webnovel

Bad Lady—KTH

"Perjodohan ini bukan di dasari oleh cinta, melainkan paksaan. Tapi kenapa? Kenapa kau mengakhirinya dengan rasa yang seharusnya tak pernah ada?"~ Baek Shujin "Mungkin bagimu, ini hanya ikatan sementara. Tapi bagiku, kau adalah segalanya untuk selamanya. Bahkan sejak awal kita di pertemukan!"~ Kim Taehyung Sebuah hubungan yang kelabu dialami oleh seorang dokter muda yang jatuh cinta pada seorang gadis SMA. Apakah semuanya akan berjalan sesuai keinginannya? Bahkan dengan sifat dingin dan kasar

Tintaaya · Fantasy
Not enough ratings
2 Chs

Bab 2

(Note: putar lagu Taeyon - All About You & Heize - Can You See My Heart(Ost. Hotel Del Luna))

Waktu hampir menunjukkan jam makan siang, dimana kali ini juga menjadi waktu untuk memulai persidangan keluarga dimana yang menjadi tersangka adalah si bungsu, Baek Shujin. Setelah dijemput paksa oleh sang ayah dari tempat bermainnya, Shujin sama sekali tidak bersuara. Walau hanya sepatah. Hyurin sudah mencoba untuk mengajak Shujin bicara saat penolakannya terhadap keputusan kedua orangtuanya ditolak.

Di meja makan yang berbentuk lingkaran itu, hampir semuanya hanya menatap Shujin yang memilih sibuk menyantap salad sayur yang dibuat sang ibu, padahal dia tidak menyukainya. Jinyoung menghela nafasnya kala dirinya mengingat bagaimana Shujin selama ini. Gadis nakal yang selalu membuat masalah di sekolahnya, kini sudah berani melangkah lebih jauh. Otak pria paruh baya itu terus berfikir sejak kapan putri bungsunya itu mengenal barang-barang terlarang yang tadi disentuhnya, sementara Jinyoung sendiri tak pernah mengenalkan itu pada kedua putrinya.

"Shujin, Daddy dan Mommy sudah--,"

"Arra," potong Shujin datar saat sang ayah baru membuka suaranya. (Tau).

"Jadi, kamu nerima?," tanya Eunji pada putri bungsunya yang menghentikan acara mengunyah saladnya. Menatap ketiga orang yang lebih tua darinya itu dengan tatapan yang tak dapat di mengerti. Gadis itu tersenyum sangat manis membuat kedua orangtuanya menghela nafas lega, sedangkan sang kakak menatap aneh pada sang adik. Karena dia tahu, bahwa itu adalah senyum palsu.

Tiba saat memulai makan siang, karena persidangan dadakan keluarga Baek sudah selesai dengan sangat cepat, Shujin malah berdiri dari duduknya. Membuat semua pasang mata kembali menatapnya, termasuk sang ibu yang baru saja ingin mengambil piring Shujin agar diisi nasi.

"Aku sudah kenyang. Terimakasih atas makanannya," ucap gadis itu lalu segera naik kekamarnya. Tidak menghiraukan sang ibu yang bertanya kenapa dengannya.

Shujin mendudukkan dirinya pada kursi didepan meja rias yang isinya hanya bedak bayi dan pelembab bibir serta sisir dan beberapa buah pengikat rambut. Tak ada make up mewah dan banyak kuas-kuas yang Shujin sendiri tak mengerti fungsinya seperti milik sang kakak. Baginya itu sangat merepotkan dan sangat merusak pandangan saat bercermin.

Gadis itu menghela keras nafasnya melalui mulut, menyibak rambutnya yang terurai panjang itu. Manik coklat terangnya menatap bayangan dirinya dengan sangat datar dan dingin. Terkekeh sinis saat melihat bekas merah yang ada di pipinya, membentuk sebuah telapak tangan meskipun tidak terlalu keras. Gadis itu kemudian menurunkan sedikit kaus lengannya, menampak bahunya yang sedikit memar dan biru.

"Shss," desis Shujin saat menyentuh bahunya.

Tangan gadis itu tergerak membuka laci riasnya, mengambil sebuah salep untuk di oleskan pada bahunya. Namun gerakan itu terhenti saat dirinya melihat sebuah album foto yang nampak lusuh dan berdebu. Shujin mengerutkan alisnya dan mengambil album itu, dibukanya album itu sembari sedikit meniupnya agar debunya menghilang. Dilihatnya setiap foto yang menampakkan seorang gadis kecil berusia sekitar 5 tahun dengan remaja laki-laki yang sepertinya berusia 17 tahun itu.

Shujin mengerutkan alisnya kala melihat kedua anak manusia didalam foto-foto itu. Gadis kecil itu seperti dirinya, namun dia tidak merasa bahwa dia pernah berteman dekat dengan seorang remaja seusianya saat dirinya kecil. Mungkin itu Hyurin, fikirnya. Gadis itu kemudian meletakkan kembali album tersebut dan mengambil salep yang menjadi tujuan utamanya. Namun, saat akan membuka penutup salepnya, Shujin berhenti sambil memasang mimik berfikir. Dia melirik lagi pada album tadi, merasa sedikit tidak asing pada wajah remaja laki-laki tersebut.

Namun lagi-lagi gadis itu hanya menghardikkan bahunya acuh. Dirinya mengoleskan salep itu pada memar dibahunya, agar segera sembuh dan tidak mengganggu. Gadis itu sedikit tersenyum puas saat apa yang dia kerjakan telah selesai. Baru saja Shujin menutup laci riasnya, ponsel yang berada disaku celana pendeknya itu berdering membuat gadis itu segera merogohnya dan mengangkat sebuah telfon dari nomor yang tidak ia kenali.

"Halo?," sapa gadis itu dengan nada datarnya. Menunggu balasan dari sang penelfon.

"Selamat siang, ini dari Rumah Sakit Seoul. Apa benar ini nomor salah satu kerabat dari saudara Kim Moonchul?," sahutan dari seberang membuat Shujin mengerutkan alisnya dan berdeham.

"Iya, ada apa dengan Moonchul?," tanya gadis itu sambil menyibak rambutnya.

"Saudara Kim Moonchul mengalami kecelakaan fatal dan dia tidak bisa diselamatkan."

Degg!!

"Halo?Apa anda masih disana, Non--," telfon itu dimatikan secara sepihak oleh gadis yang kini sudah menganga penuh kaget dengan ponsel yang dia taruh secara kasar pada meja rias. Jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya, pusing mendadak menerpanya, dan airmatanya sudah bergerumul dikelopak, siap untuk dijatuhkan kapan saja.

Helaan nafas bergetar berulang kali terdengar dari gadis dengan rambut coklat gelap itu. Hingga akhirnya sebuah isakan lolos bersama jatuhnya airmata yang langsung membanjir membentuk sungai kecil di pipi putihnya. Lagi, ponsel itu berdering, menampilkan nama 'Park Beomgyu' yang terus menerus menelfon hingga berkali-kali. Namun, Shujin sungguh tidak sanggup walau hanya sekedar untuk mengangkan ponselnya. Dia terlalu shock.

"Moonchul-ah, hiks, jinjja mianhe," isak gadis itu sambil menutup mulutnya. Airmatanya semakin membanjir deras, bersama dengan rambutnya yang menutupi wajahnya karena menunduk. (Sungguh maaf).

Dengan langkah beratnya gadis itu berjalan menuju kamar mandi di kamarnya. Dengan tangan bergetar dirinya mengunci pintu kamar mandi dan mulai memutar keran bathup, mengisinya hingga menjadi sangat penuh. Shujin tau ini gila, tapi akan lebih gila jika dirinya harus kehilangan salah satu sahabat terbaiknya itu. Gadis dengan kaus hitam itu masuk kedalam bathup berisi air yang dingin itu. Menyelamkan kepalanya bersama tangis yang terendam, Shujin mulai menutup matanya. Berharap saat dirinya membuka mata, semua yang terjadi hari ini hanya rekayasa. Hanya mimpi buruknya, dia sungguh berharap saat ia membuka mata Moonchul ada dihadapannya dengan senyum bodohnya.

*****

"Apa Mom dan Daddy sudah yakin dengan keputusan itu?," tanya Hyurin saat ketiganya sudah berada diruang keluarga dengan dirinya yang tengah duduk lesehan sembari memeluk bantal sofa.

"Hyurin, hanya itu jalan satu-satunya," ucap Eunji yang kini sedang merajut sebuah sapu tangan untuk kedua putrinya.

"Mom, pasti ada cara lain. Shujin pasti bisa berubah dengan lebuh baik tanpa di jodohkan seperti ini," sanggah Hyurin dengan manik yang menatap sang ibu.

"Apa? Cara apa lagi, Hyurin? Kita udah lakukan semua, tapi apa? Ga ngaruh apapun, 'kan? Malah sekarang adik kamu itu udah berani minum dan merokok. Kamu fikir Daddy ga sakit ngelihat putri Daddy seperti itu? Dan lagi, ini sudah bulat dan ga bisa diganggu gugat lagi. Terima atau tidak Daddy tidak peduli," ujar Jinyoung dengan menatap lekat Hyurin yang juga menatapnya.

Hening, hanya itu yang terjadi setelah perdebatan singkat itu. Hyurin memang sangat menyayangi Shujin, namun dirinya tidak bisa berbuat apapun jika Jinyoung sudah membulatkan keputusannya terhadap sesuatu. Ayahnya itu cukup keran sebagai seorang pemimpin rumah tangga, jadi Hyurin tidak bisa melakukan banyak hal.

Namun, tiba-tiba saja dirinya merasakan sesak di dadanya. Nafasnya seperti tercekat dan jantungnya berdebar kuat. Gadis dengan rambut coklat terangnya itu memegang dadanya yang berdetak kuat, jantungnya seperti akan melompat keluar dari tubuhnya. Kepalanya mendadak pusing dan berkunang-kunang. Diliriknya jam dinding yang menggantung di atas televisi, ini sudah pukul 3 sore dan Shujin belum terlihat keluar dari kamarnya sejak pamit pada waktu makan siang tadi. Hyurin menjadi sangat penik, karena baru kali ini adiknya itu betah di kamarnya.

"Hyurin? Ada apa?," tanya Eunji yang melihat ekspresi putri sulungnya yang seperti memikirkan sesuatu. Hyurin menoleh pada sang ibu, lalu dirinya menatap sekilas tangga menuju lantai dua diruang tengah.

"Apa Shujin belum terlihat keluar dari kamarnya? Perasaanku tidak enak, Mom. Aku merasa seperti sedang tenggelam," ujar Hyurin yang langsung mendapat atensi penuh dari kedua orangtuanya yang juga menyadari putri bungsu mereka belum terlihat keluar kamar.

"Tenggelam? Hyurin, apa kamu sedang mengi--," ucapan Jinyoung terpotong kala putri sulungnya itu sudah berlari menuju kamar sang adik. Jinyoung dan Eunji saling bertatapan, sebelum akhirnya ikut menyusul Hyurin yang sudah meneriaki nama sang adik di depan pintu kamar mandinya.

"Shujin?! Apa kamu didalam?! Shujin, jawab aku!! Apa yang kau lakukan?!!," teriak Hyurin dengan nada teramat panik serta gedoran pintu yang menemani ricuhnya suasana.

"Hyurin, apa pintunya--."

"Ini terkunci, Mom. Aku takut Shujin melakukan hal aneh didalam. Nafasku seperti tercekat saat ini!," ujar Hyurin cepat tanpa menunggu sang ibu menyelesaikan kalimatnya.

"Biar Daddy dobrak, Hyurin. Kamu minggirlah," ucap Jinyoung sembari menaikkan lengan bajunya yang panjang itu.

Hyurin menjauh dari pintu itu, berdiri dibelakang sang ayah yang sudah bersiap untuk merusak pintu kamar mandi si bungsu. Hyurin memegangi dadanya terus berdetak tak karuan, menoleh penuh kepanikan saat sang ibu menyentuh bahunya. Jinyoung mulai mendobrak pintu tersebut, dan pintu coklat itu terlepas dari engselnya pada saat percobaan ketiga Jinyoung mendobraknya.

"Shujin!!!," teriak ketiganya saat melihat Shujin yang melemas berada dalam bathup penuh air dengan tubuh yang seluruhnya berada didalam air.

Jinyoung dengan segera mengeluarkan sang anak, tak perduli dengan bajunya yang ikut basah. Eunji mendekati suaminya yang memangku sang putri yang sudah membiru dan tubuhnya yang dingin. Airmatanya tak dapat dibendung menyaksikan keadaan sang putri bungsu yang begitu lemas. Hyurin diam membeku didepan pintu menyaksikan adiknya yang tidak sadarkan diri itu.

"Hyurin, telfon ambulance!! Sekarang!!," teriakan sang ayah yang mampu menyadarkan Hyurin dari keterkejutannya dan segera merogoh ponselnya untuk menelfon ambulance. Dengan suara bergetar dia berbicara pada penerima telfon serta airmata yang tak berhenti mengalir, bersaut-sautan dengan isakan sang ibu.

Jinyoung menggendong putrinya itu menuju ruang tengah kediamannya yang diikuti oleh sang istri dan putri sulungnya. Tepat saat mereka tiba di ruang tengah, suara ambulance dengan nyaring menyapa, membuat mereka segera keluar dan masuk kedalam ambulance tersebut, dengan Shujin yang dibaringkan di blankar serta diberi pertolongan pertama.

Hyurin terus menangis karena jujur dirinya juga merasakan sesak didadanya, seolah seluruh udara tak ingin dihirupnya. Jantungnya juga berdebat kuat dan tak menentu, rasanya seperti dirinya mengerti tentang apa yang Shujin rasakan saat ini. Ikatan batin sepasang kembar bukanlah sebuah mainan. Jinyoung yang duduk disamping sang istri yang terus menangis itu hanya mampu untuk mengusap bahu istrinya, berupaya menguatkan sementara dirinya juga sedang tidak baik-baik saja.

"Apa dia akan selamat? Dia akan tetap hidupkan?," tanya Hyurin dengan cepat ketika dirinya merasa sesak di dadanya semakin bertambah dan mencekat. Membuat petugas yang ada di ambulance itu menatapnya.

"Berapa lama dia menenggelamkan diri?," tanya petugas itu yang mencatat keadaan Shujin selama perjalanan.

"Kurang lebih 3 jam, sejak jam makan siang dimulai," jawab Hyurin dengan lirih.

Petugas itu sedikit kaget dan memilih tidak membalas lagi ucapan Hyurin, dirinya memilih untuk melakukan pekerjaannya. Hyurin yang melihat petugas itu tidak menggubris pertanyaannya lebih lanjut hanya mampu menunduk, menutup wajahnya dengan tangan agar tak seorang pun melihat airmatanya yang jatuh.

Hingga mereka tiba di Rumah Sakit Seoul, Shujin segera dilarikan menuju IGD yang diikuti dengan orangtua dan kembarannya itu. Mereka bertiga di perintahkan untuk menunggu saat blankar yang membawa Shujin memasuki ruangan di dalam IGD. Eunji langsung terduduk lemas di kursi besi yang memanjang didekat pintu, bersandar pada bahu sang suami yang menutupi kekhawatirannya.

Sedangkan Hyurin terus berjalan mondar mandir didepan pintu yang diatasnya menyala lampu kecil berwarna hijau. Namun kegiatan itu terhenti setelah 10menit berlangsung dan seorang perawat laki-laki keluar dengan langsung berlari tanpa menghiraukan keluarga pasiennya yang menatap penuh khawatir.

"Shujin akan baik-baik saja, 'kan? Iya 'kan, Dad?," tanya Eunji dengan gemetar panik pada sang suami. Jinyoung hanya mengangguk dengan fikiran ragunya, rasanya dia akan menyalahkan dirinya jika putri bungsunya itu tidak terselamatkan. Tak lama, perawat itu kembali dengan sosok pemuda yang dikenal oleh Jinyoung. Jinyoung menghentikan langkah pemuda itu, menatapnya dengan tatapan memohon.

"Kim Taehyung?."

"Paman? Kenapa Paman ada di--," pertanyaan pemuda itu terpotong kala kedua tangannya digenggam penuh harap oleh Jinyoung.

"Tolong, selamatkan putri paman, Taehyung-ah," pinta Jinyoung itu lirih yang dibalas anggukan yakin oleh pemuda itu.

Tepat saat pintu IGD kembali tertutup, Hyurin langsung terjatuh lemas. Kakinya tak bisa menahan berat tubuhnya, membuat kedua orangtuanya dengan segera merangkulnya dan mendudukkan di kursi tunggu.

"Shujin-ah, ku mohon bertahanlah, hiks," gumam Hyurin dengan lirih. Entah kenapa dia merasa bahwa Shujin berada diambang kematiannya, dia takut, sangat takut jika harus kehilangan sang adik kembar.

*****

Shujin membuka matanya, merasa sedikit pusing dengan penglihatan yang berkunang-kunang. Saat matanya mulai kembali normal, gadis itu nampak kaget melihat keadaan sekitarnya. Dimana dirinya berdiri diatas sungai yang airnya mengalir tenang dengan dasar yang indah, serta sebuah pohon emas besar yang indah didepannya membuat gadis itu menutup mulutnya penuh keterkejutan. Apalagi saat dirinya melihat pantulan bayangannya dari air sungai. Nampak Shujin yang menggunakan gaun putih seperti zaman kerajaan eropa dahulu.

"Baek Shujin? Sudah cukup acara kagetmu itu," seru seseorang dari balik tubuhnya, membuat Shujin berbalik cepat. Menatap seorang pemuda yang sangat dikenalnya itu.

"Kim Moonchul?," dengan suara lirih Shujin menyebut nama pemuda yang tengah tersenyum manis dihadapannya. Pemuda itu mengangguk. "Moonchul-ah, aku benar-benar minta maaf," ucap gadis itu dengan suara lirih dan tatapan sendunya.

"Tidak perlu begitu, ini sudah takdirku. Lagipula aku sudah cukup menghamburkan waktu di dunia bersama kalian bertiga," ujar Moonchul dengan lembutnya, berbeda dengan yang biasa dilihat Shujin. Pemuda itu sangat tampan dengan pakaian putih seperti seorang pangeran kerajaan.

"Biarkan aku ikut denganmu, Moonchul-ah," pinta Shujin dengan cepat dibalas gelengan oleh Moonchul.

"Shujin, hidupmu masih panjang. Jangan mencoba mengejarku. Aku sudah bahagia di tempat baruku," tolak Moonchul dengan senyum lembutnya, memberi pengertian.

"Tapi aku takkan bisa bila kau pergi, aku akan merasa sebagian jiwaku hilang," usap Shujin yang membuat Moonchul memeluk gadis itu, sebagai salam perpisahan.

"Disana, orangtua dan kakakmu menunggu, Shujin. Kembalilah, hibur dua cecunguk itu. Aku bahagia disini, dan akan lebih bahagia jika kalian bertiga juga tetap menjalani hidup kalian menjadi lebih baik seperti yang selama ini aku harapkan," ujar Moonchul, membuat bendungan airmata Shujin runtuh. Gadis itu memeluk erat sang sahabat dengan isakan tangis menjadi pengiringnya.

"Katakan pada semuanya, jika keinginan terakhirku adalah kalian yang lebih baik, kalian yang meninggalkan dunia gelap dan terlarang itu. Jadilah manusia yang baik, Shujin," ujar Moonchul lagi yang juga mulai meneteskan airmatanya, Shujin hanya mengangguk kecil karena dirinya tidak sanggup untuk bersuara.

"Katakan pada Yeonjung untuk berhenti menyakiti para wanita dan mulailah hidup yang lebih berguna. Katakan juga pada Beomgyu untuk berhenti menjadi pemain balap liar, itu berbahaya baginya. Dia harusnya menerima ajakan untuk ikut sekolah balap itu. Dan kamu, gadis nakalku, jadilah gadis baik untukku. Aku sangat menyayangimu adik kecil," sambung Moonchul dengan suara yang serak dan intonasi yang bergetar.

"Nado, aku juga sangat menyayangimu, Kim Moonchul," balas Shujin yang semakin mempererat pelukannya saat merasakan tubuh Moonchul yang kian melebur.

"Shujin, waktuku bertemu denganmu sudah habis. Selamat tinggal, ya? Ingatlah aku selalu, makanlah dengan baik, jaga kesehatanmu, jangan lakukan hal gila lagi. Aku menyayangimu, sangat, hingga aku gila karenamu. Gadis kecil, aku pergi, jangan menangis lagi. Annyeonghaseo, Baek Shujin."

Setelah mengucapkan itu, tubuh Moonchul hilang. Meninggalkan Shujin yang terduduk memeluk dirinya sendiri yang masih terisak kuat. Rasanya dia kuat harus berpisah selamanya dengan Moonchul, dengan sahabat terbaiknya serta kakak lelaki yang sangat melindunginya. Gadis itu terus terisak dan sesekali berteriak karena rasa sesak di hatinya.

Tiba-tiba saja tempat yang tadinya berada diatas air itu berubah. Shujin berada didalam sungai dengan airnya yang mendadak di penuhi ombak yang mengamuk. Namun anehnya, gadis itu seolah bisa bernafas didalam air tersebut. Tak ada sesak sedikitpun yang dirasakannya. Gadis itu membuka matanya, merasakan dirinya yang tenggelam semakin dalam di sungai itu. Di angkatnya tangan kanannya seolah meminta pertolongan, dapat dirasakannya ada genggaman hangat yang menyambut uluran tangannya. Serta gaunnya yang mengembang karena air terus terasa hangat, seolah ada yang memeluk dirinya. Membuat Shujin kembali memejamkan matanya dan pasrah dengan apa yang terjadi nantinya.

*****