webnovel

Detektif Sekolah Bagian 1

Di detik selanjutnya, Diara melihat-lihat kamar sang Ibu. Barang-barang yang di miliki Ranti, cukup memperlihatkan—jika, dia berasal dari keluarga yang berkecukupan.

Komputer berwarna putih di meja belajar. Di sebelah monitor, ada deretan kaset tape yang tertata rapi. Tumpukan majalah di depan kaset tape, di mana cover majalah yang paling atas adalah selebritis pria, yang cukup tampan di tahun itu. Senyumnya manis. Hidungnya tak mancung. Pun, tak pesek. Dia di kenal dengan nama Ferry Maryadi.

Jemari Diara menari di atas barisan kaset tape. Kemudian, mengambil satu. Melihatnya sejenak.

"Seleranya tak jauh berbeda denganku."

Kaset tape dengan gambar seorang perempuan berambut panjang, sedikit bervolume. Mengenakan kaus putih, yang di gulung bagian lengannya. Celana jeans, serta sabuk hitam yang lebar. Judul albumnya adalah Matahari dan Rembulan—yang juga menjadi lagu andalannya ketika itu.

Diara memasukkan kaset pada tape berwarna hitam. Dan, menekan salah satu tombol yang berderet. Sepersekian detik kemudian, melodi dari lagu itu terdengar. Petikan gitar akustik menjadi pembuka lagu tersebut. Lalu, suara bulat dan sangat berkarakter. Hingga di tahun mendatang pun lagu-lagunya selalu menjadi favorit para penggemarnya. Ia di juluki sebagai lady roker Indonesia.

Diara merebahkan diri kembali. Menekuk kedua tangannya, ke belakang kepala. Di jadikan bantal. Memejamkan mata. Mencoba menikmati lagunya.

"Memang, tak pernah gagal semua lagu-lagunya."

Diara menguap berulang kali, ketika menikmati alunan musiknya. Dan, akhirnya tertidur lelap.

**

Diara berlari ketakutan. Sesekali menengok ke belakang. Sebagian rambutnya basah oleh keringat. Ia berbelok ke gang kecil. Menempelkan diri pada tembok. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tersengal tak karuan. Ketika, ia mendengar suara besi yang di gesekkan pada tembok—ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Menahan napas. Berusaha, agar tidak terdengar oleh seseorang, yang mengejarnya.

"Diara..."

"Diara..."

Diara memejamkan mata erat. Hampir menangis ketakutan. Terlebih, saat suara besi yang membuat berjengit kaget, semakin kencang.

"Diara.."

"Ranti!!"

Diara membuka mata. Ira—sang Nenek, sudah berdiri di sampingnya.

"Cepat bangun! Kau, tidak sekolah?!"

Diara yang masih kebingungan, mengerjapkan mata. Bangun dengan perlahan.

"Sekolah apa? Aku sudah bekerja."

"Bekerja apa?! Jangan melantur, kalau bicara! Cepat, bangun!"

"Kenapa kau berkeringat seperti itu?! Nyalakan kipasnya!"

Diara mencoba memahami situasi yang terjadi. Lantas, ia membuka mulutnya lebar. Sembari mengangguk.

"Ah, iya. Aku sedang menjadi wanita itu. Ini tahun 1991."

Ira mengernyitkan dahi.

"Sejak kemarin, sikapmu aneh sekali!"

"Oh? Ah, tidak apa-apa. Aku mandi sekarang."

Diara turun dari ranjang. Bergegas keluar dari kamar. Dan, pergi ke kamar mandi.

Diara bukan tipe perempuan, yang menghabiskan waktu banyak di dalam kamar mandi. Cukup dengan 15 menit saja, ia selesai membersihkan diri. Membungkus rambutnya yang basah dengan handuk. Masuk kembali ke kamar. Membuka almari kayu satu pintu. Mengambil seragam putih abu-abu, yang tergantung. Bergegas memakainya. Dan, membentangkan tangannya ke samping. Lantas, mendengus.

"Yang benar saja."

Diara kembali ke luar kamar. Pergi menemui Ira, yang ada di dapur.

"Ini benar seragamku?"

"Kenapa?" tanya Ira, yang tengah meletakkan piring, berisi nasi goreng di meja.

"Kenapa longgar sekali?"

"Memang, seperti itu bajumu."

Diara kembali mendengus.

"Ini sangat jelek!"

Ira mendesah singkat. Berkacak pinggang.

"Lantas, kau ingin baju yang seperti apa? Rok pendek? Atasan ketat?"

Diara menatap Ira.

"Kau, sungguh ingin seragam seperti itu?"

"Bukankah, itu terlihat keren?"

"Terlihat menjijikkan! Bagaimana, bisa seorang pelajar memakai seragam seperti itu?!"

"Tapi-"

"Cepat bersiap-siap saja!"

Diara mendesah kecewa. Kembali masuk ke dalam kamar. Duduk di tepi ranjang. Memandangi rok birunya, yang panjang selutut.

"Oh, ini bukan gayaku."

"CEPAT KELUAR DAN SARAPAN!"

Diara mendecak kesal. Melepas handuk dari rambutnya. Mencari sisir, di meja rias. Lalu, tertegun sejenak. Saat melihat dirinya pada cermin.

"Wajahnya.. mirip denganku," gumamnya.

"Jelas saja—aku darah dagingnya. Tapi, tak di anggap."

Diara mendesah panjang, sambil merapikan rambut.

"Well, setidaknya di tak membunuhmu, Diara."

Setelah merapikan rambut, Diara menyemprotkan parfum. Kemudian, mengambil tas ransel hitam, yang tergantung di pintu. Dan, keluar dari kamar.

Ia melangkah perlahan, mendekati meja makan. Meletakkan ransel di kursi. Duduk kemudian.

"Cepat makan. Dan, berangkat sekolah. Jangan berbuat aneh-aneh lagi. Dan! Jangan temui laki-laki itu!"

Diara mengernyit.

"Sebenarnya, siapa yang di maksud?" katanya dalam hati.

Ira berjalan pergi kemudian.

"Oh, Ne—Ibu, tak makan?"

"Tak ada waktu. Aku harus pergi bekerja."

Ira yang memakai rok pendek berwarna emas mengkilap, yang sama dengan blazer nya, membuka pintu depan. Di saat yang sama, Tomi bersiap mengetuk pintu.

"Oh, selamat pagi, Nyonya Ira."

"Dia masih sarapan," kata Ira dengan ketus.

Tomi hanya meringis. Melepas sepatunya. Dan, masuk ke dalam.

"Selamat pagi, sayang!"

Diara mendesah panjang, sembari terpejam singkat.

"Berkali-kali aku katakan padamu!"

"Jangan panggil aku sayang! Ya.. Ya.. Ya.. Aku tahu, Ranti. Oh, tidak enak sekali memanggilmu seperti itu. Kau, ini sebenarnya kenapa? Apa kau sedang mengujiku?"

"Diam saja. Aku ingin sarapan dengan tenang."

"Apa itu enak?"

"Entah. Aku belum mencoba-"

Diara tak melanjutkan kalimatnya, karena Tomi sudah mencoba nasi goreng dari piringnya.

"Hmmm.. Ini enak sekali."

Diara mendengus.

"Kau, tidak jauh berbeda dengan Randy."

"Hari ini juga, antar aku bertemu dengan si brengsek itu! Siapa dia sebenarnya? Laki-laki yang mengajakmu ke restoran itu?! Huh?!"

"Sudah cepat makan saja. Jangan berisik. Dan, duduk."

Tomi duduk di kursi, dengan mulut penuh nasi.

"Kau, tak makan?"

"Aku tak berselera. Habiskan saja."

"Baiklah. Kau, yang menyuruhku, ya?"

"Ya.. Ya.. cepat makan," kata Diara, bersandar pada punggung kursi. Sambil melipat tangan di dadanya.

**

Diara dan Tomi berjalan ke depan rumah. Tomi mendekati motor yang tangkinya ada di depan. Berwarna putih. Spion bulat, dengan tangkai agak panjang.

"Wah, klasik sekali motormu, eh?"

"Huh? Klasik bagaimana? Ini keluaran terbaru!"

"Ah, begitu. Hehe."

"Perempuan, tahu apa soal motor."

Diara melirik Tomi dengan kesal, yang kini berdeham takut. Lalu, naik ke atas motor. Dan, menaikkan standar.

"Ayo cepat naik."

Diara hanya mengangguk. Kaki kanannya berpijak pada pijakan. Lantas, melebarkan kakinya. Membuat Tomi mendengus kesal.

"Cepat turun!"

"Huh? Tadi, kau memintaku naik. Sekarang, memintaku turun."

"Turun. Kenapa posisi duduk mu tidak sopan seperti itu?! Kau, memakai rok! Nanti paha mu kelihatan!"

Diara mengatupkan gigi dengan kesal. Memukul kepala Tomi.

"Aduh!"

"Kau, ini cerewet sekali!"

Diara kemudian turun. Dan, duduk menyamping.

"Aku harus duduk seperti ini?"

Tomi mengangguk.

"Lingkarkan tanganmu pada perutku."

"Heh? Untuk apa?"

"Kalau kau ingin terjatuh tidak apa-apa."

Tomi segera menyalakan mesin motor. Dan, menarik gas dengan kencang. Membuat tubuh Diara tersentak, hingga akhirnya melingkarkan tangan di perut Tomi.

**

Keduanya tiba di gerbang sekolah, yang tertutup. Banyak siswa berkerumun di depannya. Tomi memperlambat laju motornya.

"Kita terlambat? Hah, ini karena motormu jalan dengan lambat!" gerutu Diara.

"Aku hanya ingin menikmati pagi bersamamu."

Diara mendengus. Turun dari motor, saat Tomi menghentikan laju.

"Otakmu hanya penuh dengan romansa. Pantas saja, di kehidupan selanjutnya kau tak memiliki kekasih."

"Apa maksudmu? Kau dan aku akan putus? Seperti itu?"

Diara menggelengkan kepala. Sambil berjalan pergi.

"Sayang! Maksudku, Ranti!"

Diara mendekati kerumunan. Dan, bertanya pada salah satu siswa.

"Hei, ada apa? Apa kita semua terlambat?"

Siswa dengan wajah kurus dan rambut terbelah tengah itu menengok pada Diara, lalu tersenyum lebar.

"Mereka meliburkan sekolah secara mendadak."

"Huh? Kenapa?"

"Karena, ada mayat lagi di belakang sekolah," sahut Tomi, yang berdiri di belakang Diara.

Diara menengok kemudian.

"Bagaimana kau tahu?"

"Tunggu.. Kau Ranti, kan? Dari kelas IPA?"

"Oh, mungkin saja. Aku tidak tahu. Hehe," jawab Ranti.

"Aku menyukaimu sejak dulu. Bisakah, aku minta nomor telepon rumahmu?"

"Huh?"

Tomi menatap kesal pada pemuda itu. Lebih mendekat pada Diara. Melingkarkan tangannya di bahu Diara.

"Sepertinya, satu sekolah kita sudah tahu. Jika, Ranti sudah memiliki kekasih. Dan, itu—aku."

Pemuda itu segera menekuk wajahnya. Lantas, berjalan pergi. Diara membungkuk, dan mundur.

"Jangan lakukan itu lagi. Paham?"

Tomi mendesah kesal.

"Kau, belum menjawab pertanyaan ku. Darimana kau tahu, soal mayat itu?"

"Dari siapa lagi? Kalau, tidak dari ketua detektif kita."

Diara mengernyitkan dahi.

"Ketua detektif?"

"Kenapa kau terkejut seperti itu?" sahut pemuda, dari arah belakang Diara.

Diara menengok. Segera terbelalak. Melihat pemuda yang memakai seragam putih abu, berkacamata. Rambut belah tengah.

"Tuan—Darel?"