariku bergerak-gerak di atas kain polos yang tidak terlalu lembut. Aku mengecap dan pahit yang terasa pada lidahku. Entah apa yang baru saja di masukkan ke dalam mulutku. Hidungku mulai mengendus, mencium aroma obat-obatan yang begitu pekat. Perlahan, aku membuka mata.

Kabur, sepertinya hanya mataku yang belum seutuhnya mengaktifkan fungsi penglihatannya. Meski tidak begitu jelas, tapi aku bisa melihat langit-langit yang putih bersih. Aku mengalihkan pandanganku, berharap menemukan suatu, apa pun itu.

Mesin elektrokardiografi. Ternyata suara berisik dari benda itu yang mengusik tidurku. Ada alat infus di samping meja. Tidak ada apapun lagi selain sekelilingku yang ditutupi oleh gorden berwarna biru keabu-abuan. Ah, tidak! Ada sesuatu yang bergerak. Aku mengernyitkan keningku, menggerakkan kepalaku ke sebelah kiri.

Ada dua orang yang menatap ke arahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena penglihatanku masih belum mengaktifkan fungsinya secara utuh. Samar-samar. Tapi dari potongannya, keduanya adalah pria.

"Siapa?" Hanya satu kata yang keluar dari bibirku yang terasa berat. Tenggorokanku kering.

Kedua orang yang kutanya tidak menjawab. Keduanya saling menatap. Ada ekspresi terheran-heran, terlihat dari alisnya yang nyaris menyatu. Mereka masih hanya diam, meski tahu aku menunggu jawaban.

"Pasien sadar!"

Sebuah suara membuatku terkejut. Suaranya keras dan kasar. Setengah berlari ia mendekatiku. Ia menyuruh temannya bergegas memanggil dokter. Sebuah nama kemudian disebutkan namun telingaku tidak menangkapnya dengan baik karena bicaranya yang cepat. Tampaknya perawat ini begitu bersemangat.

Tekanan darahku diperiksa, juga infus yang tergantung di sebelah kanan. Penglihatanku semakin jelas. Dalam jarak dekat aku bisa melihat wajah perawat yang oval. Hidungnya mancung dengan bibir yang tebal. Kulitnya tidak semulus porselen, tapi bersih. Tatapannya tajam, dipadukan dengan bentuk alis yang memanjang membangkitkan kesan tidak ramah. Rambutnya diikat rapi. Ia menyunggingkan senyumnya padaku sambil tidak henti-hentinya memanjatkan syukur. Bangunnya aku hari ini seperti sebuah keajaiban besar untuknya.

Bangun? Ah, tentu saja. Itulah alasan kenapa aku berada di rumah sakit.

Tidak lama kemudian dokter datang bersama dengan perawat berkacamata yang tadi telah masuk lebih dulu. Berbeda dengan perawat pertama, perawat berkaca mata terlihat lebih mungil dan lebih muda. Penampilannya polos, tidak banyak disapu mekap. Hanya lipstik dengan warna lembut yang menghiasi bibirnya.

Sementara dokter yang datang bersamanya terlihat bijak dan ramah. Tubuhnya tinggi berisi dengan potongan rambut pendek. Dari jam tangan sampai sepatu yang digunakan, semua terlihat teratur. Tampak seperti pria di atas usia 30 tahunan yang rapi dan perfeksionis.

Tekananku darah diperiksa lagi, aktifitas jantung, dan semuanya. Sembari tersenyum ramah dokter itu bertanya tentang bagaimana perasaanku. Apa ada yang terasa sakit, bagaimana penglihatan, dan bagaimana pendengaranku.

"Awalnya penglihatan saya enggak jelas, tapi sekarang sudah lebih baik. Hanya kepala saja yang masih terasa berat," kataku menjelaskan.

"Tidak apa-apa. Hal seperti itu normal untuk pasien yang baru sadar dari koma. Kita akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh nanti, untuk memastikan semua dalam kondisi baik. Sekarang lebih baik kita menunggu sampai keluarga Mbak datang." Dokter menjelaskan dengan suara khasnya yang berat.

Koma? Aku?

"Keluarga?" Aku melihat ke sisi sebelah kiri. Kosong. Tidak ada siapa pun. Dua orang tadi…

"Kenapa?" Perawat pertama bertanya kepadaku. Sepertinya ia bisa menangkap ekspresi bertanya-tanya pada wajahku yang terlihat kebingungan.

"Apa yang terjadi? Kenapa saya bisa di rumah sakit?" Aku balik bertanya setelah cukup berpikir.

Dokter dan dua perawatnya saling bertukar pandangan.

"Kecelakaan. Mbak koma selama setahun." Dokter menjawab singkat. Dengan kalimat yang cukup untuk kumengerti.

Kecelakan? Koma setahun?

Aku mengerutkan keningku. Berusaha mengingat. Berpikir. Berpikir lagi. Terus berpikir. Diam. Berapa lamapun aku mencoba, mengulangi lagi, lagi, dan lagi, tidak selembar kenangan pun di terbangkan ke kepalaku. Sakit! Tiba-tiba saja otot-otot kepalaku menengang. Seperti ada ratusan jarum menusuk ubun-ubunku secara bersamaan.

"Arghhh!"

*****

avataravatar
Next chapter